"Fenomena ini telah menjadi borok yang sulit dihilangkan. Sejak awal pandemi Covid-19, kasus penyalahgunaan bansos terjadi hampir di seluruh wilayah negeri. Basis data yang tidak terverifikasi dengan baik dan kegagalan negara dalam memberantas praktik korupsi telah menjadi masalah sistemis yang menimpa negeri ini."
Oleh. Ana Nazahah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan dengan beredarnya video Menteri Sosial Tri Rismaharini marah-marah ke salah satu petugas pendamping bansos Program Keluarga Harapan (PKH) di Gorontalo. Dalam video yang viral tersebut, Risma terekam marah-marah sambil menunjuk-nunjuk dan bangkit dari duduknya, “Jadi bukan kita coret ya! Tak tembak kamu ya, tak tembak kamu!” ujar Risma dalam video tersebut.
Kemarahan Risma akhirnya berbuntut panjang. Menimbulkan kegaduhan antarpejabat publik. Banyak pihak yang mengkritik dan menyayangkan sikap Risma sebagai pemimpin. Di hadapan rakyat, Risma telah menampakkan sikap tidak dewasa dan jauh dari bijaksana. Rakyat mempertanyakan apakah wajar menjalankan amanah dengan amarah? Apakah emosi bisa membawa solusi bagi rakyat bangsa ini?
Bansos yang Tidak Tepat Sasaran
Seperti yang kita ketahui, problem penyaluran bansos baik PKH, BLT, dan lain-lain mengalami kendala, hampir di seluruh wilayah Indonesia. Baik karena tidak tepat sasaran, pun karena dikorupsi. Peristiwa ini bukan hal baru, selama mekanisme penyaluran bantuan tidak dilakukan secara transparan dan penuh keadilan. Maka budaya korupsi dan salah sasaran dana bansos pun menjadi hal yang tak bisa dielakkan.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Hanifah Febriani. Beliau mengatakan pemberian dana bansos di tengah kondisi ekonomi yang terguncang akibat Covid-19 saat ini, akan membuka celah terjadinya korupsi, dengan modus penerima tidak tepat sasaran atau bahkan yang wajib menerima tidak terdata sama sekali.
Mekanisme penyaluran bansos di masa bencana memang berbeda dengan saat tidak terjadi bencana. Di mana saat ada bencana, kecepatan dan jangkauan bansos merupakan masalah yang diutamakan. Inilah yang menyebabkan dana bansos sering kita dapati tidak tepat sasaran. Selain itu, lemahnya aspek pengawasan serta transparansi dana bansos, yang berakibat rawan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Fenomena ini telah menjadi borok yang sulit dihilangkan. Sejak awal pandemi Covid-19, kasus penyalahgunaan bansos terjadi hampir di seluruh wilayah negeri. Basis data yang tidak terverifikasi dengan baik dan kegagalan negara dalam memberantas praktik korupsi telah menjadi masalah sistemis yang menimpa negeri ini.
Negara Butuh Pemimpin yang Bijak dan Paham Solusi
Problem negara yang besar dan menumpuk, terkait korupsi dan penyalahgunaan bansos yang dialami saat ini, membutuhkan kinerja solid dari seluruh pihak yang terkait. Baik itu pemimpin, pejabat wilayah yang bertugas di lapangan, bahkan rakyat sebagai pihak yang paling dirugikan, seharusnya saling membantu demi kelancaran prosedur penyaluran bansos.
Karenanya, sikap Menteri Risma yang marah-marah di hadapan petugas bansos di Gorontalo tidak memberikan faedah apa-apa bagi rakyat. Hanya menambah fakta bobroknya pengurusan terhadap kebutuhan rakyat oleh pejabat dan pemimpin negeri ini. Rakyat butuh pemimpin yang solid, tegas memberantas korupsi, rapi dalam perekapan data masyarakat. Bukan malah menimbulkan kegaduhan, pro, dan kontra dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, banyak yang menyayangkan sikap Risma. Sebagai pemimpin seharusnya Risma memberikan contoh dan teladan dalam bersikap. Tidak mudah emosi dan kehilangan wibawa di hadapan sesama pejabat yang sejatinya sama-sama bekerja untuk rakyat. Terlebih, problem data fiktif penerima bansos dan maraknya korupsi bansos merupakan masalah sistemis. Bagaimana mungkin yang bertanggungjawab segelintir orang saja? Kesalahan terstruktur tidak akan terjadi, kecuali atas dukungan sistem yang membuka peluang terjadinya kecurangan. Jika seluruh masalah di negeri ini disikapi dengan emosi, bukankah itu hanya akan menghabiskan energi? Pada akhirnya masalah hanya mencuat di cabang, sementara akar masalah terlupakan.
Beginilah, jika mekanisme pengaturan kehidupan diserahkan pada akal manusia yang terbatas, pada mekanisme sekuler yang menjauhkan aturan Tuhan dari kehidupan. Kekacauan dan kegagalan yang terjadi saat kita meninggalkan hukum Allah dan mengambil hukum tagut sebagai landasan dalam kehidupan.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan umat saat ini adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Pemimpin yang memiliki sifat-sifat terpuji dan bertingkah laku baik. Utamanya, pemimpin itu adalah orang yang mau menegakkan aktivitas amar makruf nahi munkar serta berhukum dengan hukum Allah. Tidak berkompromi dengan hukum kufur, apa pun taruhannya. Di saat ada rakyatnya yang menentang hukum Allah atau pejabat yang berlaku culas memakan uang rakyat. Sang pemimpin akan menampakkan marahnya, bukan dengan marah-marah, melainkan dengan memberikan hukuman tegas sehingga menjadi pengobat dan pencegah bagi orang lain untuk melakukan yang sama.
Sayangnya, pemimpin seperti ini tidak akan lahir dari sistem demokrasi. Sebab, dalam demokrasi para pemimpin justru dimanjakan dengan kenikmatan dunia, sementara rakyat merana. Tentu saja, pemimpin yang benar-benar tulus mengayomi rakyat, tidak pilih kasih, dan memiliki sikap akhlak yang tinggi hanya akan ditemui di dalam sistem yang baik, yakni sistem Islam. Hanya pemerintahan dalam Islam yang mampu menghadirkan sosok pemimpin yang tulus mencintai umat, dan karenanya umat pun mencintainya.
Kepemimpinan dalam Islam
Islam menetapkan, seorang pemimpin dituntut menjalankan politik berlandaskan takwa. Jabatan yang diberikan kepadanya merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Karenanya, selain adil dan merdeka pemimpin juga wajib memenuhi kriteria mampu dalam perspektif syariat. Mampu di sini bukan hanya fisik, namun juga mental. Sehingga tugas besar yang diamanahkannya bisa dijalankan dengan sikap adil, jujur, berani, teguh, rendah hati dan penuh kesabaran.
Pemimpin dalam Islam tak takut dikoreksi apabila salah. Pejabat yang mau mendengar, akan didengar. Sehingga, jika ada pejabat yang keliru ia akan tulus menerima nasihat dan arahan dari pemimpinnya. Begitulah, antar pemimpin dan pejabat tolong menolong demi kebaikan negara. Sikap inilah yang diajarkan dan dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Rasul tidak segan meminta pendapat dari para sahabat apabila dibutuhkan. Bersama kaum Anshar dan Muhajirin membawa negara Islam menuju digdaya.
Khatimah
Dalam Islam, posisi sebagai pemimpin tidak diserahkan pada sembarang orang. Kecuali dia memenuhi kriteria yang telah syariat tentukan. Tugas menjadi pemimpin itu, adalah tugas yang menuntut segala daya dan upaya yang besar, selain kesiapan mental dan sikap teguh pada pendirian. Karena itu Allah melarang menyerahkan kepemimpinan pada perempuan. Dengan alasan perempuan itu mengalami haid, yang berakibat dia berhenti salat selama beberapa waktu. Begitu pun saat melahirkan, akan menghambatnya dalam tugas mengurusi negara. Terakhir, wanita itu diberikan oleh Allah perasaan yang lebih sensitif dari pada laki-laki. Wanita mudah meneteskan air mata, tersinggung, dan tidak bersabar. Sehingga, jika diberikan amanah dalam wilayah kekuasaan, dikhawatirkan ia tidak akan mampu menjaga emosinya sehingga cenderung bersikap tidak adil.
Begitulah Islam, memberikan pengaturan yang begitu indah dan sempurna. Sesuai dengan fitrah kita sebagai hamba. Tinggal kita sebagai hamba yang bertakwa, berserah diri dengan mengambil hukum-Nya dan mempraktikkan hukum-hukum tersebut ke dalam seluruh lini kehidupan kita. Niscaya hidup kita akan dipenuhi rahmat-Nya. Indonesia yang besar ini akan dilimpahkan berkah.
Wallahu a'lam.[]