Do'akan dan Ingatkan Aku, Sayang!

"Memiliki suami yang bekerja di sebuah perusahaan umum membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dunia kerja di sistem kapitalisme menyimpan dilema pada sebuah keutuhan keluarga. Namun, kembali pada keimanan dan keyakinan kepada Allah, semoga Allah memberi kemudahan dan pertolongan."

Oleh: Farihah

NarasiPost.Com-Sejak tadi pagi, Andi terlihat sibuk dengan ponselnya. Sejak kepulangannya dari dua kota suci, tiga hari yang lalu, Andi masih belum masuk kerja. Sehingga banyak yang menghubunginya, terutama dari kantor.

"Ada info apa Bi?" tanya Ita -- istri Andi.

"Besok Senin ada tugas ke luar kota," jawab Andi yang nampak masih lelah.

Ita mengajak Andi untuk makan siang dulu. Di meja makan sudah tersedia makanan kesukaan Andi. Sambel goreng ati sapi plus petai, ditemani sayur asem dan ikan asin. Sedangkan untuk anak-anak sengaja dibuatkan semur ati sapi.

"Anak-anak di mana?" Andi baru tersadar, sedari tadi tidak terdengar suara mereka.

"Anak-anak baru saja tidur.”


"Sudah disiapkan pakaian dan barang-barang lain untuk berangkat besok?"

"InsyaAllah sudah Bi, paling nanti dicek lagi khawatir ada yang tertinggal."

"Alhamdulillah pakaian yang akan dibawa sudah lengkap Mi, cuma nanti jangan lupa charger masukan ke tas." Sambil Andi bersiap untuk menidurkan Yusuf dan Hani. Biasanya jika hendak ke luar kota, Andi memberikan wejangan pada kedua anaknya.

Andi bekerja di sebuah perusahaan lembaga sosial sejak dari sebelum menikah. Dalam sebulan ada saja tugas ke luar kota. Bagi Ita menjadi hal yang biasa ditinggal pergi. Pernah ditinggal saat hamil muda, hamil tua saat hampir melahirkan, saat baru seminggu lahiran, dan yang paling sedih adalah saat Ita dan Yusuf -- anak pertamanya, sakit. Alhamdulillahnya, biasanya tidak lama hanya dua hari. Segala kebutuhan pun sudah tersedia, sebelum Andi berangkat ke luar kota.

Ita merebahkan badannya ke kasur setelah seharian mengurus rumah dan menemani anak-anak bermain. Sebelum tidur, Ita biasa mengecek ponsel. Untuk memasang alarm dan mengecek notifikasi, khawatir ada info penting. Begitulah seorang ibu, jarang membuka ponsel atau kadang ponsel hilang tiba-tiba karena jatuh atau dimainkan anak-anak.

Saat Ita membuka tiap notifikasi, ada sebuah notifikasi di laman FB-nya.

[Selamat ngedate, senangnya bisa bertugas ke kota Yogyakarta, salam deh sama Santi]

"Astaghfirullah," Ita mengelus dada. Saat membaca komentar salah satu teman wanita Andi di kantor. Merespon status Andi yang menuliskan 'Siap Berangkat ke Yogyakarta Besok, Bismillah… '

Ita menutup ponselnya dengan wajah kesal. Komentar itu hanya membuat hatinya bergemuruh. Rasa kantuknya hilang seketika. Namun, Ita tetap mencoba untuk memejamkan matanya. Berharap mimpi indah melupakan sejenak hal itu.


Terdengar suara taksi sudah berada di depan rumah, tepat pada pukul 03.30. "Hati-hati ya, Bi" ucap Ita penuh makna. Sambil berdoa di dalam hati agar Allah menjaga suaminya dari segala marabahaya dan perbuatan maksiat.

Memiliki suami yang bekerja di sebuah perusahaan umum membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dunia kerja di sistem kapitalisme menyimpan dilema pada sebuah keutuhan keluarga. Namun, kembali pada keimanan dan keyakinan kepada Allah, semoga Allah memberi kemudahan dan pertolongan.

Tak jarang seorang wanita mempertontonkan kecantikannya melebihi kata wajar. Mulai dari dandanan yang wah, pakaian yang ketat, transparan, parfum dan masih banyak yang lainnya. Diperparah interaksi yang bebas, tidak sedikit dari mereka bercanda antara pria dan wanita. Bahkan, kadang saling curhat tentang kehidupan keluarga. Hal itu menjadikan hati Ita selalu khawatir akan suaminya.

Ita segera mencari ponselnya, berniat untuk mengingatkan Mbak Andra. Ternyata ponselnya sedang dimainkan oleh Yusuf dan Hani yang sedang menonton film anak-anak.

"Umi boleh pinjam ponselnya?" tanya Ita pada kedua anaknya.

"Belum selesai Umi filmnya" jawab Yusuf.

