"Salah satu naskah Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Teenager"
Oleh .Maharani Kusuma Artanti
NarasiPost.Com-“Masa remaja yang identik dengan tahap pembentukan identitas dapat memberikan peluang besar untuk merasakan penderitaan mendalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan atau kekacauan identitas.”
Sohibati, apa tanggapan kalian mengenai kutipan di atas? Setujukah kalian?
Setuju atau tidak, banyak orang yang merasa bahwa masa remaja merupakan masa peralihan yang berat. Hal ini terjadi karena kita memiliki peran yang saling bertentangan dalam diri. Di satu sisi, kita masih ingin bertingkah seperti anak-anak, tetapi di saat yang sama harus bertingkah dan berperilaku layaknya pribadi yang lebih dewasa.
Ilmu psikologi sendiri melihat bahwa pertentangan sikap yang tidak dapat diatasi oleh diri akan menimbulkan kekacauan peranan. Artinya, bila kita tidak memantapkan diri, bisa saja kita merasa bingung harus berperan seperti apa—tetap kekanakan atau mendewasakan diri—di masa peralihan ini.
Contoh sederhana dari kekacauan peran ini dapat kita lihat dari teman-teman yang pergi merantau untuk bersekolah. Bayangkan saja, mereka yang dulunya bersekolah di SD dengan jarak lima langkah dari rumah, ketika SMP atau SMA diminta untuk masuk ke pondok pesantren. Pasti rasanya ingin menangis … huhuhu, tetapi malu.
Jadi, meskipun sedih, mereka memutuskan untuk tersenyum saat orang tua melambaikan tangan di gerbang pondok pesantren. Ya, walau lima hari berikutnya, mereka diam-diam menangis di kamar mandi karena rindu, sih, hehe. Saat merantau inilah, mau tak mau jiwa kekanakan mereka harus dikikis karena kehidupan pondok yang serba mandiri.
Jadi, Sohibati … Terbayang kan, bagimana susahnya? Ah, atau mungkin Sohibati tahu betul kesulitan tersebut karena sedang merasakannya?
Pandemi, sekolah daring, bukannya menambah pemahaman atas materi yang menumpuk, justru tugas harian yang semakin menumpuk. Ditambah lagi, kita harus ‘dikurung’ di rumah, berteman layar laptop atau pun smartphone yang membuat mata semakin berkurang kefokusannya. Tidak sampai di situ, mendadak celotehan dan tingkah absurd teman-teman menjadi satu hal yang berharga.
Kalau kamu memang sedang merasakan kesulitan itu, it’s definitely ok, Sohibati. Sebab, meski tidak semua orang merasakan beratnya penderitaan masa remaja—terutama di masa pandemi— tetapi kamu tidak sendiri. Ada banyak remaja di luar sana yang juga merasakannya.
Kabar baiknya lagi, kamu punya Allah. Iya, Allah, tempat mengadu terbaik yang pernah ada. Allah adalah tempat mengadu yang akan selalu ada dan siap sedia mendengarkan kita. Allah adalah tempat mengadu yang tidak akan mengecewakan, bahkan saat kita telah berkali-kali ‘menyakiti’ dengan melanggar aturan-Nya.
Mungkin Sohibati akan bertanya-tanya, kenapa harus mengadu kepada Allah? Kan, masih ada teman yang selalu siap mendengarkan curahan hati kita? Lagipula, di masa pandemi ini, konten hiburan terus mengalir bak air bah, baik dari dalam ataupun luar negeri. Tampaknya, mereka yang bekerja di industri hiburan paham betul bahwa pandemi adalah kondisi yang sulit, sehingga mereka bertekad untuk membuat orang-orang tersenyum dan tertawa lebih banyak.
Namun, pernahkah terlintas dalam pikiran Sohibati, apakah tersenyum dan tertawa lebih banyak merupakan kunci utama melewati masa sulit ini?
Tidak, Sohibati. Tersenyum dan tertawa lebih banyak bukanlah kunci utama melewati masa sulit. It could be, tetapi sayangnya bahagia yang tercipta dari hiburan dunia hanyalah sesuatu yang semu. Dia akan tergerus dan hilang, bahkan sejak kita mengalihkan wajah dari layar untuk menyadari bahwa hari itu—dan entah sampai kapan—kita melakukan kegiatan dari rumah karena virus Covid-19 masih berkeliaran.
Hiburan bukanlah suatu penawar, melainkan pelarian. Hiburan tidak akan menyelesaikan masalah, justru meningkatkan kemungkinan semakin lamanya masalah itu terikat dengan kita, tanpa adanya penyelesaian. Maka, saat pelarian itu sudah berubah menjadi sesuatu yang penting, kita telah menjerumuskan diri ke dalam lubang tak kasat mata yang kuat jeratannya.
Sejatinya, di masa-masa sulit seperti ini, kita justru membutuhkan rasa tenang agar tetap sadar dan waras. Rasa tenang itu dapat muncul saat kita mengingat Allah. Sebab saat mengingat Allah, kita tahu bahwa kita punya sandaran terbaik, sandaran yang menjamin rezeki kita tetap ada walau pandemi melanda. Kita mempunyai sandaran yang mempermudah untuk beradaptasi dengan segala teknologi, agar kegiatan belajar mengajar tetap terlaksana, yaitu sandaran yang mengatur dengan rapi dan teliti kehidupan kita, bahkan saat kita tidak meminta.
Kita memiliki sandaran yang selalu berbahagia saat kita merengek memohon pertolongan-Nya, tidak peduli kita masih anak-anak, remaja, dewasa, atau lansia.
Kalau dipikir-pikir, bukankah kita amat beruntung? Sebab, baik Sohibati sadari atau tidak, kita punya tiga privilege paling berarti yang tidak akan terganti. Privileges itu adalah terlahir sebagai umat Nabi Muhammad, memeluk agama Islam, dan memahami bahwa Allah-lah tempat mengadu sekaligus sandaran terbaik.
Oleh karena itu, biarlah masa remaja ini dipenuhi dengan kesulitan. Sebab hidup bukanlah hidup jika tidak dibumbui rintangan. Jangan lupa juga untuk memanfaatkan layanan 24 jam curhat tanpa jeda dengan-Nya, agar sesak di hati akibat pandemi bisa terobati.
Terakhir, tolong diingat ya, Sob. Selama ada Allah, kita akan baik-baik saja, selalu dan selamanya.[]