"Sungguh, kegagahan pasukan kaum muslimin seperti inilah yang dibutuhkan Palestina hari ini sehingga mereka bisa menghirup udara kebebasan dengan hakiki dan tak lagi dibayang-bayangi kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Derita Palestina adalah derita kita semua. Penantian pembebasannya seharusnya adalah penantian kita bersama."
Oleh. Lestari Umar
NarasiPost.Com-"Assalamualaikum." Suara Ayah Hasan mengucap salam.
"Wa'alaikumussalam," jawab Hasan dan ibunya.
"Sudah siap berangkat, Hasan? Mari, Ayah antar ke sekolah."
"Baik, Ayah."
"Hasan berangkat ke sekolah dulu, Umi. Assalamualaikum."
Hasan berpamitan pada ibunya. Kali ini ia mencium tangan dan kembali mencium kedua pipi ibunya.
"Wa'alaikumussalam," jawab Shafiyyah.
Hasan melambaikan tangan ke atas dan tersenyum lebar menatapnya. Rupanya itu adalah pertemuan terakhir Shafiyyah dengan putra bungsunya itu.
Tak lama berselang, saat ayah Hasan tiba di rumah dari mengantar sekolah, berita yang menggemparkan itu pun terdengar hingga ke telinganya. Serangan rudal yang dilancarkan oleh tentara Israel menyasar sekolah anaknya. Ayah Hasan melangkah dengan gontai, kembali menyusuri jalan yang baru saja dia lalui beberapa saat lalu. Ia sudah tak peduli lagi dengan suara orang-orang di sekitar yang memanggilnya.
Sementara bagi Shafiyyah, sang ibunda, pagi itu adalah kali kedua ia terpaksa harus mendengar kabar duka dan menyaksikan putra tercintanya ada dalam barisan para korban serangan brutal tak berperikemanusiaan itu. Kali ini, serangan itu menimpa Hasan, putra bungsunya, setelah terlebih dulu Ahmad, sang putra sulung menghadap Sang Pencipta akibat bentrokan, tepat setahun lalu.
Hati ibu mana yang tidak hancur melihat pemandangan seperti itu? Dua orang putra tercintanya harus pergi dalam waktu yang berdekatan. Mereka pergi meninggalkan ayah dan ibunya dalam tragedi kemanusiaan. Tak lepas-lepas lisannya berzikir, melafazkan asma Allah, berharap memperoleh kekuatan dari-Nya.
Batinnya bagai teriris. Jiwanya sesak akibat duka mendalam karena harus menerima takdir kehilangan dengan cara yang sangat tragis. Dua orang buah hatinya harus pergi meninggalkannya di usia yang masih sangat muda.
Angannya melayang, mengenang keduanya. Tak ada lagi semangat dalam dirinya untuk melanjutkan hidup yang seolah tak adil pada dirinya. Semua kini hanya tinggal kenangan yang tersimpan dalam benak.
Hasan dan Ahmad adalah dua di antara ribuan anak-anak Palestina yang harus rela menerima dan menjalani takdir terbaik yang sudah digariskan oleh Sang Mahakuasa.
Satu persatu saudara muslimah menenangkan Shafiyya yang masih lunglai tak bertenaga. Salah seorang dari mereka membisikkan kata-kata yang menguatkan hatinya.
"Anakmu pergi sebagai syuhada. Bahkan, Ahmad yang telah lebih dahulu dipanggil oleh-Nya juga syahid sebagai Syuhada. Apa yang menjadikan hatimu sedih wahai, Shafiyya? Bergembiralah atas karunia Allah padamu. Kelak, mereka berdua akan menjemputmu di pintu surga, penuh dengan kegembiraan dan suka cita."
Tangis Shafiyyah pecah. Bayangan wajah Ahmad dan Hasan semakin membuatnya tak kuat membendung deras air matanya. Namun, kali ini tangisannya itu karena ia meyakini ucapan saudara muslimah di sebelahnya yang baru saja dia dengar. Hasan telah pergi dalam perjalanan rindu bertemu Ahmad, kakaknya di keabadian sebagai syuhada tak berdosa.
"Benar apa yang engkau ucapkan, wahai saudariku. Aku akan ikhlas dengan semua ketetapan ini. Sungguh, Allah sebaik-baik pembuat rencana," ucap Shafiyya pada saudarinya itu.
Mereka saling berangkulan, memberikan dukungan dan menghibur kesedihan Shafiyya yang sedang tertimpa kemalangan.
Palestina, bumi para nabi, tempatnya berpijak kini masih menyimpan luka. Penyembuhan yang total masih menjadi pinta di setiap doa para penduduknya. Penjajahan yang sudah berlangsung sangat lama senantiasa memosisikan mereka dalam kondisi terimpit sehingga sering mendapatkan teror dalam segala bentuknya.
Kekuatan antara zionis dan rakyat Palestina sungguh tak berimbang. Maka, jelas saja korban yang berjatuhan akibat serangan ataupun bentrok yang terjadi lebih banyak dari penduduk Palestina yang tak mampu menandingi senjata-senjata canggih yang melengkapi tentara-tentara zionis itu.
Namun, hingga detik ini, perlawanan tetap mereka lakukan. Meski hanya mengandalkan batu dan ketapel, pemuda-pemuda Palestina tetap yakin akan usahanya dalam membebaskan negerinya dari penjajahan. Meskipun entah sampai kapan hal itu bisa diwujudkan.
Teringat seorang komandan pasukan yang gagah berani bernama Shalahudin Al Ayyubi, seorang panglima kaum muslimin yang telah berhasil membebaskan Palestina dengan begitu cerdas dalam strategi-strategi perang dan kekuatan militer yang dikomandoinya. Kekuatan pasukan perang yang dia pimpin mampu menggetarkan siapa pun musuh dan menaklukannya.
Tak ada negosiasi dua negara, apalagi diam seribu bahasa, tak berkutik menatap keangkuhan penjajah yang semena-mena. Pengerahan pasukan besar-besaran dengan komando dan perintah khalifah telah berhasil mengusir pasukan salib dan membebaskan Palestina dan menaklukkan kota Yerusalem pada akhirnya.
Sungguh, kegagahan pasukan kaum muslimin seperti inilah yang dibutuhkan Palestina hari ini sehingga mereka bisa menghirup udara kebebasan dengan hakiki dan tak lagi dibayang-bayangi kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Derita Palestina adalah derita kita semua. Penantian pembebasannya seharusnya adalah penantian kita bersama. Wahai Zat Yang Maha Mendengar setiap pinta, kami memohon pertolongan-Mu untuk kemerdekaan Palestina.
(SEKIAN)