Pendidikan Berpajak, Apakah Bijak?

"Pajak telah dianggap sebagai instrumen terjitu yang memiliki peran terbesar dalam menopang APBN di negeri ini. Dalam postur APBN 2020 saja, pendapatan negara di proyeksikan sebesar 2223,2 triliun rupiah dengan rincian penerimaan dari pajak sebesar 1.865,7 triliun rupiah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 367,0 triliun rupiah, dan hibah sebesar 0,5 tririlun rupiah. (Kemenkeu.go.id)"

Oleh: Dewi Fitratul Hasanah
(Pemerhati Sosial, Pendidik Generasi, dan Pegiat Literasi)

NarasiPost.Com-Negeri Seribu Pajak". Sebuah julukan yang rasanya tak berlebihan jika disematkan pada negeri tercinta ini. Bagaimana tidak, pajak hampir melabeli semua lini.

Sebagaimana diberitakan Kontan.co.id (9/9/2020) pemerintah tengah mengajukan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan sebesar 7%. Beleid ini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI. Rencana tersebut menyemai respon dari berbagai kalangan masyarakat. Pemerintah dinilai seolah lepas tanggung jawab dan mengambil keuntungan tersendiri dengan dalih demi berjalannya roda ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Pasalnya, pendidikan merupakan pondasi esensial bagi generasi penerus negeri. Pendidikan seharusnya dipersembahkan kepada rakyat dengan biaya murah, bahkan gratis. Meskipun yang akan dikenai pajak adalah pendidikan berkategori swasta dan bertaraf internasional, tapi tak sepantasnya sektor pendidikan masuk dalam urutan objek yang dikenai pajak.

Sayangnya, pajak telah dianggap sebagai instrumen terjitu yang memiliki peran terbesar dalam menopang APBN di negeri ini. Dalam postur APBN 2020 saja, pendapatan negara di proyeksikan sebesar 2223,2 triliun rupiah dengan rincian penerimaan dari pajak sebesar 1.865,7 triliun rupiah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 367,0 triliun rupiah, dan hibah sebesar 0,5 tririlun rupiah. (Kemenkeu.go.id)

Besarnya target pendapatan dari pajak tersebut, membuat apa pun yang ada di negeri ini dijadikan objek bidikan pajak. Mulai dari pajak kendaraan, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, pajak para pengguna media sosial dan penggunaan fasilitas umum dan lain sebagainya, bahkan sekarang pun akan ada pajak untuk pendidikan.

Jamak diketahui bahwa Indonesia adalah penganut ideologi kapitalisme. Dimana orientasinya adalah keuntungan dan materi semata, tanpa peduli jika menyengsarakan rakyatnya. Karenanya, rencana pengambilan pajak di sektor pendidikan ini adalah hal yang wajar bahkan dianggap rencana paling benar dalam kacamata kapitalisme. Berbeda jauh dengan Islam yang bukan saja sebagai agama, namun juga sebagai sebuah ideologi dengan seperangkat petunjuk mekanisme kehidupan yang paripurna. Jika Islam diemban dan diterapkan menyeluruh dalam skala negara sebagaimana yang telah dicontohkan oleh manusia mulia, Nabi Muhammad saw, tentu takkan ada perpajakan yang liberal dan sekenanya. Berdalih harus terus meningkatkan pendapatan negara demi jalannya roda perekonomian serta menagih pemakluman rakyat bahwa utang negara sudah menumpuk dan APBN selalu defisit, sedangkan sumber pendapatan di luar pajak yang tak bisa diandalkan telah cukup menjawab pertanyaan mengapa tagar #PajakKitaUntukKita dan OrangBijakTaatPajak selama ini selalu digencarkan.

Pemerintah bahkan tak pernah cuti menyeru rakyat untuk membayar pajak dengan menekankan bahwa tanpa pajak, ekonomi dan pembangunan tidak akan berjalan, dan jika pembangunan tidak berjalan maka pemerintah tentu tidak bisa menyejahterakan rakyat. Namun faktanya, jaminan kesejahteraan hanyalah bualan. Kalaupun kesejahteraan itu ada, hanyalah dirasakan oleh segelintir rakyat saja. Berbanding terbalik jika dilihat dari sudut pandang Islam. Pajak adalah pilihan terakhir yang sifatnya insidental bukan esensial. Pajak diharamkan untuk dijadikan sumber pendapatan negara.

Pajak hanya akan dipungut apabila keadaan kas negara dalam kondisi kerontang dan kondisi ini sangat jarang terjadi. Pajak yang ditarik pun hanya ditujukan pada penduduk muslim yang kaya. Pajak dipergunakan untuk membiayai jihad, membayar gaji pegawai, menyantuni fakir miskin, membangun infrastruktur vital, dan menangani bencana. Menyoal pemasukan kas negara, Islam menetapkan bahwa kekayaan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu air ladang gembalaan dan api. Semua itu harus dikelola oleh negara dan tak boleh dikelola atau diintervensi pihak asing.

"Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli, yaitu air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah)

Islam paham betul bahwa kekayaan alam yang dibiarkan dikelola oleh asing hanya akan membuat negara tak berdaya dan kehilangan wibawanya dalam mengelola potensi kekayaan alam tersebut untuk menyejahterakan rakyatnya secara keseluruhan. Sebab keuntungan dari kekayaan yang dikelola oleh negara inilah yang membuat negara ini sanggup menyediakan lapangan pekerjaan yang layak kepada rakyat sehingga dapat mencukupi kebutuhan pangan, sandang papan, pelayanan kesehatan dan jaminan keamanan kepada tiap individu rakyat. Lebih-lebih untuk urusan pendidikan, tentu akan sangat mudah diberikan tanpa perlu menodong pajak.

Sungguh harapan untuk menjadi negara yang sejahtera, besar, kuat terdepan dan bebas dari julukan "negeri seribu pajak", benar-benar bergantung pada kebenaran ideologi dan sistem yang dijalankan oleh negara tersebut. Tak selayaknya kita mempertahankan dominasi ideologi kapitalisme yang terbukti hanya menggerogoti kesejahteraan dan keadilan di negeri ini. Sudah saatnya kita meninggalkan ideologi kapitalisme dengan menerapkan ideologi Islam. Jika sistem Islam ini diterapkan niscaya takkan ada dunia pendidikan yang berpajak. Sebab mengambil pajak dari pendidikan adalah kebijakan yang sangat tidak bijak. Wallahualam bishshawaab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Dewi Fitratul Hasanah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Gaming Disorder; Hangover!
Next
Ingatlah, Goresan Penamu adalah Bagian dari Amalmu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram