”Bayar pajak semudah isi pulsa.” Apakah memang negara semata-mata ingin memudahkan rakyat? Tentu saja tidak. Sistem kapitalisme yang diadopsi oleh penguasa, menjadikan rakyat hanya sebagai objek pemerasan melalui berbagai aturan pajak yang menyengsarakan.
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Masyarakat Indonesia pasti sudah tak asing lagi dengan slogan berikut;”Orang bijak, taat pajak” tentunya sudah akrab disebut dalam keseharian. Akan tetapi sangat disayangkan, slogan yang mengajak rakyat untuk taat membayar pajak ini, tak disertai dengan kebijakan yang menjamin kebutuhan rakyat. Memang, dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis, pajak adalah sumber pemasukan utama keuangan negara. Negara yang menganut sistem ini memberlakukan berbagai macam jenis pajak demi meningkatkan pendapatan negara. Negara pun mewajibkan rakyatnya untuk membayar pajak, termasuk Indonesia.
Menteri keuangan Sri Mulyani memperingatkan para wajib pajak, bahwa mereka tak bisa lagi menghindar dari kewajibannya. Bahkan, Sri Mulyani menyatakan akan mengejar para wajib pajak ini dengan menggunakan drone, jika ada yang menyembunyikan hartanya di sumur. Tampaknya pemerintah bekerja keras melakukan berbagai macam cara demi menggenjot perolehan pajak. Demi mendorong kesadaran para wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak Suryo merealisasikan ide dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yaitu dengan mengeluarkan tagline ”Bayar pajak semudah isi pulsa” Ditjen pajak pun melakukan kerjasama dengan e-commerce seperti Tokopedia untuk mempermudah pembayaran pajak.
Sekilas, tagline ini seolah ingin memberikan kemudahan pada rakyat, hanya melalui smartphone dalam hitungan detik, para wajib pajak bisa menunaikan kewajiban pajaknya. Apakah memang negara semata-mata ingin memudahkan rakyat? Tentu saja tidak. Sistem kapitalisme yang diadopsi oleh penguasa, menjadikan rakyat hanya sebagai objek pemerasan melalui berbagai aturan pajak yang menyengsarakan. Rakyat dibebani dengan berbagai macam jenis pajak, mulai dari pajak penghasilan hingga nasi bungkus, pempek, bahkan kantong plastik pun dikenai pajak. Padahal negara ini kaya akan barang tambang, mineral, dan lain-lain. Akan tetapi pengelolaannya diserahkan kepada asing.
Selain itu, ada begitu banyak jenis pajak yang dibebankan kepada masyarakat di negeri ini, dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai (BM), Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Rokok, Pajak Air Permukaan, Pajak Restoran, pajak Hotel, Pajak reklame, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB), dan lain-lain.
Dalam kondisi ekonomi rakyat yang kian terpuruk karena pandemi, bukannya mencari solusi, negara malah semakin sadis. Segala sesuatu ada pajaknya. Terus diperas, seakan rakyat adalah sapi perah, tak peduli mereka makin tak berdaya. Tidakkah penguasa takut akan ancaman Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Imam Abu Dawud?”Tidaklah akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zalim”
Pajak dalam Islam
Di dalam Islam, imam atau khalifah adalah pihak yang bertanggung jawab mengurusi urusan umat. Sebagaimana dinyatakan Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari no. 844;” Ingatlah tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu. Seorang imam atas manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu”
Dalam institusi Khilafah, seorang khalifah berkewajiban menerapkan Islam secara kaffah, yaitu penerapan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem ekonomi. Islam memiliki aturan yang jelas tentang pembiayaan penyelenggaraan negara. Negara akan mengoptimalkan keberadaan Baitul Mal, yaitu pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin.
Baitul Mal memiliki sumber pendapatan yang telah ditetapkan oleh syariat. Sumber pemasukan tetap Baitul Mal berasal dari fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah. Pemasukan dari kepemilikan umum, seperti minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, selat, mata air, hutan, padang gembala, dan sebagainya. Begitu juga pemasukan dari kepemilikan negara seperti usyur, humus, rikaz, serta harta zakat. Jika harta-harta tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan rakyat maka pembiayaan negara cukup mengoptimalkan harta tersebut.
Dalam negara Khilafah, ada pungutan yang sering disamakan dengan pajak yang disebut dharibah. Akan tetapi faktanya sangat jauh berbeda. Dharibah hanya akan dipungut ketika kas negara dalam keadaan kosong, atau tidak mencukupi, sedang ada pembiayaan yang wajib dipenuhi, yang jika tidak, akan membahayakan kaum muslimin. Sehingga dharibah ini hanya bersifat insidental saja, dan akan dihentikan pemungutannya jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi.
Islam tak hanya agama ritual, namun Islam merupakan sebuah sistem hidup. Maka menyelesaikan perkara pajak pun menggunakan pendekatan sistemis. Khilafah sebagai sistem Islam, mampu membiayai negara tanpa pajak dan utang. Dengan mengoptimalkan pemasukan tersebut. Maka, pajak dalam sistem Islam tidak akan menzalimi rakyat sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Justru pajak ini adalah bentuk peran serta warga negara Khilafah yang berbuah pahala. Akan tetapi keindahan Islam ini, hanya akan kita rasakan ketika diterapkan secara kaffah di bawah naungan Khilafah.
Wallahu a’lam.[]