"Dalam bingkai kapitalisme, kekuasaan menjadi cara instan untuk memperkaya para pejabat demi memenuhi hasrat hedonisme. Seakan menutup mata, atas keterpurukan yang dialami rakyat yang berjuang sekuat tenaga mempertahankan hidup di tengah ganasnya pandemi."
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Fenomena yang mencengangkan terjadi di negeri ini. Dilaporkan kekayaan pejabat naik drastis di tengah pandemi. Padahal keadaan ekonomi kian memburuk, yang mengakibatkan angka kemiskinan kian merangkak, jumlah anak putus sekolah membengkak, dan pengangguran semakin banyak. Bertambahnya kekayaan pejabat ini, tak lepas dari gaya hidup hedonisme yang menjangkiti mereka. Seakan tanpa merasa bersalah, mereka menghamburkan uang negara untuk menambah pundi-pundi kekayaan, dan memenuhi hasrat pribadi mereka.
Belum lama ini publik dibuat gusar dengan pemberitaan bahwa, anggota DPRD Tangerang menghabiskan dana sekitar Rp675 juta, dengan bahan merk dunia Luis Vuitton, hanya untuk baju dinas. Anggaran ini membengkak dua kali lipat, dari anggaran tahun lalu yaitu Rp312,5 juta. Sungguh begitu mewahnya harga yang dibanderol untuk sekadar baju dinas saja. Tentu ini sangat menyakiti hati rakyat, yang terus mengais kehidupan di tengah-tengah memburuknya ekonomi akibat pandemi.
Tentu kita pun masih ingat, dalam rapat kerja dengan komisi lll DPR RI, pada 14 September 2020 lalu, dengan mudahnya KPK mengajukan tambahan anggaran dana, sebesar Rp825 miliar rupiah di tahun 2021. Salah satu anggaran tersebut dialokasikan untuk mobil dinas. Dengan rincian, harga mobil kisaran miliaran rupiah untuk para pimpinan KPK. Adapun, mobil dinas baru ketua KPK dianggarkan sebesar Rp1,4 miliar. Sedang 4 wakil ketua KPK masing-masing Rp1 miliar dengan spesifikasi mobil di atas 3500 cc. Parahnya, pengajuan tambahan anggaran ini pun telah disetujui oleh DPR.
Begitulah, kembali pejabat publik negeri ini bertindak di luar koridor. Bagaimana mungkin pejabat publik tega, tetap mengajukan tambahan anggaran dana hanya untuk mobil dinas, di tengah penderitaan rakyat yang kian mengganas. Padahal, kinerja para lembaga negara termasuk KPK saja semakin menurun. Sekian banyak kasus mega korupsi yang tak terselesaikan, makin menambah tinggi kerugian negara. Namun, kemewahan tetap dituntut untuk dipenuhi. Mengesampingkan nurani, membunuh empati, dan menari di atas derita rakyat di tengah ganasnya pandemi.
Indonesia Corruption Watch menilai sikap KPK yang demikian, menunjukkan keserakahan dan bentuk praktik hedonisme pimpinan KPK. ICW melaporkan, sekiranya terdapat dua kondisi yang menunjukkan keserakahan dari pemimpin KPK: pertama, kala tetap melanjutkan pembahasan tentang kenaikan gaji pimpinan KPK. Kedua, ketika mengusulkan anggaran untuk membeli mobil dinas seharga satu miliar rupiah.
Kapitalisme Sarang Hedonisme
Sesungguhnya, keserakahan maupun hedonisme pejabat saat ini lumrah terjadi. Hal ini, tidak terlepas dari paradigma kepemimpinan yang dibangun oleh sistem sekuler demokrasi. Sebagaimana yang diketahui, sekularisme menjadikan manusia hidup bukan dengan aturan Allah subhanahu wa ta’ala, melainkan dengan berbagai bentuk kesepakatan pendapat manusia. Aturan Allah dipisahkan dari kehidupan. Sehingga, perbuatan manusia bukan berorientasi pada keridaan Allah azza wa jalla. Melainkan, kepuasan diri semata.
Beranjak dari paradigma seperti inilah, pejabat publik saat ini memimpin rakyat. Mereka mengklaim diri mereka adalah wakil rakyat, namun nyatanya, mereka memanfaatkan kedudukan mereka untuk menikmati fasilitas-fasilitas mewah demi kepentingan pribadi. Sistem demokrasi sudah cacat sejak lahir. Maka pemimpin yang dilahirkan juga tidak akan jauh berbeda. Sebenarnya, sifat dan karakter para pemimpin atau pejabat publik akan baik, apabila sistem yang diterapkan adalah sistem yang sahih, yaitu Islam dengan sistem Khilafahnya.
Islam Mencetak Pemimpin Zuhud
Islam memandang, setiap perbuatan seorang muslim harus berlandaskan akidah Islam. Terlebih, ketika mereka mendapat amanah jabatan. Hal ini akan menjadikan para pejabat dalam Khilafah meyakini, bahwa setiap kebijakan yang diambil akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Maknanya, jabatan dalam Islam bukan hanya masalah kekuasaan, namun memiliki konsekuensi surga dan neraka. Maka hasilnya, sistem dan karakter para pemimpin pada masa Khilafah, terbukti mempunyai nilai lebih di atas rata-rata. Apalagi, jika dibandingkan dengan para pemimpin atau pejabat sekarang.
Sifat serta karakter para pemimpin dalam Islam, dijelaskan dengan begitu gamblang dalam buku The Great Leader of Umar bin Khattab, karya DR. Muhammad Ash-Shalabi. Buku ini mengisahkan kehidupan dan kepemimpinan khalifah kedua umat Islam Umar bin Khattab. Buku tersebut menjelaskan, bahwa para gubernur pada masa Khalifah Umar wajib mempunyai akidah yang benar, senantiasa terikat dengan hukum syariat, dan memiliki kemampuan dalam memimpin umat. Bukan hanya itu, mereka pun bersifat pemberani, zuhud, rela berkorban, dan rendah hati. Mereka juga mudah menerima nasihat orang lain, bijaksana, sabar, bercita-cita tinggi, dan memiliki keteguhan hati, keinginan yang kuat, adil, dan mampu menyelesaikan permasalahan.
Bahkan dalam mengangkat pegawai, Khalifah Umar pun menyertakan beberapa syarat, yang beliau tulis dalam sebuah surat kepada mereka. Surat tersebut memuat sumpah yang dibacakan oleh pejabat yang dipilih, dan disaksikan oleh sejumlah orang. Adapun, isi suratnya adalah dia atau pegawai tidak akan menunggang kuda milik pemerintah, tidak makan enak, tidak memakai pakaian yang bagus, dan tidak menutup pintu untuk melayani keperluan kaum muslimin. Kemudian Khalifah Umar pun berdoa: ”Ya Allah saksikanlah apa yang dia katakan.”
Khalifah Umar melakukan hal tersebut kepada pejabat yang dipimpinnya. Supaya setiap pegawainya berkomitmen dengan kehidupan zuhud, dan rendah hati terhadap orang lain. Tak lupa, menyertakan keharusan seorang pegawai berlaku sederhana dalam pakaian, dan kendaraannya. Hal ini, diharapkan sebagai langkah awal untuk memperbaiki keadaan rakyat. Semua pegawai yang bekerja dalam negara Khilafah, sepenuhnya diatur dengan hukum ijarah atau kontrak kerja. Mereka mendapatkan perlakuan adil, yang sejalan dengan hukum syariat.
Khilafah melindungi dan memenuhi hak-hak mereka sebagai pegawai, baik pegawai biasa maupun direktur. Para pegawai bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing, dengan selalu memperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai pegawai negara, maupun sebagai rakyat. Dalam perannya sebagai pegawai negara, mereka bertugas melayani urusan-urusan rakyat, sesuai dengan tugas dan fungsi mereka di masing-masing departemen. Jawatan dan unit mereka tidak dibebani dan dituntut melakukan tugas-tugas di luar tugas yang telah diakadkan.
Sedangkan dalam peran mereka sebagai rakyat, negara Khilafah akan melayani dan memperlakukan mereka, hingga apa yang menjadi hak mereka terpenuhi secara sempurna. Dengan aturan-aturan di atas, pegawai akan bekerja dengan amanah dan maksimal. Sebab, mulai dari rekrutmen kepegawaian, deskripsi, pembagian tugas, hak, dan kewajiban, tergambar dengan jelas. Khilafah memenuhi seluruh hak-hak mereka. Sehingga seluruh pelayanan urusan dan kepentingan rakyat, berjalan dengan mudah dan cepat, juga dengan hasil yang sempurna.
Begitulah kelangsungan roda pemerintahan Khilafah benar-benar terjaga. Akidah dan kinerja pejabat publik terjaga, menjadikan mereka amanah dan jauh dari gaya hidup hedonisme. Hak-hak rakyat pun terjaga, sehingga kesejahteraan dirasakan oleh warga negara Khilafah, yang kemudian meluas hingga seluruh umat manusia.
Wallahu a’lam[]