"Saat aku mendekati kematian, tolong letakkan tanganmu di atas tanganku. Jika aku menggenggam tanganmu maka engkau bakar saja semua buku-buku karyaku. Aku khawatir ketika aku menuliskan semua buku itu, dalam hatiku masih menyimpan sedikit rasa tidak ikhlas. Tapi jika aku tak menggenggam tanganmu maka bagikanlah semua buku-bukuku untuk dimanfaatkan oleh banyak orang.”
( Imam Al-Mawardi )
Oleh: Rindyanti Septiana S.H.I.
(Founder KFN & Pengurus Majelis Darun Nawawi)
NarasiPost.Com-Ketika amal saleh tak berarti apa-apa di hadapan Allah Swt., bisa jadi amal tersebut memang tidak tertuju untuk-Nya. Melainkan untuk mendapatkan sekeping dunia dan juga pujian dari manusia. Akhirnya sia-sia segala amal bahkan merusak amal akhirat kita.
Ada 2 benalu yang harus kita waspadai dalam keikhlasan. Benalu tersebut merusak amal-amal kita. Pertama, hubbud dunya (cinta dunia). Beribadah semata-mata untuk mendapatkan sekeping dunia. Menjadikan ibadahnya tidak diterima Allah Swt.
Salah seorang shahabat Rasul saw. pernah berkata, setiap aku melihat para shahabat membaca Al-Qur’an, maka aku sering menemukan mereka menangis saat membaca 2 ayat dari Al-Qur’an. Ketika mereka membaca surat Hud ayat 15-16. “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”
Terkait ayat di atas Imam Qatadah menjelaskan, “Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan, niat dan sesuatu yang hendak dicapai, maka Allah akan memberi balasan dunia atas kebaikannya yang telah ia lakukan, hingga saat menuju akhirat, tidak ada lagi kebaikan baginya yang dapat diberikan sebagai balasan. Sementara seorang mukmin, ia akan diberikan balasan di dunia atas kebaikan yang dilakukannya dan diberikan pula pahala kelak di akhirat.”
Jika seorang manusia beramal dengan amal yang demikian, maka sia-sia ia melakukannya. Batal pula atas apa yang telah ia usahakan. Karena meniatkan segala amal tersebab materi. Betapa hinanya seseorang meniatkan urusan akhirat dengan dunia. Padahal dunia ini tempat kita meninggal bukan untuk tinggal.
Maka sudah seharusnya kita menyibukkan diri dengan amal akhirat. Karena dunia kita sudah dijamin oleh Allah Swt. sementara akhirat belum dijamin oleh Allah Swt. Tiada berguna beribadah dengan cita rasa dunia. Karena tak akan mendapatkan apa-apa di sisi Allah selain rusaknya amal ibadah.
Kedua, tidak menginginkan pujian manusia melainkan berharap rida Allah Swt. Manusia yang seperti ini memiliki beberapa sifat. Pertama, ia menyembunyikan apa yang ia kerjakan. Amalan tersembunyinya lebih banyak daripada yang terlihat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Malik bin Dinar ra, “Tutup amal baikmu sebagaimana engkau menutup amal burukmu.”
Salah satu contonya ialah Dawud bin Hindun yang menyembunyikan puasanya selama 40 tahun dari siapa pun termasuk keluarganya. Beliau merupakan seorang ulama tabi’in yang memiliki gudang rahasia kebaikan. Beliau bekerja sebagai penjahit. Setiap pagi ketika berangkat dari rumahnya, beliau selalu membawa bekal makanan yang telah dipersiapkan keluarganya. Namun, ketika sampai di pasar, makanannya beliau sedekahkan kepada orang-orang di pasar. Kemudian ia pulang pada sore hari, membeli makanan di pasar dan membawanya pulang ke rumah untuk dimakan bersama keluarganya dan berbuka puasa bersama. (Al-Hilyah, 3/94)
Kondisi itu baru diketahui oleh keluarganya dan orang-orang di pasar setelah beliau wafat. Beliau sangat pandai sekali menyembunyikan amal ibadahnya dari sorotan manusia. Gudang rahasia kebaikannya tertutup rapi tanpa diketahui banyak orang.
Baca jugahttps://narasipost.com/2021/09/10/amalmu-goresan-pena-kehidupanmu/ :
Duhai saudariku, sungguh Allah paling menyukai seseorang yang pandai menutupi amal ibadahnya. Semakin sedikit mata manusia yang tahu, maka semakin Allah menyukainya. Inilah salah satu sifat dari seorang manusia yang hanya berharap rida Allah semata bukan pujian manusia.
Kedua, memastikan setiap amalnya datang dari keikhlasan. Salah satu contohnya seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Mawardi. Beliau merupakan seorang ulama dan pemikir politik dalam Islam yang memiliki banyak karya buku. Saat beliau terbaring sakit, beliau memanggil salah satu sahabatnya dan berkata, “Saat aku mendekati kematian, tolong letakkan tanganmu di atas tanganku. Jika aku menggenggam tanganmu maka engkau bakar saja semua buku-buku karyaku. Aku khawatir ketika aku menuliskan semua buku itu, dalam hatiku masih menyimpan sedikit rasa tidak ikhlas. Tapi jika aku tak menggenggam tanganmu maka bagikanlah semua buku-bukuku untuk dimanfaatkan oleh banyak orang.”
Saat kematian Imam Al-Mawardi semakin dekat, sahabatnya lalu melakukan hal yang diminta oleh beliau. Ternyata Imam Al-mawardi tidak menggenggam tangannya, berarti pertanda semua buku-bukunya harus dibagikan kepada banyak orang agar bermanfaat. Masya Allah. Para ulama menyakini bahwa sesuatu yang tidak dari keikhlasan tidak akan bisa menembus hati.
Para ulama juga menghindari pujian dari manusia. Karena dengan pujian akan dapat merusak hati. Hati diibaratkan sebagai gelas-gelas kaca, maka hati mudah sekali retak jika diberi banyak pujian. Maka janganlah memuji seseorang di depannya, sebaiknya memujinya cukup di belakangnya saja.
Terakhir, sifat ketiga yaitu berusaha menghindari dosa karena Allah bukan karena manusia. Karena sebagian muslim masih ada yang berupaya menghindari dosa karena khawatir dilihat manusia. Padahal manusia tak bisa memberi pahala dan surga padanya. Ia berupaya saleh di depan manusia tapi merusak amalnya di hadapan Allah Swt. Astaghfirullah.
Semoga kita bisa menjauhkan diri dari berbagai benalu dalam keikhlasan. Hingga Allah layakkan kita mendapat kebaikan tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat, diganjar surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Aamiin.[]