"Keimanan kian luntur seiring derasnya arus sekularisasi kehidupan. Lemahnya iman menjadikan manusia tak takut pada aturan Tuhan. Meninggalkan, mengabaikan, bahkan memusuhi aturan Allah yang sejatinya untuk kebaikan manusia."
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Penyambutan Saipul Jamil (SJ) usai ia keluar dari tahanan menjadi hal yang amat miris. Pasalnya, SJ merupakan pelaku pencabulan anak. Bebasnya ia dari jeruji besi disambut dengan kalungan bunga bak pahlawan negara. Bahkan, dikatakan jika banyak tawaran menantinya. Ia pun juga langsung tampil di acara televisi dan youtube.
Tak pelak, hal ini diprotes oleh sejumlah kalangan yang gerah dengan kemunculannya kembali di dunia hiburan. Salah satunya adalah sineas Angga Dimas Sasongko dari Visinema yang menggarap Keluarga Cemara dan Nussa Rara. Ia sangat menyesalkan bagaimana stasiun televisi masih menampilkan tokoh yang menjadi pelaku kejahatan terhadap anak. Ia tegas menolak kerja sama dengan stasiun televisi yang menayangkan SJ karena dianggap tidak menghormati korban dan tidak ramah anak. (liputan6.com, 5/9/2021)
Aksi boikot juga muncul dari masyarakat yang masih peduli dengan hak perlindungan terhadap anak-anak. Petisi daring berisi ajakan untuk memboikot SJ yang ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mencapai 500.000 tanda tangan dan bergerak menuju satu juta. (liputan6.com, 8/9/2021)
Bahkan kini, kabarnya SJ akan dijadikan duta terkait bahaya predator. Ia boleh muncul di publik asalkan untuk mengedukasi tentang bahaya kejahatan seksual terhadap anak. Sungguh ironis dan menggelikan, seorang penjahat (meski ia telah bebas dari tahanan) diangkat menjadi pemberi edukasi bagi masyarakat.
Sebagaimana dilansir dari seleb.tempo.co (9/9/2021), Ketua Komisis Penyiaran Indonesia (KPI), Agung Suprio, menyatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya tidak melarang SJ tampil di publik, melainkan membatasinya. SJ tidak boleh tampil dalam konteks hiburan, namun diperkenankan bila tampil dalam rangka memberi edukasi tentang bahaya predator di masyarakat.
Sistem Penuh Maksiat
Fenomena SJ bukan yang pertama kali. Sebelumnya, telah ada sejumlah tokoh atau selebritis yang tersandung kasus, namun kariernya tetap jalan. Meski menjadi narapidana atau mantan penghuni hotel prodeo, mereka tetap dipuja oleh pendukung dan penggemarnya. Bahkan ‘karier’ dan nama mereka kian terangkat. Mereka tetap eksis seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Masyarakat pun juga tampak tak keberatan dengan kembalinya publik figur yang menjadi pelaku kriminal di tengah mereka. Meskipun ada sejumlah kalangan yang menentangnya, namun suara mereka kalah dengan kepentingan yang lebih besar di baliknya. Ada kekuatan yang memungkinkan sebuah amoralitas tetap mendapat tempat meski membahayakan kehidupan manusia. Lebih tepatnya, memaksakan suatu pemikiran buruk tertancap di benak masyarakat sehingga dianggap sebagai hal baik.
Ya, kemunculan kembali pesohor yang pernah menjadi narapidana di publik tak bisa dilepaskan dari kepentingan menangguk materi. Mumpung sedang ‘naik’ namanya dan masyarakat pun kepo dengan sosok tersebut, jadilah si dia dibahas panjang lebar di media yang aksesnya terjangkau oleh banyak kalangan. Acara atau media yang menampilkannya banyak ditonton atau ramai dikunjungi. Maka, pundi-pundi materi pun mengalir ke kantong-kantong pemilik media tersebut dan orang-orang yang mendapatkan keuntungan darinya.
Masyarakat yang kian permisif dan toleran terhadap berbagai tindak amoral merupakan buah dari kehidupan yang serba bebas. Gaya hidup yang liberal menjadikan masyarakat ‘dipaksa’ menerima segala macam pemikiran dan perbuatan manusia. Sekian lama dicekoki ide-ide asing yang merusak membuat masyarakat menerima dan mengikutinya sebagai sesuatu yang benar dan maju.
Norma, ide, dan segala hal yang berasal dari Barat dianggap bagus. Bila tak sesuai dengan gaya hidup Barat dibilang kolot dan terbelakang. Ditambah agen-agen Barat yang terus menggencarkan propaganda dan opini mereka di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.
Digambarkanlah segala kemajuan dan kebaikan yang telah dicapai oleh bangsa Barat. Kecanggihan teknologi yang mereka hasilkan, banyaknya ilmuwan dunia yang mereka punya, kehidupan yang sejahtera dan damai serta kebebasan individu yang dihormati terus didengungkan. Semua itu dikatakan bisa terwujud berkat sistem hidup yang mereka anut.
Di sisi lain, norma setempat yang lekat dengan adat ke-Timur-an semakin ditinggalkan karena dianggap tak mengikuti perkembangan zaman. Terlebih, norma agama yang menjadi aturan tertinggi dalam kehidupan, semakin tergerus dan terlupakan. Agama tak lagi menjadi sesuatu yang penting dan mendasar karena dianggap menghambat laju modernisasi yang diimpikan. Tertanam di benak masyarakat bahwa bila ingin maju, maka harus mengikuti sistem kehidupan Barat.
Ditambah lagi propaganda busuk terhadap syariah Islam menjadikan masyarakat alergi pada hal-hal berbau Islam. Berbagai hal buruk tentang Islam dilontarkan oleh para pengusung sistem kehidupan liberal Barat. Islam dianggap teroris, radikal, jahat, mengekang, tidak toleran, kumuh, miskin, terbelakang, sumber pertikaian dan beragam permasalahan. Bahkan, umat Islam sendiri pun akhirnya mengamini berbagai fitnah keji dan omongan buruk atas agama mereka. Hingga akhirnya mereka dengan sukarela turut memperjuangkan sistem Barat sebagai jalan menuju masa depan cerah.
Biang Masalah
Akar dari semua permasalahan tersebut adalah bermula dari dipisahkannya agama dari kehidupan. Sejak itulah manusia merasa memiliki kebebasan untuk membuat aturan sendiri. Penerapan sistem kehidupan yang meminggirkan aturan Sang Pencipta dalam kehidupan (sekularisme) telah menimbulkan permasalahan tak berkesudahan.
Di alam sekularisme, prinsip moral dan agama tak berlaku. Materi menjadi tumpuan. Bila tak ada manfaat, maka suatu hal itu akan ditinggalkan. Segala perbuatan berlandaskan untung-ruginya, bukan atas halal-haramnya. Tujuan perbuatan adalah mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan/manfaat materi, bukan untuk meraih rida Ilahi.
Sudah barang tentu, kehidupan semacam ini berlangsung dengan prinsip kebebasan yang diagungkan. Manusia bebas berekspresi sesukanya, tidak boleh membatasi kebebasan orang lain. Mau berbuat apa pun terserah. Manusia hanya peduli pada urusannya sendiri. Asal dirinya mendapat keuntungan, yang lain tak diperhatikan.
Maka tak heran bila kemaksiatan dibiarkan saja lantaran itu menjadi urusan pribadi pelakunya. Meski dampak kemaksiatan tersebut merugikan orang lain, namun tak ada tindakan atau sanksi tegas untuk menghentikannya. Hari ke hari, kita saksikan beragam pelanggaran dan penyimpangan kian marak. Kemaksiatan mendapatkan tempat yang nyaman dalam sistem sekarang ini.
Keimanan kian luntur seiring derasnya arus sekularisasi kehidupan. Lemahnya iman menjadikan manusia tak takut pada aturan Tuhan. Meninggalkan, mengabaikan, bahkan memusuhi aturan Allah yang sejatinya untuk kebaikan manusia.
Negara yang harusnya melindungi akidah umat justru menjadi yang terdepan dalam membuka pintu bagi pemikiran merusak untuk masuk dan berkembang. Aturan yang diterapkan adalah aturan Barat yang notabene bertentangan dengan syariah Islam. Maka, rusaklah seluruh tatanan kehidupan manusia hingga pada taraf yang paling buruk sebab ketiadaan pelindung kehidupan.
Ketegasan Syariah Islam
Sanksi sosial yang dilakukan masyarakat terhadap para kriminal, tak mencukupi untuk membuat kriminalitas berhenti. Perlu hukuman yang jelas dan tegas dalam mengakhirinya. Ini hanya ada dalam Islam.
Pelaku kekerasan seksual pada anak akan mendapatkan sanksi sesuai ketentuan syariah Islam. Hukuman dalam Islam bukan hanya untuk menindak pelanggar aturan, namun juga mampu menjadi pencegah dari tindakan penyimpangan terjadi kembali di masa depan.
Sanksi bagi pelaku kekerasan seksual pada anak menurut Islam dilihat dari perbuatan yang dilakukannya. Bila pelakunya sampai melakukan zina, maka hukumannya seperti pezina. Yaitu, dirajam jika pelakunya sudah menikah (muhshan) atau dicambuk seratus kali bila si pelaku belum menikah (ghairu muhshan). Bila pelakunya melakukan perbuatan homoseksual (liwath), maka hukumannya adalah hukuman mati. Bila perbuatan yang dilakukan adalah pelecehan seksual yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, maka hukumannya adalah takzir (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).
Hukuman takzir adalah jenis hukuman yang kadarnya ditentukan oleh hakim (qadi). Jenis dan kadar hukuman yang ditetapkan sesuai dengan nash-nash syariah.
Hukuman kebiri untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak diharamkan oleh Islam. Ini berdasarkan pada hadis sahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah melarang pengebirian. Dalam kitab An-Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam karangan Taqiyuddin An-Nabhani disebutkan bahwa dari Ibnu Mas’ud ra., dia berkata: “Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi saw. sedang kami tidak bersama istri-istri. Kami lalu berkata (kepada Nabi saw.), “Bolehkah kami melakukan pengebirian?” Maka Nabi saw. melarang yang demikian itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
Kejahatan seksual terhadap anak merupakan satu dari sekian masalah yang menimpa umat manusia. Hanya syariah Islam yang mampu memberantas segala kejahatan dan penyimpangan. Aturan ini tak hanya memberi sanksi bagi para kriminal, tetapi juga mencegah kriminalitas terjadi.
Aturan Islam yang lengkap dan menyeluruh ini membutuhkan adanya institusi negara untuk menerapkannya. Daulah Khilafah Islamiyyah adalah satu-satunya yang mampu menjamin tegaknya syariah Islam secara kaffah. Aturan yang bersumber dari Sang Pencipta ini mampu mewujudkan kehidupan yang aman, sejahtera, adil, selamat, dan bahagia dunia akhirat.
Karena itulah, mari ikut berjuang dalam penegakkan Khilafah yang menjadi pelindung umat. Khilafah juga yang akan menyingkirkan segala macam ide dan pemahaman buruk nan sesat sehingga tiada tempat untuk segala jenis kemaksiatan. Jangan beri tempat untuk para pelaku maksiat untuk eksis!
Wallahu a’lam bish-shawwab[]
Photo : Pinterest Source