"Dan implikasi dari karut-marut tersebut, sektor kehidupan masyarakat terguncang, termasuk sektor ekonomi. Akibatnya rakyat kian terperosok ke dalam jurang kemiskinan yang dalam. Dampak lanjutannya lagi, angka bunuh diri meningkat karena tak sanggup menahan beratnya beban hidup."
Oleh.Hana Annisa Afriliani,S.S
(RedPel NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Kaya dan miskin merupakan sunnatullah. Karena Allah telah menakar rizki setiap hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Di setiap masa akan selalu ada orang kaya dan akan selalu ada orang miskin. Namun, sewajarnya kemiskinan yang dialami tak sampai membuat seseorang menderita bahkan mati kelaparan. Berbeda halnya dengan kemiskinan yang muncul hari ini. Kemiskinan itu tercipta secara sistemis. Ya, akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini, rakyat termiskinkan, bahkan hingga berada dalam titik nadir penderitaan.
Lebih-lebih di masa pandemi yang telah berlangsung selama 18 bulan lamanya di negeri ini, angka kemiskinan kian menanjak signifikan. Ya, hadirnya pandemi memang memberikan efek domino yang sangat dahsyat bagi kehidupan masyarakat yang diatur dengan sistem kapitalisme. Betapa tidak, sistem kapitalisme telah mempertontonkan kegagalan dalam mengatasi pandemi. Sejak awal kemunculannya, negara dalam naungan sistem kapitalisme ini tak tegas mengambil kebijakan lockdown, yakni penguncian wilayah agar virus tak menyebar. Sebaliknya, negeri ini begitu longgar terhadap arus keluar masuk manusia, termasuk mengizinkan para Tenaga Kerja Asing (TKA) menginjakkan kaki di bumi pertiwi. Walhasil, virus Covid-19 menyebar tak terkendali hampir ke seluruh wilayah di negeri ini. Hingga kini, Indonesia pun dinobatkan sebagai episentrum penyebaran Covid-19 di seluruh dunia.
Sungguh prestasi yang tak layak dibanggakan.
Begitulah watak pemerintahan yang mengadopsi sistem kapitalisme, senantiasa mengedepankan pemulihan ekonomi ketimbang penyelamatan nyawa manusia. Lebih memikirkan kelanjutan hidup para korporat dan penguasa ketimbang kelanjutan hidup rakyat jelata. Maka tak berlebihan jika dikatakan, pandemi ini sungguh menciptakan keterpurukan yang dahsyat bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dinyatakan bahwa selama berlansungnya pandemi, angka kemiskinan di negeri ini melesat naik mencapai angka 27,55 juta jiwa. Angka tersebut naik sebanyak 1,13 juta jiwa dari Maret 2020. (Bisnis.com/02-03-2021)
Di luar angka yang terdata tersebut, kita dapat melihat realitanya di lapangan. Rakyat Indonesia berkubang dalam kemiskinan dan penderitaan, bahkan sejak sebelum datangnya pandemi. Dan hadirnya pandemi jelas menambah nyata penderitaan mereka. Betapa tidak, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi di mana-mana, ritel-ritel gulung tikar dan ribuan karyawannya dirumahkan, para pedagang kecil kekurangan bahkan kehilangan pendapatan seiring dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Sungguh, kemiskinan merupakan komorbid alias penyakit bawaan di masa pandemi ini yang tentu saja butuh penanganan segera.
Pemerintah sebagai pengemban tanggung jawab atas pengurusan rakyatnya semestinya mencari solusi efektif demi menanggulangi segala probematika yang tercipta akibat adanya pandemi ini. Bukan sekadar dengan memberikan bantuan sosial yang sifatnya temporal, namun pemerintah perlu mengambil kebijakan yang menyentuh akar persoalannya.
Jika kita mencermati, kemiskinan bertambah adalah akibat karut-marut penanganan pandemi yang tak membawa dampak signifikan. Pemerintah sibuk menerapkan aneka kebijakan yang berganti-ganti, mulai dari PSBB, New Normal, PPKM, PPKM Darurat, hingga PPKM aneka level, namun nyatanya kesemua itu tak mampu membuat angka penularan Covid melandai, sebaliknya kian menanjak dari hari ke hari. Tingkat kegawatannya pun kian bertambah, terbukti dengan tingginya angka kematian beberapa bulan belakangan ini.
Pemerintah seperti tak siap menghadapi pandemi, karena berbagai kebijakan itu pun senantiasa dimentahkan dengan adanya kebijakan lainnya yang kontradiktif. Misalnya, tetap mengizinkan TKA masuk ke dalam negeri, padahal bisa jadi dari sanalah sumber penularan virus terjadi. Mengizinkan mall dan tempat wisata beroperasi, resepsi pernikahan banyak yang dibiarkan, dan kegiatan-kegiatan kerumunan lainnya. Akibat dari inkonsistensi kebijakan itu pula lah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun.
Dan implikasi dari karut-marut tersebut, sektor kehidupan masyarakat terguncang, termasuk sektor ekonomi. Akibatnya rakyat kian terperosok ke dalam jurang kemiskinan yang dalam. Dampak lanjutannya lagi, angka bunuh diri meningkat karena tak sanggup menahan beratnya beban hidup.
Oleh karena itu, semestinya pemerintah mengambil kebijakan revolusioner, yakni kebijakan fundamental yang menyentuh akar permasalahan, bukan sekadar kebijakan parsial. Pemerintah harus mengatasi pandemi itu sendiri, sehingga segala dampak lanjutannya, termasuk kemiskinan bisa diatasi. Sejak awal para epidemiologi telah menganjurkan opsi lockdown kepada pemerintah dalam penanganan pandemi, namun hal tersebut tak diambil hingga saat ini. Alasannya, pemerintah tak sanggup memenuhi kebutuhan hidup rakyat selama lockdown berlangsung sebagai konsekuensinya. Karena memang terkait pemenuhan kebutuhan rakyat wajib dijamin negara jika lockdown telah tertuang dalam undang-undang tentang Kekarantinaan Wilayah Pasal 8 UU 6/2018, yakni menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, seperti kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina.
Padahal jika saja opsi lockdown diambil sejak awal, penyebaran virus tentu dapat ditekan. Kondisi masyarakat pun tak akan seterpuruk hari ini. Namun, sayang segala harapan itu harus pupus di bawah bayang-bayang kepemimpinan yang bercorak kapitalisme hari ini. Jika kita menengok sejarah, sistem Islam mampu mengatasi pandemi dengan tuntas dan efektif dalam waktu yang relatif singkat, yakni dengan segera melakukan lockdown. Selama itu pula, negara memperhatikan dan memenuhi segala kebutuhan rakyat, seperti kebutuhan obat-obatan, pangan, vitamin, dan lain-lain. Di bawah pengurusan sistem Islam, rakyat sejahtera. Kemiskinan tak menjadi komorbid di masa pandemi, sebab negara dalam sistem Islam tegas mengambil kebijakan berdasarkan tuntunan syariat Islam yang sumbernya terpercaya, yakni Sang Maha Pencipta. Wallahu'alam.[]