Jurus Menata Ulang Barang Agar Tidak Bilang “Sayang”

"Jangan melakukan tindak tabdzir. Sesungguhnya para mubadzir itu temannya setan.” (QS. Al-Isra: 26-27

Oleh: Maman El Hakiem

NarasiPost.Com-Memiliki suatu benda, berupa barang atau pakaian, apalagi barang tersebut memiliki nilai kenangan tentu sangat sayang jika harus dibuang. Coba cek kembali lemari pakaian di rumah kita, banyak sekali pakaian yang sebenarnya hanya memenuhi isi lemari, jarang dipakai, bahkan mungkin belum pernah dipakai. Masih rapi dalam kemasan, merek dan bandrol harganya masih menempel. Membelinya mungkin karena tergoda iklan diskon saat lebaran atau sekadar menuruti keinginan. Mereka yang senang berbelanja sebenarnya bukan karena kebutuhan, melainkan kesenangan untuk mengoleksinya. Inilah budaya konsumerisme yang terpengaruh dengan gaya kehidupan materialisme, menghambur-hamburkan pendapatan untuk kepuasaan syahwat berbelanja.

Kebutuhan akan barang, baik berupa pangan atau sandang jika mengikuti hawa nafsu akan mudah tergoda dengan bujuk rayu iklan, apalagi hidup di tengah sistem kapitalisme, masyarakat menjadi konsumen atas produk yang diperjualbelikan secara bebas. Padahal, tidak semua yang dibeli tersebut sesuai dengan kebutuhan. Kalaupun sesuai kebutuhan, namun tidak sampai maksimal dalam penggunaannya. Tidak heran, banyak pakaian dalam lemari, padahal yang sering dipakai cuma yang itu-itu saja. Begitupun barang-barang elektronik yang lama tidak digunakan hanya memakan ruangan menjadi sempit.

Ada sebuah buku yang menjadi best seller internasional, berjudul “Suteru! Gijutsu” karya penulis Jepang Nagisa Tatsumi. Buku yang sangat fenomenal dan menginspirasi Marie Kondo melahirkan metode “Konmari”, yaitu seni “beres-beres rumah”, menata ulang barang-barang yang ada di rumah.

Barang-barang yang berantakan, bahkan tidak lagi dipakai di rumah atau kantor ternyata bisa menimbulkan masalah sendiri. Tidak jarang pemiliknya merasa bingung karena barang yang tidak termanfaatkan, sekadar disimpan, menumpuk di rumah, dipakai tidak, namun kalau “dibuang” juga masih merasa sayang.

Kehidupan modern dengan segala fasilitasnya ternyata bukan jaminan adanya ketenteraman dalam jiwa seseorang. Menuruti syahwat belanja dan mengumpulkan barang-barang di rumah, sesaat mungkin menyenangkan, namun dalam jangka waktu yang lama akan dihadapkan dengan pilihan untuk memberikan atau “membuangnya”. Nah, bagaimana seni untuk membuang barang ini? sangat menarik jika menukil beberapa “jurus” dari buku tersebut.

Pertama, ubah mentalitas “keramat” terhadap barang atau harta benda. Artinya tidak boleh mengeramatkan barang atau apa pun, sekalipun memoriable, jika sudah usang dan layak dibuang, jangan bilang sayang. Mengganti barang lama dengan yang baru merupakan solusi, yang perlu diingat barang lama jika masih ada manfaatnya berikanlah pada orang yang lebih membutuhkan.

Kedua, membuang barang bukan berarti boros atau dalam istilah Jepang dikatakan “mottainai” atau mubazir. Tidak jarang sumpeknya suasana rumah diakibatkan banyaknya barang, apalagi sudah lama tidak digunakan hanya akan mempersempit pikiran dan tersendatnya kreativitas. Sebagus-bagusnya barang dengan harga mahal sekalipun, jika tidak digunakan akan lapuk dimakan usia dan berkurang nilai gunanya.

Ketiga, mengubah cara pandang tentang barang, membeli sekadar apa yang dibutuhkan, tidak menyimpannya dalam waktu lama. Kebiasaan memberi hadiah atau membantu sesama sekalipun berupa barang lama asalkan masih layak pakai, tentu akan mendatangkan nilai kebahagiaan.

Ini yang menarik, nilai-nilai positif dari seni jangan sayang untuk “membuang” barang, jika dicermati merupakan nilai kehidupan agar manusia tidak diperbudak oleh benda atau apa-apa yang menjadi pemuas kebutuhannya.

Syariat Islam sebenarnya telah lebih dulu mengajarkan, nilai-nilai yang bersifat bendawi atau madaniyah dihukumi boleh(mubah). Benda apa pun hukum asalnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Maka, memiliki benda atau barang yang halal dengan cara muamalah yang halal dibolehkan. Namun, kebolehan tersebut memiliki adab atau akhlak jangan sampai orang terjebak pada perilaku mubazir atau isrof.

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا.إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Jangan melakukan tindak tabdzir. Sesungguhnya para mubadzir itu temannya setan.” (QS. Al-Isra: 26-27)

وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Janganlah bersikap boros, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang boros.” (QS. Al-An’am:141)

Dari dua ayat kalamullah tersebut sekilas seperti sama maknanya, namun menurut pendapat Ibnu Abidin memiliki perbedaan. “Al-isrof: menggunakan harta untuk sesuatu yang benar, namun melebihi batas yang dibenarkan. Sedangkan tabdzir, menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak benar.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 6/759).

Sebagai contoh, jika yang dibutuhkan sepasang sepatu, namun ternyata memiliki banyak sepatu yang tidak pernah dipakai, hanya sekadar pajangan atau mengoleksinya hanya menuruti kesenangan, itulah isrof. Sementara jika menggunakan sepatu atau barang lainnya untuk kemaksiatan maka itulah  tabdzir. Dengan kata lain sekecil apa pun nilai harta kita, jika dipakai dalam rangka maksiat termasuk perilaku mubazir. Alangkah bijaknya, jika kita memiliki barang di rumah sekadar untuk menambah nilai manfaat dalam kegunaannya dan jangan bilang "sayang" untuk "membuang” barang, apalagi itu dijadikan hadiah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan indahnya persaudaraan.

"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai." (HR Al-Bukhari)

Wallahu’alam bish Shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Menyusuri Jejak Sejarah Islam Melalui Wisata Religi di Sunan Ampel
Next
Mengenal Rasulullah saw. Seperti Anak, tetapi Tidak Mau Berpihak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram