"Mulai dari menolak poligami, ide childfree, prewedding ‘Islami’, menolak hijab-kerudung, hanyalah sebagian dari contoh propaganda liberal yang sengaja didesain bagi kelompok yang berkepentingan untuk mengubah persepsi dan menyudutkan Islam. Hal ini justru sangat wajar, mengingat jaringan media internasional dikuasai oleh para kapital kaum kuffar yang justru membenci ide Islam."
Oleh. Ika Rini Puspita, S.Si
(Penikmat Literasi)
NarasiPost.Com-Akhir-akhir ini syariat Islam sangat terpojokkan, penulis sampai geram membaca berita di sosmed yang cukup membuat kening mengerut dan geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, kita seolah terbiasa tergiring dengan opini yang dicitrakan media. Menelan mentah informasi tanpa tahu, informasi yang dibawa benar atau tidak. Padahal tidak semua media memberikan informasi sesuai fakta.
“Masyarakat menerima fakta bukan sebagaimana adanya, tetapi apa yang mereka anggap sebagai fakta. Atau bahasanya, kenyataan fatamorgana hasil rekayasa media. Dalam artian visi-misi dan ideologi sangat memengaruhi proses media/kerja seseorang” (Penggerak Opini Islam, Fika Komara:2019 hal.19-20).
Sebut saja mengenai berita Sulsel yang viral di sosmed, seorang istri yang mengantar suaminya untuk menikah lagi dalam artian berpoligami. Pada 23/10/2021 di Desa Bontoloe Galesong Selatan Takalar. Sampai Komnas Perempuan ikut bereaksi, memandang bahwa praktik poligami adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pandangan itu disimpulkan dari kajian dan penelitian beberapa praktik poligami di Indonesia yang dampak negatifnya lebih nyata dari kemaslahatan” pungkas Dr. Imam Nahe’i kepada media Wolipop (30/10). Ia juga menambahkan, “Saat ini relasi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga masih sangat timpang yang memosisikan istri di bawah (kekuasaan) suami. Oleh sebab itu, persetujuan istri hakikatnya adalah persetujuan terpaksa oleh kekuasaan itu. Persetujuan palsu” jelasnya.
Menarik sekali statement di atas, sekilas sangat baik di dengar/baca, tapi pada hakikatnya justru bernada propaganda. Pertanyaannya, apakah dengan beberapa pernikahan poligami yang gagal, kita bisa menyimpulkan bahwa pernikahan poligami semuanya negatif/menyengsarakan? Apakah banyaknya kasus perceraian di Indonesia/dunia kita bisa menyimpulkan bahwa pernikahan akan mengantarkan pada penyesalan/tidak bahagia? Pasti kita tidak akan menyimpulkan, “tidak usah nikah kalau begitu!" Tapi saat berbicara syariat Islam, yang justru membolehkan, kita malah menentangnya.
Pertanyaannya yang kita benci sebenarnya apa, ketimpangan relasi kuasa pria-wanita atau justru syariat-Nya? Lebih lanjut, katanya persetujuan terpaksa, padahal orang yang merasakan sendiri biasa saja, mengapa situ yang menyimpulkan (lucu juga).
Bukan hanya fakta itu, konsep childfree (memilih untuk tidak punya anak) belakangan ini juga menjadi isu ramai di masyarakat, terlebih saat beberapa publik figure mengakui telah mengadopsi konsep tersebut. Konsep ini bagian dari politik tubuh, dengan dalih politic of body, the right of body, dan rahimku adalah hakku. Tentu pendapat liberal ini bertentangan dengan syariat. Islam sebagai agama memiliki konsep tersendiri dalam hal keluarga. Dengan tujuan utamanya adalah untuk beribadah kepada Allah yang sama sekali berbanding terbalik dengan konsep childfree yang berakar dari ide sekularisme.
Fakta lain, seperti persiapan nikah sang Youtubers Ria Ricis dan calon suaminya, mengenai sesi foto prewedding yang dikatakan prewedding ‘islami’ karena tidak bersentuhan oleh beberapa penggemar beliau. “Nggak boleh bersentuhan, tapi harus tetap romantic. Jadi cuma eye contact aja. ” kata sang fotografer (Jejaksulsel.com, 01/11/2021).
Fotonya jelas tatap-tatapan, apakah itu bukan bagian dari zina? Oke bukan zina kemaluan, tapi zina lain apa kabar? Kagum dan sejenisnya boleh, tapi membenarkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat dengan diberi embel-embel syariat keliru juga. Haramnya suatu hukum tidak akan berubah walaupun dibungkus dengan embel-embel islami, begitupun sebaliknya.
Fakta lain, tokoh muslimah NU, Yenni Wahid, merayakan ultah ke-47 dengan kostum Maleficent yang disebut sebagai busana syar’i. Ia pun mengunggah foto dirinya di akun Instagram miliknya, lengkap dengan tongkat ajaib dengan caption Maleficent, PPKM dan Syar’i.(Pikiranrakyat.com, 31/10/2021)
Embel-embel syar’i rupanya sangat mudah untuk disematkan saat ini. Menutupi seluruh tubuh, tidak lantas langsung dikatakan syar’i (lucu sekali, jika sedikit-sedikit langsung syar’i). Menolak pakaian muslimah tapi bangga berkostum iblis. Artinya, beberapa orang yang menolak syariat bukan karena Islam tidak sesuai dengan zaman, tapi karena memang anti-Islam.
Dari sederet fakta tersebut di atas. Mulai dari menolak poligami, ide childfree, prewedding ‘Islami’, menolak hijab-kerudung, hanyalah sebagian dari contoh propaganda liberal yang sengaja didesain bagi kelompok yang berkepentingan untuk mengubah persepsi dan menyudutkan Islam. Hal ini justru sangat wajar, mengingat jaringan media internasional dikuasai oleh para kapital kaum kuffar yang justru membenci ide Islam. Seperti kutipan buku di awal tulisan ini, sebuah kerja media dipengaruhi oleh ideologi. Jadi, media tidak akan mau menyiarkan berita yang bertentangan dengan ide mereka atau dianggap membahayakan. Kalaupun diterbitkan, paling tidak di counter serapi mungkin, atau justru dicarikan delik untuk di off.kan.
Begitulah industrialisasi media abad ini, informasi yang beredar bukan yang mau (penting) didengar atau dibaca, tetapi apa yang mau didengarkan ke kita. Dalam artian, media yang kita konsumsi sehari-hari pun harus didesain sesuai keinginan dalam rangka melayani nilai sekuler liberal dan kepentingan kapital.
Media Barat dan konco-konconya yang sekuler telah berhasil memetak-metakan umat Islam dengan label buatan mereka, yakni ‘moderat’, fundamentalis, teroris, dan radikal. Fakta ‘kegilaan media’ ini sebenarnya sudah diindra/dirasakan oleh sebagian umat. Buktinya beberapa dekade yang lalu, media anti-Islam diboikot (coba diingat-ingat lagi, tidak usah sebut merek), juga aksi 212. Artinya, ada kekuatan besar yang dimiliki oleh umat Islam untuk meng-counter opini yang memojokkan Islam. Di sinilah peran kita untuk menolak propaganda mereka, yang sengaja dipanasi tiap detik, menit, jam dan harinya dengan ide (solusi) Islam. Wallahu a’lam.[]