Menapaki Terjalnya Jalan Hijrah

"Naskah pemenang pertama Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik "Story "

Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S

NarasiPost.Com-"Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka terbunuh atau mati, sungguh Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki. Sungguh, Dia pasti akan memasukkan mereka ke tempat masuk (surga) yang mereka sukai. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun." (Q.S Al-Hajj: 58-59)

Begitulah yang Allah janjikan kepada mereka yang berhijrah di jalan Allah. Ya, surgalah sebaik-baik balasan bagi mereka yang mengerahkan daya upaya demi mencapai puncak hijrah, serta istikamah dalam hijrahnya.

Itu juga yang menjadi motivasi terbesarku ketika memutuskan berhijrah totalitas dalam satu helaan napas. Ya, tentu saja, sebab setiap muslim pasti mendamba surga sebagai tempat kembalinya. Itulah kehidupan abadi yang Allah janjikan bagi mereka yang beriman dan bertakwa.

Sungguh, syukur tak pernah henti kupanjatkan kepada Allah atas skenario mahaindah yang Dia rancang untuk hidupku. Allah pertemukan aku dengan para muslimah salehah yang akhirnya menjadi perantara hijrahku. Di dunia kampus, saat intelektualitas menemui ruangnya, aku dipertemukan dengan komunitas yang memantik akalku untuk berpikir cemerlang.

Aku masih ingat, di teras masjid universitas, aku dan seorang kakak angkatan di kampusku berbincang soal Islam. Entah mengapa, usai berbincang dengannya, satu per satu simpul pemikiranku terlepas. Ada mindset yang berubah tentang hidup dan kehidupan. Entah mengapa pula, aku seperti baru memahami Islam secara utuh, padahal aku muslim sejak lahir. Amazing!

Diskusi demi diskusi terus berlanjut di hari lainnya. Aku merasa candu untuk terus berdiskusi. Banyak hal baru yang kudapatkan dari diskusi itu, lebih-lebih kakak angkatanku itu menyertai argumennya dengan banyak bukti yang bisa diterima akalku. Tak jarang dia membawa banyak kitab para ulama untuk menopang perkataannya.

Aku tak menyangka bahwa ternyata aku yang muslimah sejak lahir amat terbelalak ketika menyadari betapa Islam begitu sempurna. Islam bukan sekadar perkara ibadah ritual seperti yang sebelumnya kupahami, melainkan sistem kehidupan yang sungguh mengagumkan. Tak hanya soal salat, puasa, zakat, haji, bahkan soal politik, ekonomi, pemerintahan pun diatur dalam Islam. Awesome!

Sejak itu pulalah aku tahu bahwa seorang muslimah yang sudah baligh wajib menutup auratnya secara sempurna dengan jilbab dan kerudung. Jilbab adalah semacam baju kurung yang lurus tak berpotongan, menyerupai sirdab (terowongan) atau biasa disebut gamis oleh masyarakat Indonesia. Selama ini, yang kutahu jilbab itu sebutan lain bagi kerudung. Eh, ternyata maknanya berbeda.

Sejak tahu itulah, hatiku mulai cemas. Aku tidak memiliki jilbab, kecuali hanya satu saja pemberian ibuku. Kebingungan pun menyergap. Bagaimana aku bisa memakai jilbab setiap hari, sedangkan yang ada di lemari pakaianku adalah baju potongan atas-bawah semua?

Namun, kakak angkatan yang selama ini membimbingku belajar Islam kafah, selalu men-supportku. Bahkan, rekan-rekannya sesama aktivis di masjid universitas merangkulku. Mereka memberiku pinjaman beberapa buah jilbab. Maasyaallah, aku terharu. Betapa mereka berupaya memudahkan saudarinya agar bisa taat pada Rabbnya. Sejak itu, aku juga memahami bahwa persahabatan karena Allah memang benar adanya.

Hari pertama berjilbab ke kampus membuat dadaku berdetak kencang. Kala itu, teman-teman perempuan satu angkatan tak ada satu pun yang berjilbab, paling hanya berkerudung.

"Wah, ada Bu Ustazah, nih …!" seru sebagian mereka tatkala aku melangkah ke dalam kelas dengan jilbab dan kerudung panjangku.

Kutahu apa yang mereka lontarkan bukan pujian, melainkan ledekan. Aku pun menguatkan diri dengan tersenyum membalas mereka.
Tak sampai di situ, mereka pun bertanya-tanya, mengapa aku berpakaian seperti itu. Itulah kesempatanku untuk menjelaskan sekaligus berdakwah, meski hampir semua di antara mereka tidak serta-merta mengiyakan pemahamanku. Mereka menganggap tak perlu berpakaian seperti itu. Kalau pun menutup aurat, bisa dengan model pakaian apa saja.

