ASO : antara Urgensi dan Kepentingan Korporasi

"Tidak dimungkiri bahwa digitalisasi penyiaran amat dibutuhkan agar informasi segera dapat diperoleh dalam waktu yang singkat tanpa kendala dan negeri ini mampu bersaing di kancah internasional"

Oleh. Nay Beiskara
(Tim Redaksi NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com-Bagi dunia yang tengah memasuki era revolusi industri 4.0 ini, proses digitalisasi di berbagai lini merupakan sebuah keniscayaan. Kompas.com (19/12/2019) menekankan bahwa revolusi industri 4.0 yang berbasis komputerisasi ini akan mengubah banyak sektor dan aspek kehidupan manusia secara sistemik. Salah satu sektor yang dituntut untuk segera beralih adalah sektor penyiaran.

Kominfo melalui siaran persnya pada Minggu (6/6/2021) mewartakan bahwa Indonesia secara bertahap akan memberlakukan ASO (Analog Switch Off) atau penghentian penyiaran melalui televisi analog. Dengan kata lain, negeri berkembang ini akan memulai proses digitalisasi penyiarannya. Hal ini telah diatur melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran.

Tentu banyak pihak yang mempertanyakan mengapa kebijakan ini diambil pemerintah, apa manfaat dan urgensinya bagi masyarakat? Melihat saat ini kondisi negeri ini masih diselimuti wabah yang tidak tahu kapan akan lenyap dan secara ekonomi tak jua membaik, tapi sebaliknya justru kian terpuruk.

Manfaat dan Urgensitas ASO

Dalam lensa pemerintah, kebijakan ini diambil berdasarkan beberapa faktor yang telah dikaji. Pertama, ASO telah menjadi praktik umum secara global di dunia. Kedua, sebagai bentuk penerimaan usulan atau masukan dari lembaga penyiaran sendiri. Ketiga, pertimbangan kesiapan industri dalam negeri memasuki era revolusi industri 4.0. Keempat, adanya keterbatasan dari spektrum frekuensi radio.

Rencananya pemerintah akan melakukan digitalisasi televisi analog ini dalam lima tahap.Tahapan dimulai dari Agustus 2021 hingga paling lambat November 2022.(Kominfo.go.id, 16/6/2021)

Masyarakat luas tentu belum banyak yang mengetahui informasi ini. Apalagi pandemi saat ini cukup menyibukkan individu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primer mereka dan bertahan di tengah perekonomian yang kian pailit. Karena itu, pemerintah tak lupa untuk membahas bagaimana cara sosialisasi kebijakan ini pada masyarakat. Harapannya masyarakat mau menyambut baik migrasi ini dan mereka mulai membiasakan diri dengan televisi digital yang kaya manfaat.

Setidaknya ada lima manfaat yang disinyalir positif dari pemberlakukan ASO ini bagi masyarakat, menurut Ahmad M Ramli, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pertama, masyarakat dapat menyaksikan siaran televisi tanpa semut alias memiliki kualitas gambar yang lebih jernih, bersih, canggih dengan fitur yang interaktif. Kedua, lebih efisien dalam penggunaan pita frekuensi, sehingga sisa frekuensi dapat digunakan untuk layanan akses telekomunikasi berkualitas seluler 5G sebagai solusi defisit broadband. Ketiga, ASO dapat memperkokoh ideologi bangsa dan memperkuat nasionalisme dari diversifikasi program tayangan stasiun televisi lokal, terutama di wilayah perbatasan. Keempat, mendorong keberagaman konten pada industri penyiaran di dalam negeri, khususnya ketersediaan ruang untuk konten lokal. Kelima, ASO membuka peluang bagi industri pertelevisian untuk berkompetisi secara adil dalam playing field yang sama.

Melihat kelima manfaat di ataslah akhirnya kebijakan ASO ini hendak diwujudkan pemerintah. Staf Ahli Menteri Kominfo, Prof. Dr. Henri Subiakto menyatakan kebijakan ini harus disukseskan karena adanya penataan penggunaan frekuensi televisi analog ini akan menghasilkan digital devidend yang itu akan dikembalikan untuk kemaslahatan masyarakat.

ASO dan Kepentingan Korporasi

Sekilas langkah yang ditetapkan pemerintah ini baik untuk kepentingan masyarakat. Di satu sisi pemberlakuannya menjanjikan berbagai manfaat yang telah disampaikan di atas. Tapi di sisi lain, kebijakan ini nyatanya sungguh menguntungkan pihak korporasi.

Banyak dari anggota masyarakat yang belum memahami, kecuali yang peka dan jeli, akan bahaya yang terselubung dalam kebijakan ini. Tidak dimungkiri bahwa digitalisasi penyiaran amat dibutuhkan agar informasi segera dapat diperoleh dalam waktu yang singkat tanpa kendala dan negeri ini mampu bersaing di kancah internasional. Baik informasi yang sifatnya edukatif dari pemerintah ke masyarakat, masyarakat ke pemerintah, maupun antarmasyarakat. Tetapi, ada satu hal yang tidak boleh luput dari pantauan kita yakni terkait apa yang ada di balik kebijakan ini.

Bila kita mengikuti dan telusuri pemberitaan tentang migrasi televisi, ternyata kebijakan ini merupakan implementasi dari perundangan Cipta Kerja No. 11/2020 dalam bidang Postelsiar (Pos, Telekomunikasi, dan penyiaran) yang dua tahun lalu disahkan. Ada catatan menarik dari seorang pengamat media penyiaran, yakni Masduki, Dr.rer.soc, Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi UII. Beliau menyampaikan dalam tulisannya bahwa UU Cipta Kerja berpeluang besar mereduksi posisi penyiaran sebagai sebuah entitas media massa yang berperan mengelola konten yang sehat dan independen menjadi hanya sebatas entitas bisnis semata. Dimana masyarakat publik dipandang sebagai konsumen, bukan statusnya sebagai entitas sosial yang memiliki peran strategis dalam pemberdayaan dan kontrol sosial.

Adapun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pasca disahkannya UU Cipta Kerja hanya diposisikan sebagai 'regulator penggembira' saja. Hak review atas perizinan siaran tidak lagi disandang oleh lembaga ini. Terlebih lagi, di negeri ini pemilik stasiun televisi hanya didominasi oleh 12 kelompok. Penguasaan media oleh kelompok oligarki ini memungkinkan mereka menggunakan media penyiaran sebagai alat politik praktis. Sentralisasi dan monopoli kepemilikan media ini mengakibatkan penyiaran bukan lagi sebagai ruang bagi publik, tapi ruang bagi para konglomerat. Intinya adalah pemberlakuan kebijakan UU Cipta Kerja terkait penyiaran ini alih-alih bermanfaat bagi masyarakat, justru sebaliknya dapat menjadi jalan bagi korporasi untuk mencapai tujuan dan keuntungan materi. Bila tujuannya hanya keuntungan yang sifatnya materi, maka dapat dipastikan bahwa tujuan edukasi dengan memberikan konten yang baik dan bermanfaat tinggal wacana. Konten yang diproduksi akhirnya disesuaikan dengan selera masyarakat dan kepentingan korporat, bukan untuk tujuan mencerdaskan masyarakat. Apalagi, selama ini pemerintah lebih condong kepada pihak korporat daripada rakyat.

Alhasil, manfaat digitalisasi televisi yang dirasakan masyarakat hanya sebatas isapan jempol belaka. Sejatinya manfaat terbesar akan diraih oleh para pemodal yang bermain di sektor penyiaran ini. Belum lagi, mereka dapat menyisipkan ideologi mereka melalui konten-konten yang diproduksi. Alih-alih mampu memperkuat ideologi negeri, yang ada masyarakat akan semakin sekuler dan liberal.

Penyiaran dalam Islam

Negara di dalam Islam berperan dalam menyusun kebijakan yang terkait dengan penerangan atau penyiaran. Departemen yang membantu negara disebut sebagai Departemen Penerangan (Al-I'lam). Departemen ini berwenang untuk membuat kebijakan penerangan yang diperuntukkan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim.

Di dalam negeri, departemen ini bertujuan untuk membina dan mendidik masyarakat agar memiliki akidah yang kuat, lurus, dan bersih. Dengan kata lain, negara melalui departemen ini harus mampu menjaga akidah kaum muslim. Adapun ke luar negara Islam, lembaga ini harus mampu mewujudkan dakwah Islam, yakni menyiarkan Islam dalam segala kondisi (damai atau perang), menjelaskan kefasadan sistem-sistem di luar Islam, serta harus mampu memperlihatkan keagungan, kemuliaan, keadilan, dan ketangguhan militer Islam sebagai jalan menggetarkan musuh-musuh Islam. Karena itu, penyiaran atau penerangan merupakan perkara yang urgen bagi negara Islam dan dalam aktivitasnya menyebarkan dakwah ke seluruh alam.

Islam menjadikan media penyiaran sebagai jalan untuk sampainya tsaqofah Islam ke seluruh kaum muslim sebagai bentuk penjagaan terhadap akidah dan akhlak. Maka dari itu, konten-konten yang tidak sesuai dengan tsaqofah Islam akan diblokir dan tidak diizinkan untuk ditayangkan. Tidak seperti saat ini, dimana konten-konten yang mengarah pada pornografi dan pornoaksi masih dapat tayang hanya karena banyaknya permintaan. Media penyiaran dalam negara Islam benar-benar dikelola untuk kepentingan dakwah Islam dan kemaslahatan kaum muslim, tanpa ada tujuan yang bersifat komersil. Dengan begitu, negara mampu melindungi warganya dari konten-konten yang tidak sehat dan jauh dari Islam.

Sudah saatnya sistem penyiaran diatur sesuai dengan hukum Islam. Tapi, sistem penyiaran yang bertujuan islami ini takkan mampu terwujud tanpa adanya institusi Islam yang menerapkan Islam dalam setiap lini kehidupan, yakni Khilafah Islamiyyah. Karenanya, institusi ini harus segera ditegakkan kembali demi tercapainya penyiaran dan masyarakat yang islami. Wallahua'lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim NarasiPost.Com
Nay Beiskara Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Manusia Berkepala Batu
Next
Muda Membaca, Muda Mendunia
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram