Polemik Harga Tes PCR, Pemerintah Berbisnis dengan Rakyat?

"Dalam sistem kapitalis, kesehatan dijadikan alat komoditas atau benda ekonomi yang diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan, dan negara melepaskan tanggung jawabnya dengan skema jaminan kesehatan asuransi."

Oleh. Ahsani Ashri, S.Tr.Gz
(Pemerhati Sosial dan Generasi)

NarasiPost.Com-Penurunan kasus Covid-19 memberi lampu hijau bagi dunia meskapai penerbangan tanah air. Pemerintah berencana mengizinkan maskapai mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh atau 100 persen, sejalan dengan aturan baru selain menunjukkan surat vaksinasi dosis satu dan dua, yakni wajib melakukan tes PCR.

Dilansir dari Kompas, persyaratan ini tercantum dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021, bahwa pemerintah mewajibkan penumpang perjalanan udara membawa hasil tes PCR (H-2) negatif sebagai syarat penerbangan pada masa PPKM. Padahal sebelumnya pemerintah hanya mewajibkan penumpang udara menunjukkan hasil negatif antigen (H-1) sebagai syarat penerbangan.

Adapun alasan tersebut diberlakukan, untuk mencegah penularan virus Covid-19 ketika mobilitas meningkat, jelang libur Natal dan Tahun Baru, maka screening dianggap perlu diperketat dengan tes PCR. Aturan ini berlaku sejak tanggal 24 Oktober 2021.

Menuai Kritik dan Protes

Wakil Ketua Umum Bidang Perhubungan Kadin Indonesia, Denon Prawiraatmadja, menjelaskan perubahan persyaratan dari tes antigen ke tes PCR kurang sejalan dengan menurunnya level PPKM dan menurunnya angka penyebaran Covid di sebagian besar wilayah. Jadi, Inmendagri Nomor 53 Tahun 2021 tersebut kurang sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional. Menurut beliau, bukannya membantu program pemerintah dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dampak yang lebih luas bukan hanya kepada industri penerbangan tapi juga kepada kegiatan sosial ekonomi nasional.

Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin, mengkritik kebijakan wajib tes PCR kepada calon penumpang pesawat udara. Aturan ini dinilai memberatkan masyarakat. Beliau menilai aturan ini benar benar menyusahkan rakyat, karena harganya ratusan ribu rupiah, bahkan di beberapa rute pesawat yang biaya PCR sama dengan harga tiket pesawat.

Fakta Pengelolaan Layanan Kesehatan ala Kapitalis

Pengelolaan kesehatan di negara kita saat ini diserahkan kepada swasta (baca : liberalisasi) dengan paradigma bisnis (baca : asuransi). Negara menyerahkan pengelolaan kesehatan kelada perusahaan berbasis asuransi. Apa buktinya? Kita dituntut untuk mendaftarkan diri ke BPJS kesehatan agar mendapatkan layanan kesehatan, sedangkan mereka yang tidak mendaftar, bisa jadi penanganannya akan lebih mahal. Maka, hari ini kita lihat peran swasta sangat dominan dalam layanan kesehatan dengan memengaruhi kebijakan negara yang menguntungkan elite kapitalis dan tentu merugikan rakyat secara umum.

Kalau kita lihat kasus hari ini, sangat menguatkan peran bisnis yang dilakukan oleh segelintir kapitalis untuk mengambil keuntungan dari mahalnya fasilitas kesehatan di tengah pandemi. Dilansir dari beberapa media, Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Muhammad Said Didu, mengatakan swab PCR merupakan bisnis besar, keuntungannya ditaksir Rp50 triliun, sampai ada importir yang punya izin impor PCR sudah bisa beli pesawat pribadi, saking untungnya besar sekali.

Sejak Oktober 2020 lalu, Kementerian Kesehatan telah memberikan Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan (RT-PCR). Dalam aturan tersebut, mereka mematok tarif sebesar Rp900.000 untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan RT-PCR atas permintaan sendiri/mandiri. Sedangkan saat ini, Kementerian Kesehatan menurunkan tarif untuk pemeriksaan tersebut. Tidak tanggung-tanggung, penurunan tarif hingga nyaris separuh dari sebelumnya. Saat ini pemeriksaan untuk Pulau Jawa dan Bali sebesar Rp495.000, sedangkan luar Jawa dan Bali sebesar Rp525.000. Artinya nyaris dua tahun pandemi, selisih harga tes PCR dijadikan ajang bisnis oleh perusahaan alat kesehatan yang dikelola swasta. Mereka meraup keuntungan banyak sejak awal pandemi dari alat tes PCR ini. Mari hitung sendiri keuntungannya!

Ada Apa di Balik Turunnya Harga tes PCR ?

Buntut panjang pemerintah memberlakukan tes PCR untuk calon penumpang pesawat banjir kritikan, kini pemerintah berwacana akan menurunkan harga tes PCR menjadi Rp300.000 yang bertahap sebagai syarat untuk semua moda transportasi. (detik.com)

Yang menjadi pertanyaan, sebenarnya penurunan tarif harga PCR ini murni untuk kepentingan rakyat atau di baliknya terdapat kepentingan para kapitalis semata? Menurut data yang ada, pengadaan alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan Rapid Test Antigen hanya 16,67 persen dilakukan pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara. Sementara, kelompok korporasi nonpemerintah memegang 77,16 persen yang jumlahnya tidak lebih dari 10 perusahaan. Sisanya 6,18 persen pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit.

Produk impor alat kesehatan itu kebanyakan didatangkan dari Cina dengan nilai transaksi mencapai 49,61 persen dari keseluruhan negara. Hari ini, kasus Covid-19 terjadi penurunan berbanding lurus dengan penurunan jumlah orang yang melakukan tes PCR. Sementara tidak menutup kemungkinan, jika penurunan tarif tes PCR memang memiliki kaitan dengan bisnis para kapitalis, maka mereka meminta agar cakupan masyarakat yang di tes PCR lebih luas, termasuk semua moda transportasi yang akan diberlakukan sekalipun tidak sakit.

Kebijakan tersebut sangat kontradiktif, karena tujuan untuk menggeliatkan perekonomian malah memberatkan beban masyarakat. Masyarakat harus merogoh uang Rp300.000 untuk sesuatu yang tidak penting. Inilah yang terjadi jika kesehatan diserahkan kepada pihak swasta bukan dikelola oleh negara.Yang ada di benak para kapitalis ialah bisnis dan keuntungan tanpa memikirkan kesulitan rakyat.

Dalam sistem kapitalis, kesehatan dijadikan alat komoditas atau benda ekonomi yang diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan, dan negara melepaskan tanggung jawabnya dengan skema jaminan kesehatan asuransi.

Pengelolaan Layanan Kesehatan dalam Islam

Pengelolaan kesahatan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dalam politik ekonomi. Karena dalam Islam, politik kesehatan merupakan bagian dari politik ekonomi Islam. Dalam kitab An Nizham Al Iqtishadiy fil Islam, karangan Syeikh Taqiyyudin An Nabhani, politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok tiap individu dan masyarakat secara menyeluruh, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu dapat memenuhi kebutujan pelengkap sesuai kemampuan yang dimiliki.

Dalam perspektif Islam, kebutuhan pokok dibagi menjadi dua yaitu :

  1. Kebutuhan bagi tiap individu berupa barang (sandang, pangan, dan papan).
  2. Kebutuhan bagi seluruh masyarakat berupa jasa (keamanan, pendidikan, dan kesehatan).

Mekanisme pemenuhan bagi tiap individu melalui mekanisme langsung, artinya setiap individu diwajibkan bekerja, kalau tidak mampu, negara akan memberikan subdisi atau hibah melaui Baitul Maal. Sedangkan pemenuhan bagi seluruh masyarakat, pemenuhannya melalui mekanisme langsung. Negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan.

Jaminan kesehatan dalam Islam, negara berperan secara langsung memenuhi untuk seluruh warga negara (muslim dan nonmuslim) dengan jalan menyediakan sarana pengobatan dan kesehatan yang murah bahkan gratis tanpa menggunakan skema asuransi seperti sistem kapitalis.

Pada zaman Rasulullah dan para Khalifah, kesehatan itu merupakan tanggung jawab negara. Islam memiliki prinsip dasar yang dilakukan oleh negara, dengan paradigma ri'ayah bukan paradigma bisnis, karena pemimpin dalam Islam adalah raa'in, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah :
"Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.
(HR al-Bukhari).

Negara tidak boleh mengambil keuntungan dalam layanan kesehatan, karena layanan kesehatan merupakan tanggung jawab negara. PCR dalam hal ini, harusnya digratiskan karena termasuk dalam bagian layanan kesehatan dengan sumber dana langsung dari Baitul Mal bukan dengan sistem asuransi. Haram menyerahkan penguasaan dan pengelolaan layanan kesehatan kepada swasta, baik lokal apalagi asing. Dan hari ini kita saksikan sangat kontras dengan penanganan Islam. Penanganan kasus Covid termasuk PCR hari ini hampir 80% didominasi oleh swasta. Dalam sistem Islam, swasta hanya diperbolehkan membantu pemerintah, bukan tanggung jawabnya.

Jaminan Layanan Kesehatan Berkualitas, Bukan Sekadar Tanpa Kelas

Dunia Islam yang saat itu berada dalam sistem Khilafah, menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa melihat status ekonomi, sosial, agama, maupun yang lainnya. Semua dilayani dengan layanan kesehatan terbaik level dunia.

Pada zaman pertengahan misalnya, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit. Di Kairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8.000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset.

Semua rumah sakit di dunia Islam dilengkapi tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan, dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu. (Fahmi Amhar, Februari 2020)

Begitu bagusnya rumah sakit dalam Khilafah, hingga menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya. Kontras memang dengan sistem Kapitalisme, ada uang pasien disayang, tak ada uang pasien “ditendang".

Rakyat yang berobat ke rumah sakit Khilafah tidak akan ditanya status kepesertaan BPJS Kesehatan. Semua langsung dilayani berdasarkan level kedaruratan. Ketika pasien pulang, tak perlu menebus obat yang mahal, karena obat tersebut digratiskan negara. Sungguh layanan kesehatan yang paripurna. Semoga jaminan kesehatan yang berkelas ini akan segera diterapkan di muka bumi dengan naungan sistem yang paripurna dan menyejahterakan seluruh manusia yang dipimpin sosok pemimpin yang adil. Aamiin.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ahsani Annajma Kontributor NarasiPost.Com
Previous
BUMN dalam Tata Kelola Kapitalistik
Next
Awas, Virus TTT!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram