"Sejatinya impor merupakan bagian dari aktivitas perdagangan luar negeri yang harus mengikuti syariat Islam serta mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Pemberlakuan impor ini tergantung pandangan negara atau Khalifah, sebagai pemimpin bagi seluruh kaum muslimin. Jadi, impor yang dilakukan dalam Islam bisa diambil ketika memang produksi negara sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan umat. Dan ini bukan karena intervensi atau campur tangan negara lain atau perjanjian internasional antarnegara."
Oleh. Fani Ratu R. (Aktivis Muslimah)
NarasiPost.Com-Masyarakat Indonesia kembali dibuat geleng-geleng kepala pasca mengetahui pemerintah Jokowi kembali memutuskan untuk mengimpor tiga juta ton garam industri di tahun ini. Meskipun Presiden Joko Widodo sudah pernah mengingatkan soal impor garam, namun tetap saja pemerintah lakukan.
PT.Garam yang digawangi oleh Achmad Hardianto sebenarnya sudah mampu membuat garam kualitas industri, baik garam yang diperoleh langsung dari ladang untuk industri Chlor Alkali Plant (CAP) maupun garam hasil olahan pabrik untuk industri pangan. Tapi memang butuh perbaikan kualitas garam, termasuk untuk memasok kebutuhan garam bagi industri farmasi. Dengan berbagai kendala yang dihadapi oleh PT.Garam untuk memenuhi kebutuhan garam di negeri ini, Pemerintah justru mengambil 'jalan pintas', yakni membuka kembali keran impor garam sebanyak tiga juta ton. (Kompas.com, 25/9/2021)
Menelusuri Potensi dan Persoalan Garam
Indonesia memiliki potensi lahan garam yang cukup besar, yakni sebesar 27.047,65 ha dengan jumlah petambak sebanyak 19.503 orang. Tak hanya itu, provinsi Kalimantan Utara juga memiliki potensi gunung garam dan tentu pemerintah bisa melakukan perluasan lahan tambak baru. Potensi garam ini terdapat di sebuah gunung di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Namun, sayang sekali potensi yang ada ini justru tidak dikelola dengan optimal. Pengelolaan yang ada masih bersifat tradisional dan tergantung pada cuaca. Sehingga jelas hasil produksi yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan dan berbagai kendala ini masih didiamkan oleh penguasa sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan masyarakat.
Bukan hanya itu saja, perkara distribusi juga turut menambah keruh persoalan. Banyak pula dari petambak garam yang merintih karena hasil produksinya tidak mampu terserap di pasaran. Lantas, Apakah persoalan ini hanya masalah teknis semata atau merupakan masalah sistematis?
Persoalan Berulang, Butuh Kesungguhan
Mengenai masalah garam ini, sebenarnya pemerintah dan BUMN yang mengelola pun sudah menemukan titik masalahnya yakni kuantitas dan kualitas garam industri yang belum memadai. Namun, alih-alih titik masalah ini dicari solusinya agar tidak berulang, justru pemerintah menomorsatukan impor, yang ternyata juga melebihi dari kebutuhan.
Ibarat seorang ibu yang sedang mengasuh anak. Jika sang ibu telah mengetahui titik lemah si anak yang mudah sakit, maka si ibu akan berusaha untuk mencegah agar tidak sakit kembali. Upaya pencegahan itu dilakukan semata-mata untuk kebaikan si anak, bukan mengambil jalan pintas dengan memberi obat-obatan pereda sakit semata.
Impor garam yang senantiasa dilakukan pemerintah dengan dalih kuantitas dan kualitas, sejatinya menunjukkan kelemahan dan ketidakmandirian negara. Padahal, negara ini telah berdiri 76 tahun lamanya, namun masih jauh dari kata berdikari dengan bukti adanya swasembada. Jangankan untuk garam, untuk beras pun negeri yang terkenal dengan negara agraris ini juga tetap melakukan impor. Sungguh, mengherankan !
Menyoal hal ini maka dibutuhkan kesungguhan dari kebijakan negara untuk mengatasi masalah berulang ini. Persoalan kuantitas dan kualitas bisa diatasi dengan kemauan politik untuk swasembada. Kemauan politik ini adalah kunci bagi pemerintah untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah yang berkelindan di negeri ini. Namun, sayang sekali sikap pemerintah masih jauh panggang dari api.
Kapitalisme Pangkal Persoalan
Politik yang berdasarkan pada asas sekuler yakni ide yang memisahkan agama dari kehidupan, hanya akan menjadikan politik untuk memenuhi kepentingan manusia semata. Dengan asas sekuler ini, lahirlah sistem politik demokrasi yang menisbatkan kedaulatan berada di tangan manusia. Politik dalam demokrasi hanya tentang kepentingan dan kekuasaan. Lahir dari ideologi kapitalisme, maka demokrasi tidak lepas dari jerat para kapitalis yang menginginkan keuntungan besar dari berbagai pengaturan urusan rakyat. Kemuan politik untuk mengurus rakyat akan nihil, termasuk swasembada.
Kebijakan impor sejatinya buah dari hasrat penguasa memenuhi kepentingan para kapitalis dan mengabaikan nasib rakyat sendiri. Dan dengan tegaknya ideologi ini pula, penguasa atau pemerintah hanya hadir sebagai regulator saja. Mereka justru membuat aturan yang berpihak pada kemaslahatan korporasi. PT.Garam (BUMN) tidak memiliki fungsi ri’ayah (pelayanan), namun berperan seperti korporasi swasta.
Persoalan garam bukan teknis semata, pemerintah telah gagal menyentuh akar masalah sebab masih menggunakan logika neoliberalisme. Pemerintah lebih giat untuk impor terus-menerus, industrialisasi, dan juga mengandalkan korporasi dalam pengadaan garam. Fakta ini tentu membuat masyarakat dan petambak rakyat makin menderita.
Kelola Garam dengan Syariah
Islam adalah sebuah mabda'. Islam memiliki fikrah (ide dasar) dan thariqah (metode) atas seluruh aspek kehidupan. Allah telah memberikan Islam sebagai aturan paripurna dan menyeluruh yang seharusnya menjadi jawaban pasti bagi manusia untuk menerapkannya. Sangat jelas kebenaran dan keberkahannya, sebab sumber aturannya berasal dari Al Khaliq, Allah subhanahu wa ta'ala.
Ada perbedaan mendasar antara Islam dengan kapitalisme. Pertama, dari segi politik. Politik dalam Islam adalah ri'ayah syu'unil ummah (mengurusi urusan umat). Ini jelas berbeda dengan demokrasi yang berorientasi pada materi semata. Penguasa dalam Islam berperan sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (perisai) yang akan melindungi rakyat. Dengan sudut pandang raa'in (pengurus) inilah negara dalam Islam bertanggung jawab langsung, mulai dari perencanaan (produksi-distribusi-konsumsi) hingga realisasi, yaitu pemenuhan kebutuhan rakyat dan keberlangsungan usaha petambak.
Ini berdasarkan sebuah hadis Rasul saw, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari)
Kedua, dari segi ekonomi. Ekonomi dalam Islam memang bertumpu pada dua hal, bagaimana negara mengumpulkan harta dan mendistribusikannya. Untuk persoalan ini, negeri kita telah memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah termasuk garam, maka sudah menjadi tugas negara dalam Islam untuk memaksimalkan potensi tersebut. Caranya adalah dengan mendukung para petambak untuk memaksimalkan produksi melalui edukasi dan pelatihan, dukungan sarana produksi, serta infrastruktur yang mendukung. Sehingga kualitas garam yang dihasilkan bisa memenuhi standar yang sudah ditetapkan.
Dan dalam hal distribusi juga tak kalah penting, negara wajib menciptakan pasar yang sehat dan kondusif. Memastikan masyarakat terpenuhi kebutuhannya, termasuk juga industri. Dan hingga aspek konsumsi, negara bertanggung jawab menjamin penyediaan bahan makanan halal dan thayyib, sehingga tercipta kebaikan di semua lini.
Lalu, terkait dengan departemen yang mengurus hal ini, misalnya BUMN, maka wajib mengedepankan fungsi pelayanan bukan bisnis. Keberadaan BUMN dalam rangka mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang ada, dan karena garam termasuk sumber daya alam yang jumlahnya tidak terbatas maka termasuk kepemilikan umum yang pengelolaannya semata-mata untuk kemaslahatan umat. Kemudian, bagaimana kebijakan impor dalam Islam? Sejatinya impor merupakan bagian dari aktivitas perdagangan luar negeri yang harus mengikuti syariat Islam serta mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Pemberlakuan impor ini tergantung pandangan negara atau Khalifah, sebagai pemimpin bagi seluruh kaum muslimin. Jadi, impor yang dilakukan dalam Islam bisa diambil ketika memang produksi negara sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan umat. Dan ini bukan karena intervensi atau campur tangan negara lain atau perjanjian internasional antarnegara.
Ketika syariat Islam ini diterapkan, maka swasembada bukan sekadar retorika. Karena syariah Islam meniscayakan peran negara yang bertanggung jawab dengan aturan sahih. Hal ini pun sudah dibuktikan di masa kekhilafahan, masa ketika Islam diterapkan secara kaffah. Masa dimana kaum muslim menjadi mercusuar dunia, bahkan mampu mengatasi bencana kelaparan yang terjadi di Irlandia pada tahun 1845.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kaum muslim kembali pada syariat Islam. Bukan hanya masalah pergaraman yang bisa dituntaskan, melainkan berbagai persoalan hidup manusia. Terapkan Islam Kaffah dalam naungan khilafah Islamiyyah. Wallahu a'lam bish shawab.[]