""Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (amat keji) yang belum pernah terjadi oleh seorang pun dari umat-umat semesta alam. Sesungguhnya kamu menggauli lelaki untuk memenuhi syahwat, bukan istri. Sebenarnya kamu adalah kaum yang berlebihan". (TQS Al-A'raf: 80-81).
Oleh : Ana Nazahah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sudah lumrah orang sakit ditangani dokter. Perampok ditangani polisi. Nah, jika nanti-nanti ada yang bertanya tentang penyakit, yang ditanyai itu dokter dan kalau ditanyai persoalan kriminalitas, dampak dan solusi, yang ditanyai itu, polisi. Begitu!
Akan sangat aneh jika posisi ini dibalik. Tugas dokter diambil pasien atau tugas polisi diambil alih perampok. Sayangnya, hal aneh ini terjadi pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baru-baru ini. KPI mengizinkan predator seks jadi duta edukasi bahaya pelecehan dan kekerasan seks pada anak di bawah umur.
Predator seks ini tidak lain adalah pedangdut Saipul Jamil. KPI membolehkan mantan tahanan pedofil ini, kembali tampil di layar kaca. Untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya pelecehan seksual pada anak di bawah umur. Hal itu disampaikan langsung oleh ketua KPI pusat Agung Suprio saat diundang di acara podcast Deddy Corbuzier.
Astaghfirullah! Tidak ada habis-habisnya keputusan nyeleneh dipertontonkan di negeri ini. Rakyat menyayangkan, akhir-akhir ini banyak kebijakan yang tidak rasional. Kenapa di Indonesia segala hal malah terbalik? Pelaku kejahatan seharusnya diberi hukuman yang menimbulkan efek jera. Bukan malah diberi panggung dan dielukan. Disambut kebebasannya dengan meriah seolah pahlawan. Dia baru dibebaskan dari hukuman akibat perbuatan tercela. Bukan sedang berjuang membela negara.
Baca juga :https://narasipost.com/2021/09/23/memutus-rantai-predator-anak-mustahil-terwujud-dalam-sistem-rusak/
Amat disayangkan, jika hukum sekarang serba dibolak-balik. Tidak hafal Pancasila, malah jadi dutanya. Eks koruptor malah jadi duta antikorupsi. Kini, predator seks malah jadi duta edukasi pedofilia. Kebijakan ini terkesan dibuat-buat.
Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa para penjahat malah diberi panggung dan diapresiasi? Padahal, kejahatan mereka tidak hanya merugikan korban, namun seluruh bangsa ini. Anak-anak bangsa terancam menjadi sasaran kekerasan seksual. Predator anak di luar sana seperti mendapat angin segar.
Ini adalah sikap dualisme dan dobel standar. Di satu sisi, kita ingin menuntaskan segala kejahatan yang mengancam umat bangsa ini. Tapi di sisi lain, kita malah membuka peluang kejahatan ini terulang kembali. Penjahat-penjahat ini tidak mendapatkan efek jera sama sekali.
Padahal, dampak dari kekerasan seksual anak di Indonesia sudah di tingkat yang serius, sekaligus mengerikan. Akankah kita tetap membiarkan mantan pelaku predator ini menjadi sosok yang dielukan dan kelak diikuti? Sementara perilaku amoral semakin marak, menjadi momok mengerikan bagi bangsa ini.
Dalam Islam, perilaku melenceng homoseksual, tergolong dosa besar dan akan ditindak dengan tegas. Allah Subhanahu Wa Ta'ala menggolongkan perbuatan ini sebagai perbuatan keji. Sebagaimana Firman-Nya "Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (amat keji) yang belum pernah terjadi oleh seorang pun dari umat-umat semesta alam. Sesungguhnya kamu menggauli lelaki untuk memenuhi syahwat, bukan istri. Sebenarnya kamu adalah kaum yang berlebihan". (TQS Al-A'raf: 80-81).
Terlebih jika perbuatan tersebut adalah pencabulan anak di bawah umur. Maka, sanksi yang diberikan akan lebih besar lagi. Pemberian sanksi bisa saja hukuman mati. Sehingga, menimbulkan efek jera bagi orang lain. Agar tidak melakukan hal yang sama.
Baca juga : https://narasipost.com/2021/09/23/pelaku-kejahatan-seksual-sudah-bebas-hasil-sistem-rusak-yang-harus-diberantas/
Sayangnya, kita hidup dalam sistem demokrasi di mana hukum bisa diotak-atik sesuka hati, menurut hawa nafsu manusia. Bahkan, meninggalkan hukum Tuhan yang suci. Lantas apa yang terjadi? Predator seks tidak pernah mendapat efek jera, malah sebaliknya angka seks bebas dan kekerasan seksual tak pernah berkurang, malah semakin menjadi-jadi.
Inilah fakta dualisme dan dobel standar yang dihasilkan demokrasi. Persis terlihat di kasus predator seks yang menjadi duta kekerasan seksual pada anak saat ini. Hal ini cukup menjadi bukti, bahwa sejatinya hukum sekularisme tidak pernah memihak rakyat. Tidak menimbang perasaan korban dan jutaan anak bangsa yang terancam.
Karenanya, hanya sistem Islamlah satu-satunya yang mampu memberi solusi tuntas terkait predator anak ini. Tentu saja, dengan memberikan hukuman tegas yang menimbulkan efek jera. Sehingga, tindakan ini bisa menyelamatkan anak-anak bangsa dari predator seks bebas dan segala kejahatan di muka bumi.
Wallahu'alam…[]