"Program Vaksi adalah program menguntungkan, menambah pundi rupiah, menyejahterakan pengusaha, tapi membahayakan nyawa masyarakat. Padahal, kebijakan ini tidak boleh dilakukan di tengah kondisi yang jelas-jelas berbahaya."
Oleh: Uqie Nai
(Member AMK4)
NarasiPost.Com-Demi mendukung program satu juta vaksin per hari yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, baru-baru ini area wisata menjadi target vaksinasi. Di Cicalengka, Kabupaten Bandung, misalnya. Forum komunikasi di wilayah ini menginisiasi sebuah program bertajuk "Vaksi" atau Vaksinasi Asyik di tempat piknik. Upaya ini dimaksudkan untuk menarik warga mengikuti vaksin Covid-19 tanpa harus lelah mengantre. Sambil menunggu giliran, warga bisa menikmati objek wisata di alam terbuka. Untuk kelancaran program tersebut, pemerintah Kabupaten Bandung menyiapkan 122 tempat wisata sebagai sentra vaksinasi Covid-19. Sayangnya, pelaksanaan di lapangan tak semulus yang diharapkan. Bupati Bandung, yang akrab disapa Kang DS mengaku stok vaksin saat ini telah habis, padahal baru 11 persen dari warganya yang sudah vaksinasi secara penuh dan 39 persen lainnya baru mendapat dosis pertama.
Tak hanya menyiapkan tempat wisata, Kang DS juga mengaku telah menambah 800 tenaga kesehatan sebagai vaksinator. Tahap pertama, vaksinasi digelar di Cicalengka Dreamland dengan target 600 pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif. Upaya ini menurut Kang DS salah satu solusi positif bagi mereka yang berkecimpung di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. (liputan6.com, 29/7/2021)
Kapitalisme hanya Menyasar Manfaat, Tak Peduli Rakyat Sekarat
Pemerintah sepertinya tak bisa konsisten dengan aturannya menutup akses wisata, aturan yang disinyalir mampu memutus rantai penularan Covid-19, kini dibuka kembali. Alasan mendasarnya tentu bukan karena mempermudah vaksinasi, tapi mempermudah jalan pengusaha. Karena sebetulnya yang diperlukan adalah koordinasi secara terpusat, kebijakan serentak, direspon cepat, tanpa harus keluar dari lingkungan rumah. Bukankah pemilu dengan pilpres dan pilkadanya bisa dilakukan serentak?
Tak dipungkiri, wabah telah membawa perekonomian negeri ini kian aterpuruk. Banyak perusahaan gulung tikar, merumahkan hingga mem-PHK karyawannya, muncul orang miskin baru, kelaparan, dan kematian datang silih berganti. Bahkan saat diberlakukannya PPKM pun kondisi ini tak berubah, rakyat kecil dilarang berjualan, toko dan restoran dibatasi, tempat wisata ditutup, dan tak sedikit sikap arogan Satpol-PP merusak barang penjual saat didapati masih berdagang. Padahal, kondisi tersebut adalah ulah dari pemerintah sendiri, membuat aturan tapi tak diiringi pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Pariwisata memang termasuk salah satu pintu pemasukan negara. Maka wajar kiranya jika larangan berwisata dicabut dengan alasan klise. Intinya, program Vaksi adalah program menguntungkan, menambah pundi rupiah, menyejahterakan pengusaha, tapi membahayakan nyawa masyarakat. Padahal, kebijakan ini tidak boleh dilakukan di tengah kondisi yang jelas-jelas berbahaya.
Kaidah ushul fiqih menyebutkan: "Laa Dharara wa Laa Dhiraraa" (Tidak boleh membuat bahaya dan juga tidak boleh membahayakan). Alasan bahwa wisata bisa memicu orang berkerumun, penyebab penularan virus, serta munculnya klaster baru, tampaknya tak lagi diperhatikan jika materi begitu berharga dibanding nyawa manusia. Inilah sistem kapitalisme sekuler yang membentuk karakter pemimpin jauh dari tanggung jawab hakiki, yakni tanggung jawab mengatur urusan publik semata arahan syariat.
Kebijakan Tepat Hanya Datang dari Syariat
Dalam sistem pemerintahan Islam, vaksinasi bukanlah hal utama dilakukan negara saat terjadi wabah menular. Hal mendasar yang diupayakan negara adalah memisahkan segera pasien sakit dan sehat, memberikan pelayanan maksimal dan perlindungan optimal. Peristiwa ini pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab, yang disebut dengan Tha'un Amwas. Suatu penyakit menular yang belum pernah ada pada masa sebelumnya. Siapa saja yang terjangkit pagi hari, sorenya ditemukan meninggal, begitupun sebaliknya. Sore terjangkit, pagi harinya meninggal.
Rasulullah Saw. pernah bersabda tentang wabah ini:
"Thaun adalah (suatu penyakit menular) sebagai peringatan dari Allah Swt. untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka, apabila kalian mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kalian masuk ke tempat tersebut. Dan apabila wabah itu berjangkit di tempat kalian berada, maka janganlah kalian keluar dan melarikan diri." (HR. al Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid)
Dalam kondisi genting saat itu, Amru bin Ash mengatakan bahwa Tha'un ibarat api yang membakar jerami. Manusialah jerami yang dimaksud. Maka Amru bin Ash mengusulkan pada Khalifah Umar agar para penduduk segera menyebar ke bukit, gunung, dan tempat lain agar tidak berkerumun atau saling berdekatan. Tak dibiarkan pula siapa pun masuk dan keluar dari wilayah wabah.
Selama pemisahan tersebut, Khalifah Umar tak berdiam diri. Ia mengerahkan kas negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama lockdown hingga dipastikan kondisi masyarakat sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa. Upaya ini berhasil memutus rantai penularan secara cepat karena kesigapan Umar ra dalam mengeluarkan kebijakan sesuai syariat, yaitu sejalan dengan praktik yang dicontohkan Rasulullah ketika menghadapi wabah lepra.
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda:
"Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat." (HR.Bukhari-Muslim)
Adapun terkait vaksinasi (jika kondisi mengharuskan), negara akan mengerahkan tenaga ahli, memfasilitasi, mendanai, serta memastikan kandungannya aman sebelum diberikan kepada masyarakat. Semua itu menjadi bukti bahwa tanggung jawab negara benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.,
"Al-Imam itu adalah raa'in (pengurus/penggembala). Ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi tanggungannya (rakyat)." (HR. al-Bukhari)
Demikian seharusnya pemimpin saat ini melindungi warganya. Tak perlu bergonta-ganti kebijakan jika syariat telah mengajarkan. Seorang pemimpin tidak boleh tunduk pada intervensi asing semisal kapital dan korporat, tidak juga membahayakan serta menzalimi rakyat dengan aturan yang dibuat. Dia harus tunduk pada Zat yang Maha Mencukupi, Allah Azza wa Jalla dan takut pada Murka-Nya jika hawa nafsu dan keserakahan duniawi menjadi motif berkuasa. Pemimpin dengan karakter ini akan kembali ada di tengah manusia saat umat bersatu menegakkan syariah dalam bingkai institusi Islam kafah.
Wallahu a'lam bi ash Shawwab.[]