"Kita tidak boleh muak saja dengan para pemimpin yang korup, melainkan harus sadar bahwa demokrasi telah meniscayakan sekularisasi di berbagai sisi. Amanah mengurusi urusan masyarakat, tidak bisa dilaksanakan oleh para pion-pion penguasa di dalamnya"
Oleh: Atik Hermawati
NarasiPost.Com-Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang masih jauh, namun para politikus selalu ingin eksis lewat baliho ukuran jumbo. Perang billboard itu sudah menyapa masyarakat di tengah karut-marutnya penanganan pandemi. Mulai dari Ketua DPP PDIP Puan Maharani, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketum Demokrat AHY, dan lainnya terpampang dengan sejuta janji.
Baliho yang tersebar di berbagai jalan strategis bukanlah tanpa biaya yang fantastis. Alih-alih ingin mendongkrak popularitas dan mengambil simpati rakyat, justru membuat masyarakat muak. Hal ini dinilai menghamburkan uang di tengah bantuan sosial masyarakat yang sangat kurang. Salah satu komentar masyarakat yang dikutip dari Wartaekonomi.co.id (07/08/2021) ialah, "Tidak tau malu. Bukannya sibuk atasi pandemi, malah sibuk kampanye. Punya pejabat gini amat. Orang akan memilih Anda jika punya prestasi, bukan karena sering lihat muka Anda," kata Achmad Taufiq.
Demokrasi: Hasilkan Politisi Pengabdi Kursi
Seolah tak punya hati, simpati maupun empati tak terpancar dari para politisi negeri ini. Menebar janji pada masyarakat sudah menjadi tradisi. Namun untuk menepatinya, dengan seribu alasan tak mampu mereka lakukan. Akhirnya sebagian masyarakat berharap pada pemilihan berikutnya, lalu ada pula yang golput untuk tidak memilih karena putus asa dan kecewa. Namun, sedikit sekali yang tidak memilih karena paham bahwa pemilu demokrasi tak akan sedikit pun mengubah kondisi.
Dari awal kemerdekaan sampai saat ini, Indonesia sudah dipimpin 7 orang presiden, dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi. Dengan pemilihan umum (pemilu) sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Namun sampai sekarang tidak ada perubahan mendasar, bahkan bisa dikatakan kondisi masyarakat semakin memprihatinkan. Yang terjadi hanyalah pergantian rezim. Sistem politik yang ada tetap demokrasi. Dari demokrasi parlementer, demokrasi Pancasila, dan hingga demokrasi reformasi, yang berubah hanya style-nya. Dimana demokrasi lahir dari rahim sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan pemilu adalah mekanisme untuk melanggengkan eksistensinya.
Demokrasi lahir dari rahim sekularisme. Orang-orang atau parpol dalam lingkaran demokrasi harus mengikuti aturan mainnya, yakni sekularisme. Keberadaan agama diperbolehkan hanya pada ritual ibadah dan di ranah privat, seperti salat, nikah, puasa, dan haji. Aturan agama tidak boleh mendominasi negara yakni tidak boleh ada di ruang publik maupun pemerintahan. Demokrasi menyampingkan peran agama dengan berlindung pada kebhinekaan, kebebasan, dan HAM.
Kendati partai berbasis agama diperbolehkan, namun tetap saja segala visi-misinya, standar dan sumber hukumnya, serta segala program-programnya harus mengikuti standar demokrasi bukan agama. Apabila tidak, secara otomatis akan ditendang dalam kancah pertandingan panggung demokrasi. Dimana demokrasi yang diyakini ialah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (baca: korporasi). Para kapital di belakang para parpol menjadi penguasa sesungguhnya.
Sehingga siapa pun yang terpilih dari tingkat legislatif maupun eksekutif, semua kebijakannya mengarah pada mulusnya neoimperialisme. UU liberal semakin bertambah dengan pergantian rezim yang ada. UU Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang dikeluarkan DPR dan pemerintah tahun 1967, disusul dengan UU liberal lainnya sampai kini puluhan jumlahnya. Sebagai contoh UU Perbankan, UU Migas, UU Minerba, UU Omnibus law, UU SDA, yang membuat asing semakin menguasai dan mencengkeram sektor-sektor vital.
Sedangkan rakyat tak mendapatkan hak untuk diurusi kebutuhannya, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Semuanya serba sulit dan berbelit-belit. UU tentang BPJS dan asuransi sejatinya sebagai pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat. Masyarakat dipaksa menanggung dan menjamin sendiri kebutuhannya. Lalu kebijakan impor semakin menyusahkan produsen lokal. Belum lagi aspek sosial, pendidikan, dan budaya yang semakin menggerus dan membahayakan kepribadian masyarakat negeri timur ini.
Sehingga dalam demokrasi tak ada satu pun parpol bahkan orang amanah yang bertahan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan elite politik dan para kapital. Aturan Sang Pencipta diberikan pada ranah privat semata, benar-salah sesuai kehendak tuan pemilik modal. Rantai panjang korupsi yang berkaitan antarpejabat dan penguasa bukan sebuah aib dan rahasia, melainkan sudah tersistem nyata. Para petarungnya tak lepas dari ambisi kursi dan balas budi, sedangkan rakyat hanya dijadikan penonton yang dizalimi berkali-kali.
Kekecewaan masyarakat tersebut pun sangat sengaja diakomodasi dan digiring agar masyarakat berharap pada parpol dan pemilu berikutnya. Ketidakpuasan masyarakat "dipaksakan" untuk disalurkan dengan ikut pesta demokrasi dalam memilih paslon yang ada. Jika ingin ada perubahan seolah harus melalui mekanisme tersebut, tetapi melalui hal yang di luar itu dianggap ilegal dan dijerat pasal. Padahal sejatinya kontestasi pemilu dalam demokrasi hanya untuk melanggengkan sekularisme dan neoimperialisme, meskipun rezim yang ada sudah digantikan.
Jangan Hanya Muak, Tetapi Bertindak dengan Layak
Jelas sudah, pemilu yang ada hanya didesain untuk memelihara kepentingan asing-aseng dan penguasa yang di bawahnya. Liberalisasi akan kian masif, rakyat semakin tercekik. Sejarah panjang pergantian rezim sejak kemerdekaan sudah sepatutnya menjadi pelajaran dan cambukan bagi kita agar tidak berharap pada pemilu maupun demokrasi itu sendiri. Tujuh kali presiden berganti, tidak ada yang lebih baik di negeri ini. Justru kerusakan di berbagai lini.
Kita tidak boleh muak saja dengan para pemimpin yang korup, melainkan harus sadar bahwa demokrasi telah meniscayakan sekularisasi di berbagai sisi. Amanah mengurusi urusan masyarakat, tidak bisa dilaksanakan oleh para pion-pion penguasa di dalamnya. Kita harus sadar dan mencampakan sistem tersebut. Melakukan perubahan tanpa panggung demokrasi, bagaimanapun itu bukan sesuatu yang mustahil. Sehingga muak kita ialah muak yang diiringi kesadaran untuk mewujudkan perubahan hakiki bukan keputusasaan, serta tidak lagi melanggengkan penindasan dengan ikut arahan dengan mengikuti roda demokrasi.
Apalagi bagi seorang muslim, menerapkan aturan dari Sang Maha Pengatur, Allah Swt, adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Semua itu hanya bisa dalam sistem Islam yakni khilafah yang akan menerapkan syariat Islam secara keseluruhan.
Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Bani Israil pernah diutus oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. Yang ada adalah para khalifah dan jumlahnya banyak." Para sahabat bertanya, "Apa yang engkau perintahkan pada kami?" Nabi saw. menjawab, "Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah pada mereka hak-hak mereka. Sesungguhnya Allah Swt menanyakan mereka atas pengaturannya." (HR. Muslim)
Khalifah dan para wali yang terpilih ialah mereka yang bertakwa dan takut pada azab Sang Pemilik Alam Semesta. Rasulullah saw. bersabda, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya. " (HR. Muslim dan Ahmad)
Sehingga kezaliman pada masyarakat tak akan dilakukan dengan segampang itu. Kalaupun ada, sanksi Islam akan mengadilinya. Sekali lagi, semua itu bukan dengan jalan demokrasi, melainkan dengan jalan atau manhaj Rasulullah saw. Beliau menempuh tiga fase yakni tatsqif (pembinaan Islam), tafa'ul ma'a al-ummah (berinteraksi dengan masyarakat) dengan dakwah Islam, kemudian istilam al-hukmi (penerimaan kekuasaan) dengan jalan thalabunnusrah (pertolongan ahlulquwwah). Inilah yang Nabi saw. contohkan untuk menegakkan Islam dan menebarkan keadilan pada seluruh umat mana pun. Sudah seyogianya umat muslim bertindak untuk menjalankan hal tersebut.
Wallahu a'lam bishshawab.[]