"Umat Islam harus bersatu dalam sebuah ikatan yang hakiki, bukan ikatan palsu yang tak mampu menyatukan negeri-negeri muslim dalam visi dan misi yang sama. Kesadaran bahwa perubahan besar dan mendasar harus terjadi dengan tuntunan ideologi Islam, bukan ideologi yang sekadar aturan akal-akalan dari pelaku penjajahan."
Oleh. Putri Achmad
NarasiPost.Com-Apa jadinya jika manusia tidak punya tempat tinggal? Pasti banyak urusan kehidupan sehari-hari yang tidak bisa dipenuhi. Mulai urusan keluarga sampai dengan urusan negara. Dalam mengatur urusan negara yang kompleks, setiap pemerintahan biasanya memiliki istana negara. Begitu juga dengan kepala keluarga, butuh tempat tinggal sebagai naungan dari panas dan hujan, tempat berkumpul membangun sebuah keluarga dan meniti mimpi bersama yang dicita-citakan. Namun, bagaimana jika suatu penduduk wilayah tertentu, terkhusus lagi komunitas muslim di wilayah tertentu harus terusir dari tanah tempat mereka hidup selama ini? Mungkin, sebagian dari kita belum pernah membayangkannya apalagi mengalaminya.
Umat Islam adalah umat terbesar kedua di dunia. Kurang lebih 24% populasi manusia di bumi ini beragama Islam, artinya sekitar 1,9 milyar penduduk di muka bumi ini adalah muslim. Populasi muslim terbesar di dunia menempati wilayah di Asia Selatan, sekitar 31% muslim di dunia berada di Asia Selatan, namun muslim di wilayah ini adalah mayoritas kedua setelah Hindu karena umat Islam tidak menempati jumlah mayoritas di India. Artinya, muslim di India ada di bawah umat Hindu. Bukan sebagai mayoritas menjadi masalah di India saat ini, apalagi setelah Perdana Menteri India, Narendra Modi bersama partainya BJP (Partai Nasionalis Hindu) memanfaatkan kekuasaannya untuk membuat aturan yang tidak adil pada umat Islam.
Menjelang akhir September, beberapa media memberitakan peristiwa tragis yang dialami muslim di Assam, salah satu negara bagian di India. Dilansir dari Republika Online, Rabu (29/9) Dewan Muslim Amerika India (IAMC) mengutuk penggusuran paksa penduduk di Assam yang sebagian besar adalah muslim. Sekitar 800 keluarga diusir dalam aksi tersebut. IAMC juga membahas video kekejaman polisi yang menembaki warga sipil yang tengah bersembunyi, salah satu dari dua orang yang tewas adalah seorang bocah lelaki berusia 12 tahun dan seorang lagi tewas ditembak di bagian dada dan dipukul menggunakan tongkat.
Penduduk Assam diperlakukan dsikriminatif oleh aparat dan pejabat penguasa setempat dikarenakan konflik kependudukan muslim Assam di tanah tersebut. Sebagaimana telah diberitakan oleh banyak media, baik media lokal ataupun media internasional, sejak Parta Nasionalis Hindu (BJP) memenangkan pemilu di India, sikap diskriminatif terhadap umat muslim sebagai minoritas semakin menguat. Berawal dari RUU Kewarganegaraan (kini telah menjadi UU) yang diamandemen dengan tujuan awal memberikan kemudahan bagi imigran ilegal dari negara sekitar India untuk menjadi warga negara India atau menjadi imigran legal. Namun, anehnya hal ini hanya diberlakukan kepada imigran nonmuslim. Sungguh, kebijakan yang jelas-jelas diskriminatif.
Konflik kewarganegaraan, persengketaan wilayah antara penduduk muslim dengan penduduk nonmuslim (terutama umat Hindu sebagai rakyat mayoritas) di tanah India, bukanlah baru-baru ini saja terjadi. Tentu, masyarakat dunia terlebih dahulu sudah sering mendengar sebuah wilayah di daratan Hindustan yang dari dulu sering terjadi konflik antara muslim dengan nonmuslim bernama Kashmir. Ya, daerah yang sampai saat ini masih diperebutkan oleh dua negara yang dahulunya adalah satu wilayah. India dan Pakistan merupakan saudara yang saling bermusuhan dan selalu bertikai memperebutkan Kashmir, saudara lainnya yang harusnya dilindungi. Bukan diperebutkan untuk dikuasai dan dieksploitasi.
Dikutip dari buku Negeri-Negeri Muslim yang Terjajah disebutkan bahwa Kashmir merupakan wilayah yang telah ditaklukkan oleh kaum muslimin sekitar akhir abad pertama Hijriyah. Di masa Kekhilafahan ‘Abbasiyah, di bawah kepemimpinan al Mu’tashim kekuasaan Islam semakin meluas menjangkau India, Pakistan, Kashmir, Bangladesh (wilayah negara-negara saat ini). Sejarah kelam negeri-negeri muslim tersebut dimulai sejak Inggris mulai bermain peran sebagai penjajah di kawasan tersebut. Meskipun awalnya Inggris mendapatkan perlawanan yang keras dari kaum muslimin dan kalah menghadapi perlawanan tersebut. Namun, akhirnya di tahun 1846 M karena upaya yang terus menerus dalam memerangi umat Islam di anak benua India tersebut Inggris berhasil menduduki wilayah tersebut.
Sejak saat itu, Inggris membagi anak benua India menjadi tiga bagian. Salah satu bagian adalah Kashmir yang disewakan Inggris kepada Hindustan selama 100 tahun! Hal ini tertuang dalam perjanjian Amritsar. Isi perjanjian tersebut tentu berdampak sangat besar bagi keberadaan umat Islam di Kashmir. Biasanya, penduduk minoritas yang dianggap bukan penduduk asli di tanahnya akan diperlakukan sebagaimana benalu, sehingga ada alasan untuk disingkirkan (tak jarang hingga terjadi pembunuhan), dipaksa menaati kebijakan penguasa yang sedang eksis saat itu dan tidak diberikan kebebasan untuk beribadah dan beraktivitas sesuai dengan keyakinannya, yaitu sebagai muslim.
Konsekuensinya, muslim harus berpindah ke negara terdekat (imigrasi). Bahkan sering terjadi, jika ingin aman dan diakui di wilayah yang baru, maka pendatang harus mau kompromi. Asimilasi budaya biasanya terjadi pada peristiwa semacam ini. Akhirnya, umat Islam yang memilih kompromi akan kehilangan identitasnya sebagai muslim. Bagi yang memilih untuk bertahan dengan keyakinannya yang lurus akan memilih risiko ditindas terus menerus. Ironisnya, penindasan yang dilakukan kepada muslim minoritas dilegalkan dengan berbagai dalih, teroris, radikal, imigran ilegal, dan lain-lain.
Merujuk pada sejarah umat Islam di Asia Selatan tentu hal seperti ini harusnya tidak perlu terjadi karena dahulu umat Islam di wilayah tersebut adalah umat yang satu. Tak ada batas atau sekat-sekat negara bangsa antara India, Bangladesh, dan Pakistan. Penjajahan kaum kuffarlah yang telah menjadikan muslim di Asia Selatan kini terpecah belah, selain faktor internal kaum muslimin sendiri yang semakin jauh dari pemahaman Islam yang benar, sehingga mudah diperdaya penjajah. Kashmir diperebutkan oleh India dan Pakistan, begitu juga diskriminasi muslim di Assam terjadi hanya karena India tak ingin mengakui muslim Assam yang merupakan imigran dari Bangladesh.
Problem berkelanjutan pada muslim minoritas bukan hanya terjadi di India, kawasan Asia Selatan. Kawasan Asia Tenggara pun tak sedikit yang bernasib serupa muslim di Asia Selatan. Apa kabar muslim Pattani di Thailand? Apa kabar muslim Moro di Filipina? Apa kabar muslim Rohingya di Myanmar? Di wilayah Asia Tengah ada muslim Uyghur.
Nasib mereka hingga saat ini ada dalam ketidakpastian. Lalu, bagaimana dengan kita, umat Islam mayoritas di negeri muslim terbesar, Indonesia? Apa kabar umat Islam di negeri yang terkenal kaya raya seperti Qatar, UEA, Arab Saudi? Akankah kita disibukkan dengan problem di negeri masing-masing, tanpa peduli terhadap saudara muslim di negeri-negeri lainnya?
Umat Islam harus bersatu dalam sebuah ikatan yang hakiki, bukan ikatan palsu yang tak mampu menyatukan negeri-negeri muslim dalam visi dan misi yang sama. Kesadaran komunal yang sudah ada tetap terjaga, bahkan mengalami pengarusan di berbagai belahan dunia di mana umat Islam ada. Kesadaran bahwa perubahan besar dan mendasar harus terjadi dengan tuntunan dari ideologi Islam, bukan sekadar aturan akal-akalan dari pelaku penjajahan.
Sudah lebih dari cukup penderitaan manusia di bumi Allah, sangat tak pantas bagi orang yang berakal sehat tetap diam dan hanya menjadi penonton. Perubahan nasib umat Islam ada di tangan umat Islam dan Allah hanya meridai Islam sebagai jalan hidup yang akan membawa kita pada perolehan keberuntungan hakiki. Keberuntungan di dunia dan di akhirat.
Nilai-nilai universal yang selama ini dijunjung tinggi oleh dunia dan dipelopori oleh negara adidaya, laksana pedang tumpul jika digunakan oleh muslim minoritas yang masih tertindas. Bahkan, lembaga-lembaga dunia pun seakan tak punya gigi untuk menyeringai bak raja hutan kepada penguasa, aparat atau pelaku-pelaku kezaliman pada muslim minoritas. Jargon HAM, toleransi menjadi omong kosong yang tak pernah terwujud sampai saat ini bagi terpenuhinya hak-hak dasar, termasuk kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinan muslim minoritas, yaitu Islam.
Lalu, bagaimana dengan demokrasi? Buah cacatnya kapitalisme sekuler yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berkeyakinan. Semakin nampak kecacatannya di mata dunia, terutama di mata umat Islam.
Salah satu bentuk solidaritas kita sebagai saudara sesama muslim adalah menuntut pertanggungjawaban dunia internasional dan lembaga-lembaga dunia agar mereka dapat bersikap adil terhadap kezaliman kepada muslim minoritas di mana pun berada. Mungkin suatu saat nanti dunia akan sampai pada satu kesadaran tentang ketidaklayakan nilai-nilai universal yang palsu dan bersegera menggantinya dengan syariat Islam yang mampu memberikan keadilan kepada semua umat manusia di bumi Allah. Tak pernah akan terjadi nonmuslim minoritas ditindas muslim mayoritas. Wallahu a’lam.