Pornografi Terus Menjamur di Negeri Demokrasi, Sistem Islam Menyolusi

"Demokrasi yang menjadikan liberalisme (kebebasan) sebagai pilarnya, tentu saja memberi sumbangsih besar bagi lahirnya pornografi di negeri ini. Tak hanya skala individu, melainkan juga skala korporasi."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Demokrasi tak hanya menuhankan suara rakyat sebagai sumber pengambilan keputusan, tapi juga menuhankan kebebasan sebagai pilarnya. Maka, wajar jika dalam naungan demokrasi, berbagai tindak asusila atas nama kebebasan tumbuh subur bak jamur di musim penghujan.

Ya, pornografi masih menjadi kasus yang laris manis diberitakan di laman-laman media massa negeri ini. Sebagaimana yang baru-baru ini terjadi, seorang selebgram berinisial RR (32) tertangkap basah saat sedang melakukan live tanpa busana di media sosial miliknya. Sebagaimana diberitakan oleh Detiknews.com (21/09/2021), RR telah melakukan aksinya tersebut selama 9 bulan belakangan. Berkat aksi bugil dan masturbasinya di media sosial, Mango dan Bigo, RR mengaku memperoleh penghasilan kurang lebih Rp50 juta per bulan. Ia mengaku, penghasilan tersebut digunakannya untuk kebutuhan sehari-hari.

Sang selebgram sebelumnya bekerja di tempat karaoke, namun sejak pandemi Covid-19 menghantam negeri ini, tempat kerjanya itu terpaksa tutup. Akhirnya ia pun dirumahkan. Kemudian, karena tuntutan ekonomi, ia mengambil jalan pintas pornografi.

Pornografi Sahabat Karib Demokrasi

Tentu saja apa yang dilakukan RR bukanlah kasus pertama yang terjadi di negeri ini. Jutaan kasus serupa pernah terjadi, bahkan mungkin masih terjadi hingga hari ini. Pornografi memang seperti sahabat karib bagi demokrasi, sulit dipisahkan.

Bagaimana tidak, demokrasi yang menjadikan liberalisme (kebebasan) sebagai pilarnya, tentu saja memberi sumbangsih besar bagi lahirnya pornografi di negeri ini. Tak hanya skala individu, melainkan juga skala korporasi.

Sangat jamak kita temukan di negeri demokrasi, konten pornografi dijadikan komoditas yang menghasilkan pundi-pundi materi. Adegan seksual kerap kali 'dijual' demi menaikkan rating, belum lagi eksploitasi tubuh perempuan baik lewat gambar maupun video dilakukan demi meraup profit. Dalam skala individu, begitu banyak fakta mengemuka, demi kebutuhan ekonomi rela jual diri. Demi meraup segepok rupiah, tubuh pun diobral murah untuk dipertontonkan ke khalayak. Seakan kehormatan tidak lagi memiliki arti. Ya, begitulah demokrasi, mampu mengikis habis harga diri.

Sungguh, demokrasi adalah sahabat karib pornografi. Selama demokrasi bercokol sebagai sistem hidup kita, maka selama itu pulalah pornografi terus lahir. Jika sudah begitu, maka generasi negeri dalam bayang-bayang kehancuran dan peradaban mulia sungguh kian menjadi ilusi untuk terimplementasi. Betapa tidak, pornografi akan merusak otak generasi, melumpuhkan daya kritis, dan memandulkan intelektualitas. Lantas, apa yang mau diharapkan dari generasi semacam itu?

Demokrasi Mencukupkan Tuhan Ada di Hati

Merebaknya pornografi di bawah naungan demokrasi juga tak bisa dilepaskan dari keberadaan sekularisme yang menjadi akidahnya. Dengannya, keberadaan agama dicukupkan di ranah individu pemeluknya, seolah keberadaan Tuhan cukup di hati saja. Urusan bermasyarakat dan bernegara tidak boleh membawa-bawa agama. Apalagi jika lantang menyuarakan formalisasi syariat Islam dalam negara, maka bersiaplah dipersekusi hingga masuk bui. Demokrasi memang tak punya ruang untuk penerapan syariat Islam secara kafah, karena akan banyak kepentingan yang terjegal oleh aturan Islam. Maka, segala daya dilakukan demi membungkam kebangkitan Islam, lebih-lebih tegaknya Khilafah.

Padahal sejatinya pornografi akan kandas di tangan sistem Islam, sebab sistem Islam memiliki seperangkat mekanisme dalam mengatasi persoalan tersebut. Pertama, sistem Islam akan menancapkan akidah islamiyah yang mengakar di dalam diri setiap individu muslim. Dengan itulah, akan tercipta pengendali otomatis bagi individu dalam melakukan perbuatan maksiat. Sesulit apa pun himpitan hidup, seorang muslim yang bertakwa takkan pernah mau menceburkan diri ke dalam kubangan maksiat. Prinsipnya adalah lebih baik berdarah tapi mulia, daripada tertawa tapi terhina di hadapan Allah.

Kedua, sistem Islam akan mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berada di bawah naungannya, yakni dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, yang juga merupakan subsistem dari demokrasi, sistem ekonomi Islam memiliki mekanisme yang khas, seperti soal harta kepemilikan dan distribusi kekayaan. Secara rinci, Islam mengatur bahwa harta kepemilikan dibagi menjadi tiga: kepemilikan individu, negara, dan umum.

Islam memandang bahwa setiap individu boleh memiliki harta, selama didapatkan dengan jalan yang halal, misalnya dengan cara bekerja, berburu, bertani, atau harta hasil pemberian, misalnya hadiah dan warisan.

Adapun harta kepemilikan umum yakni mencakup harta yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yakni jumlahnya melimpah dan manfaatnya dapat digunakan oleh orang banyak tanpa batas, misalnya tambang, migas, sungai, lautan, jalanan, dan lain-lain. Sedangkan kepemilikan negara mencakup fai, kharaj, ghanimah, dan khumus.

Dengan adanya pembagian harga kepemilikan tersebut, jelaslah bahwa Islam memiliki aturan yang baku mengenai konsep kepemilikan. Satu dengan yang lainnya tidak boleh tumpang tindih. Artinya harta kepemilikan umum haram dikuasai oleh individu, karena hakikatnya harta tersebut adalah milik umat. Negaralah yang mengelolanya, kemudian hasilnya dikembalikan untuk umat. Hal tersebut amat berbeda dengan sistem kapitalisme hari ini, harta milik umum dikuasai swasta, baik asing maupun lokal, lewat sederet regulasi seperti UU Privatisasi, UU Migas, UU Penanaman Modal Asing, dan lain-lain. Maka wajar jika akhirnya rakyat melarat di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.

Andai saja, penguasa negeri ini mau mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dalam mengelola harta kepemilikan umum, tentu saja negeri ini tak terperosok kian dalam ke jurang resesi.

Dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani, dinyatakan bahwa, "Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu  al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia  air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal)."

Dari hadis tersebut, awalnya Rasul mengira bahwa yang dimaksud adalah tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh sehingga diperbolehkan baginya untuk menguasainya, namun ketika beliau saw mengetahui bahwa yang dimaksud adalah al-ma'u al-iddu (yang tidak terputus zatnya, semisal mata air), maka beliau pun menarik kembali pemberiannya. Artinya, al-ma'u al-iddu tersebut menjadi illat atas penarikan tersebut.

Sayang, negeri ini mengobral aset-asetnya kepada asing dan aseng, rakyat di dalam negeri pun kian tercekik. Ekonomi kian sulit. Akhirnya, banyak yang memilih jalan pintas demi keluar dari kesulitan itu, meski yang dilakukannya harus mencederai kehormatan dan mencoreng akidahnya.

Dalam soal distribusi kekayaan pun sistem Islam akan berupaya meratakan kepada seluruh rakyat, sehingga tak dikenal sepanjang sejarah peradaban Islam adanya kesenjangan sosial yang tajam antara si kaya dan si miskin. Semua rakyat sejahtera, tercukupi kebutuhan dasarnya oleh negara. Sampai-sampai ada kisah yang sangat masyhur pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, yakni tak ditemukan seorang pun rakyat yang berhak menerima zakat. Semuanya sudah sejahtera dalam peri'ayahan sistem Islam saat itu. Amat berbeda dengan kondisi hari ini, bantuan sosial dan pembagian sedekah selalu penuh sesak oleh antrean rakyat yang meminta jatahnya.

Ketiga, negara akan menerapkan sanksi tegas bagi pelaku kegaduhan di muka umum, termasuk bagi mereka yang melakukan aksi pornografi. Sanksinya adalah ta'zir yakni kadar dan jenis sanksinya diserahkan kepada keputusan khalifah.

Demikianlah cara sistem Islam memberangus tindakan pornografi atas nama himpitan ekonomi. Maka, sudah saatnya kita berpaling pada penerapan sistem Islam secara kafah dalam naungan Khilafah. Sungguh, demokrasi tak layak dipertahankan, kecuali jika kita ingin terperosok kian dalam ke jurang kehancuran dan kehinaan. Wallahu'alam bi shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Apakah Syariat Islam Diterapkan bagi Nonmuslim?
Next
Jangan Pernah Berhenti Berdoa
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram