"Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.”
Oleh: Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Jatuh yang tak terasa sakitnya, itulah jatuh cinta. Semua menjadi indah, sekalipun jalan yang dilaluinya berliku dan berduri. Perasaan cinta yang bergelora telah menutupi pahitnya kehidupan dan perihnya sayatan sembilu caci makian. Segala episode hidup yang dialaminya selalu disikapi dengan cara yang terbaik sesuai pemahamannya akan makna cinta yang hakiki. Cinta yang didasari atas keteguhan iman dan kesabaran menjalani aturan Islam.
Harus disadari, Islam adalah agama penuh cinta dan kasih sayang. Dari namanya saja, Islam adalah “as-salmu” yang berarti damai. Orang yang sedang jatuh cinta akan merasakan kedamaian bila bersama dengan yang dicintainya. Perasaan tenteram atau damai itu adalah hikmah dari naluri beragama. Namun, Islam bukan hanya agama normatif melainkan pula agama dakwah. Bukan sekadar memberikan ketenteraman bagi dirinya, tetapi harus pula menjadi rahmat untuk seluruh alam semesta. Karena itu, Islam meliputi akidah dan syariah. Bukan hanya mengajarkan perkara ubudiyah, namun juga menyangkut muamalah, hukum jinayat dan uqubat lainnya.
Aktivitas dakwah adalah seruan untuk menaati hukum-hukum Allah Swt. tersebut yang sifatnya individual, maupun dalam dimensi sosial, komunal dan global. Karenanya, kewajiban dakwah ini adalah tugas individual, jemaah dan juga negara (daulah). Seruan dakwah dibatasi pada dalil tentang amar makruf dan nahi mungkar. Dalam hal ini, Prof. Dr. Hamka menjelaskan di dalam kitab tafsirnya “Al-Azhar”, bahwa makna kata makruf diambil dari kata ‘uruf yang berarti yang dikenal atau yang dapat dimengerti dan dapat dipahami serta dapat diterima oleh masyarakat. Dakwah yang dipahami maksudnya disampaikan dengan “bahasa kaumnya” dalam arti dakwah yang mencerahkan pemikiran dan terpuaskannya akal.
Hamka juga menjelaskan tentang makna munkar sebagai sesuatu yang dibenci, yang tidak disenangi, yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut, tidak pantas. Sehingga tidak selayaknya yang demikian dikerjakan oleh manusia berakal. Agama datang menuntun manusia dan memperkenalkan mana yang makruf dan mana yang mungkar. Makna kebaikan atau “makruf” adalah kebaikan yang nyata dan dirasakan, sedangkan makna “munkar" adalah sesuatu yang buruk dan manusia berusaha untuk menghindarinya.
Segala kebaikan dan keburukan sudut pandangnya bukan dari kacamata manusia, melainkan dari Allah Swt. yang telah menciptakan dan mengatur kehidupan manusia dan alam semesta ini. Tidak ada kebaikan jika Allah Swt. tidak memberikannya pujian, sebagaimana Allah Swt. juga tidak akan menetapkan itu sebagai sebuah keburukan jika tanpa ancaman atau hukuman. Meskipun begitu, betapa luasnya nilai-nilai kebaikan dibanding nilai keburukan. Bahkan, sekalipun manusia melakukan keburukan, Allah Swt. masih membuka jalan kebaikan melaui pintu tobat agar manusia kembali kepada jalan Islam.
Manusia tercipta dari setetes air yang hina, mudah berkeluh kesah dan cenderung lalai untuk berbuat dosa. Karena sifat insaniyah itulah yang membuat Allah Swt. membuka pintu ampunan selebar-lebarnya. Dari Anas bin Malik ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Wahai anak Adam, sepanjang engkau memohon kepada-Ku dan berharap kepada-Ku akan Aku ampuni apa yang telah kamu lakukan. Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosa-dosamu setinggi awan di langit kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan sebesar dunia, kemudian engkau datang kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apa pun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, ia berkata, ”hadis ini hasan shahih.”)
Pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh akan menjadikan orang bersikap bijak dalam menyampaikan dakwah. Tidak akan mudah memvonis sesat dan perkara yang ikhtilaf sebagai pemisah tali persaudaraan. Dakwah adalah seruan mulia yang disampaikan dengan hujah dan adab yang mengikuti suri teladan Rasulullah saw. Barometer keberhasilannya adalah tertanamnya pemikiran dan pemahaman Islam yang melekat dalam aktivitas kehidupan. Jatuh cinta pada dakwah adalah ekspresi dari naluri beragama (gharizah ad diin). Jika pemahaman agamanya benar, maka ia akan memiliki sudut pandang kehidupan yang benar pula. Tidak akan mudah terpengaruh dengan bisikan hawa nafsu, pemikiran sesat manusia yang membuat aturan hidupnya sendiri dan akan selalu tegas menyampaikan seruan dakwahnya, sekalipun berhadapan dengan kekuasaan.
Justru ketika dakwah telah berhadapan dengan mereka yang memiliki tampuk kekuasaan, di situlah sebaik-baiknya perkataan orang yang menyeru kebenaran. Bukan untuk membeberkan keburukan pribadinya, karena haram untuk menyebarkan aib saudara sesama muslim, melainkan perilaku kemungkaran dan kezalimannya kepada rakyat. Harapannya tentu agar kekuasaan itu tidak disalahgunakan dan orang yang diberikan amanahnya selamat dari pedihnya siksa api neraka karena kelalaiannya saat berkuasa.
Mereka yang jatuh cinta pada jalan dakwah akan mampu bermuhasabah sebelum bermujadalah, mengoreksi atas apa yang penting untuk disampaikannya sebelum beradu argumen dalam mencari kebenaran bukan pembenaran. Maka, dakwah sungguh menjadi aktivitas yang sangat mulia dalam meraih pahala dan menjadi impian semua orang. Siapa saja yang tertunjuki pada suatu kebaikan, maka akan mendapatakan pahala kebaikan tanpa menngurangi nilai kebaikannya.
Rasulullah saw. bersabda:
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893)
Wallahu’alam bish Shawwab.[]