"Ah, biarlah, semoga suatu hari nanti Allah teteskan hidayah ke kalbu mereka," batinku.

Aku pun semakin aktif di masjid universitas, menjadi panitia agenda-agenda keislaman. Waktuku terasa begitu bermakna setelahnya, sibuk yang begitu kunikmati setiap detiknya, meski kenikmatan bergelut dalam aktivitas dakwah yang mengiringi langkah hijrahku harus kubayar dengan menjauhnya satu per satu teman-temanku.

Mereka menganggap aku sudah tak lagi se-asyik dulu. Aku sering menolak ajakan mereka untuk sekadar nongkrong sepulang kuliah, bahkan aku memutuskan keluar dari komunitas teater yang sebelumnya kuikuti. Biasanya aku bergaul luwes dengan semua teman, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah paham bahwa Islam mengharamkan ikhtilat (campur baru) antara laki-laki dan perempuan, maka kubatasi pergaulanku. Maka teman-teman lelakiku pun mulai menjaga jarak.

Istikamah dalam pemahaman yang benar memang tak mudah. Sebab, aturan yang melingkupi kehidupan kita saat ini bukanlah aturan yang bersumber dari Islam. Maka, Islam benar-benar menjadi sesuatu yang asing, sebab penerapannya hanya terbatas di ruang privat individu saja.
Ketika aku vokal bersuara menolak ospek berbumbu kekerasan di kampus, maka aku dibully habis-habisan oleh para mahasiswa yang juga menjadi panitia ospek, termasuk para alumni yang ikut serta membantu panitia.

Kata salah seorang di antara mereka, "Hidup itu keras, makanya harus terbiasa dengan kekerasan! Kalau nggak mau keras, nggak usah hidup aja sekalian!!!" katanya setengah berteriak di dalam forum pertemuan panitia ospek.

Bahkan, seorang mahasiswa datang meletakkan jari telunjuknya di depan hidungku.

"Dasar fanatik!" ucapnya.

Kemudian,  sahabat-sahabat taatkulah yang merengkuh tubuhku ketika aku menangis menghadapi segala bullying tersebut. Mereka menguatkanku, bahwa apa yang kuterima belumlah apa-apa dibanding yang Rasulullah saw. dapatkan atas dakwahnya kepada masyarakat jahiliah. Biasanya, setelah itu pancang kakiku kian kokoh. Aku semakin yakin untuk terus menapaki jalan hijrah ini seberat apa pun medannya. Sebab, kuyakin ada Allah yang akan terus membersamai.

Tantangan berikutnya yang harus kuhadapi adalah keluarga. Mereka meresahkan penampilanku yang baru, belum lagi aktivitas dakwahku. Menurut mereka, dakwahku terlalu 'keras'. Aku yang dahulu buta soal politik, kini malah seringkali mengkritisi kebijakan penguasa dan menyajikan solusinya dengan sudut pandang Islam.

Ibuku bahkan pernah berpesan, "Jangan terlalu ekstrem, jadi muslim yang biasa saja."

Aku tak goyah. Aku tetap melangkah seraya memahamkan keluargaku bahwa jalan hijrah yang kutempuh bukan jalan menyimpang dari kebenaran. Aku hanya sedang mendekap Islam secara kafah. Keterlibatanku dalam dakwah pun adalah bagian dari ketaatanku pada Allah. Sebab, Dia memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar.

Aku tak ingin menjadi setan bisu, yakni hanya diam menyaksikan berbagai kemungkaran dipertontonkan di depan mata.
Visi terbesarku adalah memahamkan orang sebanyak-banyaknya bahwa Islam adalah ideologi sahih yang layak diterapkan dalam sebuah institusi. Untuk itu, aku akan terus menyerukan dakwah ideologis, baik lewat lisan maupun tulisan.

Alhamdulillah, kini keluargaku semua mendukung langkahku, bahkan mereka pasang badan membelaku tatkala ada suara-suara sumbang yang menuduhku terjebak dalam paham Islam radikal. Keluargaku menjadi supporter utama dalam dakwah. Mereka bahkan meyakini bahwa apa yang kusampaikan benar adanya, tak sedikit pun melenceng dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Alhamdulillah … sungguh pertolongan Allah sangat dekat. Maka, bagi yang sedang menapaki terjalnya jalan hijrah, bersabarlah dan nikmati saja setiap perihnya. Sungguh setelah kesulitan pasti ada kemudahan, sebagaimana akan ada pelangi setelah hujan. Wallahu'alam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pasangkanlah Sandal-Sandal
Next
Bila sang Arsitek Peradaban Terpapar Insecure Akut
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram