"Indonesia bagaikan surganya para koruptor karena hukum kini tak lagi bertaji di bawah cagak para koruptor keji.Pemberian remisi untuk para koruptor salah satu bukti bobroknya hukum Indonesia"
Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Korupsi adalah suatu penyakit ganas yang telah menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia” (Selo Sumardjan)
Pemberian remisi kepada koruptor kelas kakap, Djoko Chandra, yang sempat buron selama 11 tahun telah mengonfirmasi bahwa negeri ini tak serius dalam pemberantasan korupsi. Hukum kini tak lagi bertaji di bawah cagak para koruptor keji. Tak aneh, sudah sejak lama Indonesia dikenal sebagai surganya para koruptor.
Sebagaimana diwartakan dari www.cnnindonesia.com, (20/08/2021) bahwa dalam rangka HUT RI ke-76 tahun, sejumlah remisi terhadap 214 narapidana kasus korupsi telah diberikan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Remisi pengurangan masa tahanan 210 orang, sedangkan remisi bebas 4 orang.
Publik patut mempertanyakan mengapa negara terus memberikan keringanan dan kelonggaran hukum kepada para koruptor? Alih-alih menimbulkan efek jera, yang ada justru mereka semakin kawakan mengerat uang rakyat. Lantas, hukuman apa yang mampu membuat jera para koruptor dan mencegah orang lain menjejaki profesi haram ini?
Bersembunyi di Balik Alibi
Bukan hanya masyarakat biasa, bahkan para pakar pun ikut bersuara menanggapi kebijakan ini. Misalnya saja Laode M Syarif, Mantan Pimpinan KPK yang menilai keputusan itu merusak image penegak hukum dan diduga melanggar PP No.28/2006 (www.news.detik.com). Namun, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Reynhard Silitonga menepis tuduhan itu. Dia berdalih, pemberian remisi ini merupakan bentuk apresiasi dan penghematan anggaran negara. Dengan remisi kepada 134.430 narapidana ini negara berhemat sekitar Rp205 miliar. Bahkan sah berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 2006, disebutkan bahwa narapidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi kejahatan terhadap keamanan negara dan hak asasi manusia berat serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya berhak mendapatkan remisi jika telah memenuhi dua syarat, yaitu berkelakuan baik dan mau bekerja sama dengan para penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi, serta telah menjalani sepertiga dari masa pidana. Juga telah melunasi denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan. (www.kompas.com, 21/08/2021)
Alasan tersebut tampak janggal, mengingat potret buram Joko Chandra yang telah melakukan tindak korupsi dalam kasus Bank Bali, setelah vonis dijatuhkan dia minggat dan sempat buron selama 11 tahun. Tak kapok, dia bahkan melakukan suap kepada penyelenggara negara di antaranya Jaksa Pinangki dan Irjen Napoleon Bonaparte agar bisa kembali ke Indonesia dengan nihil hukuman. Apakah ini yang disebut berkelakuan baik dan kooperatif?
Jika keadilan itu masih ada, seharusnya Joko Chandra dihukum lebih berat karena telah menghalangi proses hukuman dalam waktu lama. Bukan malah diapresiasi dengan pemberian remisi. Ini semakin membuktikan bahwa hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Potret Buram Korupsi dari Masa ke Masa
Secara historis, akar korupsi di Indonesia telah tumbuh berkembang dalam 3 fase sejarah. Pertama, fase zaman kerajaan. Literatur sejarah kerajaan nusantara semisal kerajaan Majapahit, Singosari, Mataram, Kutai dan lain-lain sarat dengan konflik kekuasaan dan motif untuk memperkaya diri. Adanya orang suruhan (abdi dalem) yang bersikap ‘asal bapak senang’ untuk menarik simpati Raja, merupakan embrio lahirnya kalangan oportunis yang berjiwa korup yang diwariskan pada generasi selanjutnya.
Kedua, fase zaman penjajahan. Praktik korupsi telah merasuki sistem sosial politik bangsa ini. Tabiat korupsi telah ditanamkan kompeni selama 3,5 abad. Caranya dengan mengangkat tokoh-tokoh pribumi untuk menjadi komprador. Mereka tega menarik upeti dan menindas sesama rakyat pribumi demi memuluskan kepentingan penjajah. Tak ubahnya seperti drakula sang penghisap darah, penjahat berdarah dingin yang tega memangsa kaumnya sendiri agar tetap survive.
Ketiga, fase zaman modern. Sejak penjajah hengkang dari negeri ini, Indonesia boleh saja dikatakan merdeka secara fisik, namun mentalitas kolonial sudah terlanjur mendarah daging pada bangsa ini. Sebut saja budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) masih langgeng hingga saat ini. Pola kepemimpinan yang otoriter dan anti kritik membuat praktik korupsi tumbuh subur dan merekah sepanjang zaman.
Korupsi Tumbuh Subur di Alam Demokrasi
Kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara memang sudah turun temurun. Terlebih sejak demokrasi bersemayam di negeri ini. Kasus korupsi tak pernah padam. Pasalnya demokrasi menjadi lahan gembur untuk budidaya korupsi. Mekanisme pemilihan pejabat yang bertele-tele dan berbelit, membuatnya mahal di ongkos. Bayangkan saja, biaya yang perlu disiapkan paslon yang mengikuti pilkada tidak kurang dari Rp1 miliar. Dengan biaya se-fantastis itu, mungkinkah tercover dengan merogoh kocek sendiri? Big no!
Akhirnya paslon mengemis dana pada pengusaha atau korporasi. Tentu saja hal tersebut bagai gayung bersambut. Inilah yang diinginkan korporasi. Memberikan uluran tangan bagi para paslon, dengan lobi-lobi politik. Di sinilah terciptanya budaya korupsi dan riswah yang mengakar. Pejabat terpilih terbenam dalam kubangan lumpur korupsi, bahkan bentuknya semakin canggih. Bukan sekadar korupsi uang, tapi juga korupsi kebijakan (politik transaksional). Korupsi uang dilancarkan untuk memperkaya diri dan keluarga demi membiayai gaya hidup bak sultan. Korupsi kebijakan dengan cara melegalisasi UU sesuai pesanan dan kepentingan korporasi, ini cara terbaik melunasi utang-utangnya di masa kampanye.
Indonesia sendiri sejak zaman orde lama hingga saat ini telah menerbitkan aneka peraturan perundangan-undangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Perdana pengesahan dimulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 tahun 1960 hingga Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, itu semua tak mampu menyurutkan tindak korupsi yang sudah telanjur mendarah daging. Bahkan pelemahan terhadap lembaga ini terus dilakukan dengan mendepak pegawainya yang idealis dan berprestasi dengan bola panas TWK dan memandulkan tupoksi kerja KPK melalui Undang-Undang. Bahkan mantan koruptor akan diganti istilahnya menjadi penyintas koruptor dan diberdayakan untuk menjadi penyuluh dan pemberi testimoni. Memalukan! Sungguh sistem demokrasi ini memang habitat asli dari para koruptor.
Persoalan korupsi memang bukan sekadar kebobrokan moralitas individu bangsa kita. Tapi ini erat kaitannya dengan sistem yang diberlakukan di negeri ini. Demokrasi merupakan metode baku untuk memuluskan hegemoni sistem kapitalisme di negeri ini. Sementara korporatokrasi yakni persekongkolan antara penguasa dengan pengusaha, sengaja dibuatkan panggung megah yang tak tersentuh hukum. Memelihara sistem kapitalisme-demokrasi sama dengan membudidayakan korupsi.
Khilafah Cegah dan Berantas Tindak Korupsi
Islam hadir di muka bumi dengan keparipurnaan aturannya. Islam bukan hanya dijadikan agama, tetapi juga ideologi. Ideologi Islam diadopsi oleh suatu sistem pemerintahan yang khas bernama Khilafah. Khilafah inilah yang menyatukan seluruh muslim dengan memberlakukan syariat Islam kafah dan mengemban dakwah di berbagai penjuru dunia. Walau demikian, warga negara khilafah tidak hanya muslim, tapi juga nonmuslim.
Korupsi dalam pandangan Islam, dianggap sebagai suatu kejahatan besar yang harus ditindak tegas. Oleh karena itu, Khilafah memiliki seperangkat aturan untuk mengantisipasi atau melibas pelanggaran ini, yakni:
Pertama, memberikan gaji yang memadai untuk memenuhi kebutuhan para pegawai dan tanggungannya. Agar mereka tidak merasa kekurangan dan mencari celah untuk mendulang harta haram dari korupsi. Sejatinya Khilafah akan memenuhi seluruh kebutuhan warga negara, baik itu pejabat atau pun rakyat biasa dengan mekanisme tidak langsung pada pemenuhan kebutuhan primer individu (sandang, pangan, dan papan) dan mekanisme langsung pada pemenuhan kebutuhan primer kolektif yakni menggratiskan biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Kedua, ketakwaan individu dan amanah menjadi syarat diangkatnya pejabat dan pegawai negara. Ini menjadi self control yang besar, karena akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Allah telah menegaskan dalam TQS. Al-Mukminun ayat 8 yang berbunyi: “Dan sungguh beruntung orang-orang yang memelihara amanat-amanat (melaksanakan kewajiban-kewajiban) dan janjinya (menepati janjinya baik kepada Allah maupun kepada manusia."
Ketiga, proses pengangkatan pejabat dan pegawai yang mudah, praktis, dan tidak berbelit. Sehingga tak berat di ongkos politik. Tidak perlu berkolaborasi dengan korporasi sehingga menghasilkan korporatokrasi. Para pejabat juga tidak diperkenankan berbisnis, agar aman dari politik kepentingan.
Keempat, membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Salah satu tugasnya adalah menghitung kekayaan sebelum dan sesudah menjabat. Bila terjadi penambahan harta yang tidak wajar, akan diusut tuntas dan ditindaklanjuti dengan instrumen hukum
Kelima, menindak tegas pelaku korupsi dengan beragam hukuman seperti stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta yang dikorupsi, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Tidak ada remisi (pengurangan hukuman) dalam Islam. Tidak semua pelanggaran mendapat vonis penjara. Namun, disesuaikan dengan jenis pelanggaran.
Khatimah
Persoalan korupsi akan terus menggerogoti negeri ini tanpa ampun. Sebelum hancur berkeping-keping, marilah kita selamatkan bumi pertiwi ini dengan mengenyahkan habitat asli korupsi yakni sistem kapitalisme yang mengagung-agungkan demokrasi. Hadirkan sistem Islam di bawah naungan Khilafah sebagai jawaban atas problematika yang tak kunjung teratasi.
Wallahu ‘alam bi ash-shawwab[]
Naskah yg mencerahkan, jadi tahu ada 3 fase korupsi yg tetjadi di negeri ini.