Ita dengan sabar menunggu, sambil matanya melirik film yang ditonton anak-anak. "MasyaAllah, pintar sekali Rico" komentar Ita di sela-sela saat menonton.
Yusuf hanya nyengir, mendengar komentar uminya. Film pun usai, Yusuf menyerahkan ponselnya kepada Ita.

Diambil ponsel itu dan ditaruh di atas meja. Ita mengondisikan anak-anak terlebih dulu untuk bermain. Diambilnya mainan yang tersimpan di wadah besar. Berbagai macam mainan tetapi banyak yang rusak. Walau begitu, Yusuf dan Hani masih memainkannya. "Sayang jika dibuang, masih bisa dimainkan kok" alasan Yusuf. Jika Ita menyuruhnya untuk membuang mainan yang sudah rusak.

Setelah mereka terlihat anteng, Ita mulai membuka ponselnya. Ita mulai membuka messenger dan mencari nama wanita itu. Setelah ditemukan, lanjut mengetik pesan berupa nasihat.

[Assalaamu'alaikum Mbak Andra, saya Ita istri Andi. Afwan, komentar di status bisa dihapus? Sepertinya tidak baik sebagai muslimah menyampaikan hal itu].
Pesan langsung dikirim, ternyata pesannya langsung terbaca. Ita menghela nafas panjang, seraya menenangkan hati.

[Maaf mbak, maksudnya apa ya?] jawaban masuk, langsung dibaca Ita. Kemudian dijawab kembali, dengan sedikit kesal. Ita mengirim screenshoot komentar Mbak Andra.

[Ya Allah maaf mbak, maksudnya bukan apa-apa. Ngedate itu dari bahasa Inggris yang artinya bertemu].
Jantung Ita semakin berdegup kencang, memompa darah dengan ritme yang cepat.

[Mbak Andra, kalau di negeri kita umumnya ngedate itu sudah konotasi buruk, sehingga kita tidak baik untuk menggunakannya]

[Maaf mbak, saya tidak bermaksud begitu, komentarnya sudah dihapus kok.]

[Kita sebagai muslimah harus menjaga kehormatan, terlebih sudah memiliki keluarga. Jaga kepercayaan pasangan kita dengan menjaga diri dari hal-hal yang mengarah kepada kemaksiatan. Baik lisan, sikap, dandanan dan lainnya. Semoga Mbak Andra berkenan, mohon maaf.]

Mbak Andra pun balik meminta maaf. Ita merasa legah telah menyampaikan hal itu, karena bukan sekali kasus ini terjadi. Pernah beberapa kali, tetapi Ita memilih menasehati Andi terlebih dulu. Untuk menjaga interaksi, menundukkan pandangan, serta tidak berkhalwat dan ikhtilat. Awalnya Andi tidak menerima, kadang terjadi percekcokan. Namun, seiring berjalannya waktu Ita dan Andi semakin dewasa untuk menyikapi segala masalah.

Ita mencoba memberikan pelayanan terbaik, berusaha menjadi istri salehah, dan memberikan nasihat dengan baik. Andi pun mencoba memperbaiki diri dan berusaha menjadi imam bagi istri dan anak-anaknya.


"Bagaimana tugas di Yogyakarta Bi?" tanya Ita. Saat mereka sedang duduk santai, selepas selesai makan malam.

"Alhamdulillah, lancar" jawab Andi singkat.

"Di sana Abi tidak jalan-jalan?" tanya Ita kembali.

"Acaranya padat, lagi pula Abi kan sudah sering ke Yogyakarta" jawab Andi.

Mendengar jawaban itu, Ita merasa legah. Berarti Andi tidak ketemuan dengan teman-teman wanita. Senyum merekah terulas di bibir Ita, ucap syukur di hati kecilnya.

"Hemm, Umi kenapa?" Andi merasa heran dengan tingkah Ita.

Akhirnya Ita pun bercerita tentang kejadian kemarin. Andi tersenyum dan berkata "Oh iya status itu ditulis pada hari Ahad pagi sebelum berangkat. Tapi setelah itu belum dibuka lagi," jawab Andi.

Ita tak ingin berpikiran apa pun apakah Andi tahu atau tidak komentar dari temannya itu. Yang terpenting adalah Andi tidak bertemu dengan salah satu teman wanita di Yogyakarta.

"Mi, terima kasih doanya" sambil diraih tangan Ita oleh Andi.

"InsyaAllah Abi akan jaga kepercayaan Umi pada Abi. Semoga Allah menjaga keutuhan keluarga kita. Menjadikan keluarga kita Sakinah mawaddah wa rahmah. Aamiin.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Farihah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Titipan, Bukan Kepunyaan Kita
Next
Normalisasi Hubungan dengan Israel: Nasib Palestina Versus Keuntungan Amerika
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram