"Rencana penarikan PPN pada sektor pendidikan tak lepas dari tata kelola kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Dalam konsep kapitalisme, negara (pemerintah) bukanlah pelayan rakyat, melainkan hanya fasilitator. Negara tidak menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat, termasuk pendidikan. Jika rakyat ingin mendapatkan pemenuhan yang layak atau berkualitas tinggi, mereka harus membayar kepada pihak penyelenggara jasa pelayanan. Jika tak mampu membayar, harus bersabar dengan pemenuhan yang seadanya."
Oleh. Pahriati, S.Si. (Praktisi Pendidikan)
NarasiPost.Com-Polemik pajak pendidikan telah bergulir sejak beberapa bulan lalu. Berawal dari rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap beberapa sektor yang sebelumnya dikecualikan sebagai Objek Jasa Kena Pajak (JKP), termasuk bidang pendidikan. Rencana tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Menteri Keuangan bersama Komisi XI DPR RI telah menyetujui rancangan tersebut. Kabarnya, RUU ini akan dibahas dalam rapat paripurna, awal pekan depan. (m.merdeka.com, 30/09/2021)
Dikutip dari bppk.kemenkeu.go.id (17/06/21), pemerintah ingin menarik PPN dari sekolah mewah atau sekolah swasta bertaraf internasional, karena insentif PPN saat ini dianggap tidak tepat sasaran. Di tahun 2021, pemerintah menganggarkan Rp550 triliun untuk sektor pendidikan. Anggaran tersebut terpakai untuk semua fasilitas pendidikan, termasuk pendidikan mewah. Anggaran pendidikan gratis dan les privat berbayar tinggi, sama-sama tidak kena PPN. Sebagai solusi kesenjangan ini, pemerintah ingin melakukan reformasi sistem PPN dengan menyiapkan RUU KUP.
Banyak pihak yang kemudian protes terhadap rencana ini, karena akan menyebabkan efek domino. Meski penarikan PPN hanya dilakukan untuk sekolah tertentu, tetap saja hal itu tak elok untuk diterapkan. Akan berdampak buruk bagi dunia pendidikan, terutama sekolah swasta atau lembaga pendidikan lain yang juga berperan menopang pendidikan di negeri ini. Sekolah atau lembaga yang terkena PPN tentu akan menaikkan biaya pendidikannya. Kesenjangan sosial makin terasa. Pendidikan berkualitas dan berfasilitas lengkap makin tak terjangkau oleh masyarakat "kelas bawah".
Rencana ini kontra produktif dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan. Padahal harus kita akui, kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Menurut U.S. News & World Report yang merangkum peringkat sistem pendidikan terbaik di seluruh dunia, pada tahun 2021 Indonesia ada di peringkat 55 dari 73 negara. (detik.com, 27/07/2021)
Lepasnya Tanggung Jawab Negara
Rencana penarikan PPN pada sektor pendidikan tak lepas dari tata kelola kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Dalam konsep kapitalisme, negara (pemerintah) bukanlah pelayan rakyat, melainkan hanya fasilitator. Negara tidak menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat, termasuk pendidikan. Jika rakyat ingin mendapatkan pemenuhan yang layak atau berkualitas tinggi, mereka harus membayar kepada pihak penyelenggara jasa pelayanan. Jika tak mampu membayar, harus bersabar dengan pemenuhan yang seadanya.
Sedikit demi sedikit rakyat diarahkan untuk “mandiri”. Mereka diminta memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya sendiri. Negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai pelayan kebutuhan masyarakat. Ironisnya, di sisi lain kita mengetahui ada kebijakan keringanan pajak bagi para pengusaha. Ada juga kebijakan penghapusan pajak penjualan atas barang mewah. Belum lagi kita mendapati fakta, gaji dan tunjangan yang tinggi dari para pejabat negara. Mereka juga mendapatkan fasilitas yang super mewah. Dan ini memakan anggaran negara yang cukup besar. Fakta yang sungguh kontras. Rakyat kecil "dipalak" dengan pajak di berbagai sektor, sedangkan mereka yang berduit justru mendapat keringanan.
Inilah gambaran kapitalisme. Pajak menjadi sumber pendapatan utama untuk menopang pembiayaan negara, sedangkan pendapatan dari sumber lain, termasuk dari sumber daya alam sangatlah minim. Padahal kita tahu, Indonesia adalah negeri yang sangat kaya. Berlimpah kandungan mineral dan tambang. Kekayaan hutan dan lautan yang tak terhingga. Ke mana hasil semua itu? Siapa yang menikmatinya?
Pengelolaan Pendidikan dan Ekonomi dalam Islam
Konsep pengelolaan negara ala kapitalisme bertolak belakang dengan pengelolaan yang berdasarkan pada sistem Islam. Islam memandang negara (pemerintah) adalah raa'in (pelayan) bagi umat. Kebutuhan kolektif yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan, merupakan kewajiban negara untuk menjaminnya. Hal ini bukan sekadar konsep yang tertulis di dalam kitab, melainkan fakta yang pernah terlaksana selama berabad-abad lamanya.
Saat Daulah Khilafah masih tegak, pendidikan diselenggarakan negara secara gratis. Seluruh masyarakat punya hak yang sama dalam mengakses sekolah dengan fasilitas lengkap dan mumpuni. Bahkan biaya hidup pun ditanggung. Para pengajar diberikan penghargaan yang tinggi. Kesejahteraannya dijamin. Para peneliti difasilitasi, sehingga riset dan teknologi terus berkembang. Mereka yang menuangkan ilmunya ke dalam tulisan juga sangat dihargai, diberi ganjaran emas seberat buku yang ditulisnya.
Semua itu tentu memerlukan dana yang besar. Untuk memenuhinya, tak bisa terlepas dari sistem ekonomi Islam yang diatur sesuai tuntunan syariat. Ada tiga sumber pemasukan negara. Pertama, harta zakat, ditarik dari beberapa jenis harta yang memenuhi hitungan nilai dan waktu tertentu. Pengeluarannya khusus untuk delapan golongan yang ditentukan oleh Al-Qur’an. Kedua, harta kepemilikan negara, seperti pungutan kharaj, fa'i, ghanimah, dan lain-lain. Hal ini bisa digunakan untuk keperluan negara, termasuk pembiayaan pendidikan. Ketiga, harta kepemilikan umum, yakni dari pengelolaan hak milik umum, seperti tambang dan berbagai sumber daya alam. Jika dikelola dengan benar, harta ini akan sangat mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat, bukan malah dikuasai dan dinikmati segelintir orang saja.
Dalam Islam, pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara. Pajak hanyalah opsi terakhir jika kas negara mengalami defisit. Misal, saat terjadi bencana atau krisis. Penarikannya pun tidak dibebankan kepada semua orang, melainkan hanya ditarik dari orang yang memiliki kelebihan dari pemenuhan kebutuhan pokok dirinya dan tanggungannya. Selain itu, pajak dalam Islam juga tidak bersifat permanen. Ketika kas negara sudah stabil, maka pungutan pajak akan dihentikan.
Demikianlah sekelumit gambaran sistem Islam. Semua ini takkan bisa terwujud jika negara masih berpegang pada bingkai kapitalisme. Hanya Daulah Khilafah Islam satu-satunya pilihan. Khilafah akan menjalankan sistem Islam secara menyeluruh, baik sistem pendidikan, sistem ekonomi, sistem sosial, hingga sistem pemerintahannya. Sistem yang akan mewujudkan kondisi hidup yang ideal. Tidakkah kita merindukannya? []