"Pendidikan menjadi barang mewah di negeri ini. Pasalnya, kualitas pendidikan terbaik akan didapatkan, jika masyarakat berani merogoh kocek dalam-dalam. Ketidakmerataan dana BOS bagi sekolah-sekolah, dinilai banyak pihak sebagai bentuk diskriminatif pemerintah dalam sektor pendidikan."
Oleh. Rery Kurniawati Danu Iswanto (Praktisi Pendidikan)
NarasiPost.Com-Anggapan rendahnya kualitas, inefisiensi sumber daya manusia (SDM), dan pemborosan anggaran adalah alasan yang mendasari peraturan penggunaan bantuan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Bagi sekolah-sekolah dengan jumlah siswa kurang dari 60, maka tidak akan dapat menerima bantuan pemerintah berupa dana BOS. Setidaknya, itulah pernyataan yang dikemukakan oleh Kepala Biro Kerjasama dan Humas Kemendikbudristek Anang Ristanto yang dilansir dari detik.com (03/09/2021). Namun, pernyataan berbeda disampaikan oleh Mas Menteri Nadiem Makariem yang memastikan bahwa dana BOS akan cair tanpa syarat minimal jumlah siswa 60. Hal ini sebagaimana dikutip dari cnnindonesia.com (08/09/2021).
Sebelum peraturan pembatasan dana BOS akhirnya ditunda, terjadi polemik dan respon yang muncul di masyarakat. Antara lain, 2 organisasi Islam yaitu NU dan Muhamadiyah yang menganggap pembatasan dana BOS tersebut adalah kebijakan diskriminatif. Meski akhirnya ditunda, bukan tidak mungkin setelah pandemi berakhir kebijakan ini akan kembali ditetapkan.
Jika melihat 3 alasan yang mendasari peraturan penggunaan dana BOS, ada perbedaan cara pandang dalam melihat permasalahan yang ditemui dalam bidang pendidikan dasar. Para penentu kebijakan seakan berhitung untung-rugi dalam pengelolaan dana bantuan bagi program pendidikan.
Alasan pertama, anggapan bahwa jumlah siswa yang sedikit menunjukkan rendahnya kualitas suatu sekolah. Ada anggapan, bahwa jika suatu sekolah dinilai berkualitas, tentu akan banyak menarik minat masyarakat atau orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Jadi, seakan negara dirugikan jika harus memberikan bantuan bagi sekolah dengan jumlah siswa yang sedikit dan dinilai tidak berkualitas itu. Lantas persoalannya, bagaimana sekolah semacam ini dapat meningkatkan kualitasnya jika bantuan dana yang dibutuhkan tidak dapat diterima?
Alasan kedua, sekolah dengan jumlah siswa sedikit merupakan keadaan inefisiensi SDM yaitu pengalokasian guru dan tenaga kependidikan. Jumlah guru dan tenaga kependidikan dianggap inefisien dari segi tata laksana, sehingga ketentuan untuk menggabungkan sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang sedikit adalah solusi yang dinilai tepat. Persoalan selanjutnya, apakah benar hal itu satu-satunya cara tepat untuk menyelesaikan permasalahan inefisiensi SDM?
Terakhir, alasan pemborosan anggaran pemerintah. Cara pandang bahwa pemberian bantuan dana BOS pada sekolah-sekolah dengan jumlah siswa sedikit merupakan pemborosan adalah tidak tepat. Bagaimana tidak, seakan negara hanya mempertimbangan untung-rugi bahkan dalam urusan pendidikan dasar. Lagi-lagi, bukankah sudah menjadi kewajiban negara untuk memastikan seluruh anggota masyarakat mendapatkan pendidikan?
Ya, dalam sistem kapitalis, ketiga alasan itu dapat menjadi dasar dalam mempertimbangkan berbagai kebijakan.
Lantas, bagaimana permasalahan tersebut dilihat dari sudut pandang sistem Islam? Pastinya, dalam Islam tidak ada pertimbangan untung-rugi dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan pendidikan. Ada aturan-aturan yang telah disyariatkan dan tertuang dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis, yang harus menjadi dasar utama penentuan suatu kebijakan.
Pendidikan umat dalam Islam merupakan pilar peradaban. Sedemikian penting dan esensial, sehingga negara bertanggung jawab penuh dan berkewajiban memastikan terlaksananya pendidikan bagi umat secara ideal. Negara mempunyai kewajiban untuk memastikan pendidikan mampu mencetak SDM berkepribadian Islam yang siap menjadi pengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, baik sarana, prasarana, SDM yang profesional, dan fasilitas-fasilitas pendukung seperti lembaga riset, perpustakaan, laboratorium akan dipenuhi oleh negara.
Tidak tebang pilih, tanpa syarat apapun semua warga negara berhak menerimanya. Tidak akan ada dalih-dalih pertimbangan ekonomi, inefisiensi SDM, dan pemborosan anggaran. Sekolah-sekolah yang memerlukan bantuan dana akan mendapat sokongan dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah. SDM guru menjadi profesi yang dimuliakan dan mendapatkan standar gaji yang sangat layak.
Dengan demikian, kualitas pendidikan adalah hal yang tidak perlu diragukan lagi.
Jika benar demikian, dari mana negara mempunyai sumber pendapatan yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut? Ya, tentu saja tidak mungkin terjawab dengan sistem ekonomi kapitalisme. Sebab, dalam sistem ini pemasukan negara sebagian besar dari pajak yang dipungut dari masyarakat.
Sistem Islam menetapkan, bahwa semua kepemilikan umum seperti bahan tambang, sumber air, dan kekayaan alam lainnya wajib hukumnya dikelola oleh negara dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Misalnya saja, jika berhitung dengan satu tambang nikel saja, Indonesia adalah produsen tambang nikel terbesar di dunia. Jika negara benar-benar berdaulat dalam mengelola tambang nikel, akan sangat mudah mendapatkan sumber pendapatan untuk memenuhi APBN. Bahkan, hanya dari satu jenis tambang saja sudah cukup besar pendapatan yang dihasilkan. Sedangkan, Indonesia adalah serpihan surga dunia yang teramat banyak kekayaan alam lainnya dengan nilai ekonomi yang tinggi. Ada gunung-gunung, berlimpah bahan emas dan tembaga, timah, batubara, dan masih sangat banyak sumber bahan tambang lainnya. Terlebih, dengan luas dan panjangnya wilayah pantai dan perairan, merupakan aset negara yang sangat cukup untuk menyejahterakan masyarakat. Tentu jika dikelola dengan sistem yang benar.
Berbeda dengan tabiat di sistem sekuler saat ini, dimana sistem ekonominya menggunakan sistem kapitalisme. Negara menjadi tak berdaya menguasai aset-aset kekayaannya karena telah dikuasai para kapital swasta maupun asing. Negara telah kehilangan modal dasar untuk membiayai kebutuhan mendasar bagi masyarakatnya. Sabda Rasulullah saw. berikut ini patut dijadikan pedoman, “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah suatu amanah dan di hari Kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan kecuali mereka yang mengambilnya dengan cara yang baik, serta dapat memenuhi kewajibannya dengan baik sebagai seorang pemimpin” (HR. Muslim).
Wallahu a'lam bishowwab[]