Generasi Emas Terkulai Lemas, Butuh Rekonstruksi Sistem yang Totalitas

"Pemenang pertama Challenge ke-4 NarasiPost.com dalam rubrik Opini "

Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.

NarasiPost.Com-Indonesia memiliki momen istimewa setiap tanggal 23 Juli, yakni peringatan Hari Anak Nasional (HAN). Tahun ini mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” dengan tagar #AnakPeduliMasaDepan. Dalam jangka panjang, Indonesia ingin menggapai target Generasi Emas tahun 2045. Namun, awan kelabu masih memayungi kawah pandemi yang semakin mengganas. Anak Indonesia dengan seabrek permasalahan, ditambah hantaman gelombang virus corona, semakin tak berdaya dan nyaris terenggut masa depannya. Kini perayaan HAN, dirasakan hanya selebrasi semata. Dilansir dari www.tribunnews.com, (23/07/2021) dalam peringatan Hari Anak Nasional 2021, Presiden Jokowi berpesan agar anak Indonesia tetap semangat belajar dan bergembira di masa pandemi.

Namun, kita dihadapkan pada suatu kenyataan pahit di antaranya terdapat 5.463 kasus kekerasan pada anak; bertambahnya orang miskin menjadi 27,54 juta orang termasuk anak; meningkatnya angka putus sekolah dikarenakan iuran SPP yang tak terbayar, bekerja, menikah, dan kecanduan game online (www.beritasatu.com, 06/03/2021).

HAN telah diperingati tidak kurang dari 36 kali terhitung sejak 1985. Namun, mengapa persoalan anak tak juga tersolusikan? Lantas, apa yang menjadi persoalan mendasar dari problem anak ini? Adakah langkah praktis untuk mewujudkan generasi cemerlang?

Negeri Tak Layak Anak

Indonesia mewadahi 270,20 juta jiwa penduduk. Sebanyak 33,4 persen dari populasi itu atau sekitar 83,4 juta jiwa adalah anak. Hal ini berikut bonus demografi yang akan dituai di masa yang akan datang merupakan potensi yang besar dalam mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030 dan Generasi Emas 2045. Negeri ini akan genap berusia 100 tahun pada tahun 2045. Target yang ingin dicapai adalah terwujudnya suatu generasi ideal yang siap menjadi lokomotif pembangunan bagi masyarakat dan negara dalam mengenyahkan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Namun sayang, batu sandungannya cukup besar. Terlebih dihadapkan pada pandemi yang tak berkesudahan ini.

Kini banyak anak mengalami kesulitan belajar, merasa lelah, stres dengan sistem pembelajaran daring; menurunnya tingkat kesehatan anak, sehingga banyak yang terpapar Covid-19 bahkan hingga meregang nyawa; merebaknya kasus kriminalitas yang dilakukan anak; gizi buruk yang menimbulkan stunting; pornografi; serta meroketnya kasus traficking. Namun, sejatinya bukan pandemi yang menjadi biang keladi kompleksitas anak. Karena sudah sejak lama, anak terjerembap pada kubangan lumpur nestapa. Sistem kehidupan sekularistik-kapitalistiklah yang menjadi induk balanya.

Sekularisme merupakan paham yang memisahkan antara agama dengan kehidupan, disinyalir memicu timbulnya kebebasan yang kebablasan. Ini merontokkan adab dan rasa kemanusiaan di benak insan, hingga anak menjadi bulan-bulanan. Kapitalisme memang yang bertanggung jawab atas curamnya jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Negara hanya memihak pada kepentingan konglomerat, tapi tak peduli pada kaum melarat. Inilah akibatnya ketika menyandarkan aturan pada nalar manusia. Lemahnya akal manusia, membuatnya ambyar dalam menyolusikan problem anak.

Anak dalam Kacamata Sekularisme-Kapitalisme

Lantas, bagaimana posisi anak dalam kacamata kapitalisme ini? Pertama, berdasarkan asas materialisme, anak dipandang sebagai aset keluarga dalam memperbaiki kondisi ekonomi dan meningkatkan status sosial keluarga di tengah masyarakat. Namun, tak jarang anak jualah yang menjadi pelampiasan hawa nafsu, baik melalui kekerasan fisik, verbal, bahkan seksual. Kehidupan yang semakin sempit dan sulit, menyulap orang tua dan orang-orang terdekat menjadi predator anak.

Kedua, bertumpu pada asas manfaat, anak merupakan mesin pencetak uang. Tak sedikit, anak yang dijadikan tulang punggung keluarga dalam menyambung hidup. Bahkan dunia industri pun ikut andil dalam mengeksploitasi potensi anak, sebagai buruh murah bahkan gratis. Dengan begini, mereka akan mendapatkan keuntungan berlipat dengan menyeret anak pada kerja berat. Begitu pula dengan dunia prostitusi, anak dijadikan objek seksual pemuas birahi lelaki hidung belang.

Ketiga, bertolak pada asas kebebasan, terjadi pengabaian hak mendasar anak sebagai manusia. Memalingkan anak dari fitrahnya, terutama hubungannya dengan sang Khalik. Mengiming-imingi kesenangan dunia sebagai tujuan hidup, sehingga terjerat pada arogansi manusia yang melupakan Rabb-nya.

Anak Istimewa dalam Timbangan Islam

Berbeda halnya dengan kapitalisme. Islam sebagai ideologi paripurna, disusun dengan rujukan wahyu Allah Swt semata, disampaikan pada lelaki pilihan nan mulia, Nabi Muhammad Saw. Ideologi ini memiliki konsep unik dan manusiawi berkaitan tentang anak, di antaranya:

Pertama, anak merupakan amanah dari Allah Swt. Oleh karena itu, pengasuhan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab terbesar orang tua kepada Rabb-nya. Menanamkan idrak shillah billah pada diri anak akan berbagai tingkah polahnya merupakan tugas utama orang tua kepada anak.

Kedua, anak merupakan aset umat. Anaklah yang menjadi penentu baik dan buruk sebuah generasi. Sehingga pendidikan anak tidaklah ditujukan demi kepentingan dirinya sendiri atau keluarga semata. Tetapi sejauh mana kontribusinya pada umat dan negara.

Ketiga, anak pembentuk peradaban mulia. Hanya generasi tangguh yang mampu memikul tanggung jawab pengelolaan hidup bermasyarakat dan bernegara di dunia.

Keempat, anak merupakan calon pemimpin di masa yang akan datang. Orang tua bertanggung jawab dalam membangun individu yang bertakwa dan berkepribadian Islam yaitu memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Sebagaimana Rasulullah Saw yang piawai dalam menjalankan berbagai amanah yang ditanggungnya sebagai suami, ayah, nabi dan rasul, serta kepala negara. Begitu pula para ummul mukminin, yang trengginas memangku multiperan sebagai istri, ibu, sekaligus muslimah negarawan.

Bukan hanya itu, Islam pun menetapkan hak-hak anak yang mesti diperolehnya, yaitu hak hidup, hak nafkah, hak untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan, hak pengasuhan, hak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Itu semua wajib dipenuhi orang tua dan negara. Oleh karena itu, untuk menyolusikan problem anak haruslah mengakar hingga ke persoalan mendasar dan tidak parsial. Butuh kebijakan yang terintegrasi, konsisten dan tidak menimbulkan masalah baru. Negara bertanggung jawab penuh dalam penanganan baik dalam skala individu, masyarakat, negara.

Khilafah Mewujudkan Generasi Cemerlang

Kesempurnaan Islam dalam menyolusikan persoalan anak, hanya sekadar wacana jika tak diadopsi oleh negara. Khilafah satu-satunya institusi yang mampu merealisasikan itu semua. Dengan komitmennya untuk memimpin kaum muslim sedunia dengan penerapan syariat Islam dan mengibarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia di bawah panji Laailaaha illallah. Lantas, bagaimana langkah praktis Khilafah dalam menyolusikan problem anak sekaligus mewujudkan generasi cemerlang?

Khilafah menjamin kesejahteraan individu per individu, bukan kolektif apalagi hitungan matematis belaka di atas kertas. Anak-anak fokus pada pengembangan diri, tidak terlibat dalam menanggung beban manusia dewasa. Sebaliknya, orang dewasalah yang fokus menanggung kebutuhan anak-anaknya.

Khilafah menjamin pendidikan dengan cara memberikan perhatian kepada pendidikan dan pendidik (orang tua dan guru), mewajibkan pendidikan sejak mulai rahim akan disemai hingga kematian datang sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Saw, sehingga akan membuahkan hasil didikan yang baik, benar, dan berguna bagi dirinya, keluarganya dan sesama. Lalu terwujud generasi gemilang dan cemerlang yang mengukir sejarah dengan tinta emas.Kaum muslim di masanya terbukti pernah menjadi inspirator dan motivator berabad-abad silam.

Khilafah mengatur sistem kontrol sosial. Masyarakat yang bertakwa akan senantiasa mengontrol lingkungannya, memastikan individu tidak melakukan pelanggaran dan menjaga pergaulan sosial agar sesuai syariat. Karena itu, suasana keimanan akan tumbuh mengakar di tengah umat seiring dengan meluasnya berbagai kajian agama secara umum. Budaya amar makruf nahi mungkar semakin bersemayam. Khilafah mengatur media massa. Media bebas menyajikan informasi, namun tak boleh lepas dari upaya mengedukasi, memayungi akidah dan kemuliaan akhlak, serta menebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Media yang memuat pornografi, kekerasan, LGBT, dan segala yang merusak akhlak dan agama, dilarang untuk terbit dan diberikan sanksi yang menjerai pelaku pelanggaran.
Khilafah memberlakukan sistem sanksi yang tegas terhadap para penganiaya anak. Hukuman bagi pemerkosa, 100 kali cambukan jika masih bujang, dan dirajam bila sudah menikah. Penyodomi dibunuh. Pembunuh anak akan dikisas bunuh, atau membayar diat 100 ekor unta atau 1000 dinar, atau jika dikonversi saat ini mencapai 4 miliar rupiah. Diat anggota tubuh anak sama dengan diat orang dewasa.

Dalam sebuah hadis An-Nasa’i, Rasulullah memerinci diat dari setiap anggota tubuh yang rusak akibat penganiayaan. Di antaranya satu mata 50 ekor unta, begitu pula telinga dan bibir. Bahkan satu gigi pun terkena diat 5 ekor unta senilai 100 juta rupiah. Termasuk melukai kemaluan anak kecil melalui pemerkosaan, dikenai 1/3 dari 100 ekor unta ditambah hukuman zina. (Abdurrahman Al-Maliki, 1990, hal 214-238)

Khatimah

Berbagai yuridiksi yang diterapkan negara akan mampu memberikan perlindungan utuh dan kesejahteraan hakiki bagi anak-anak. Khilafah adalah model peradaban Islam yang layak anak. Sudah sepantasnya diberikan panggung untuk eksis kembali dalam kancah dunia. Problem anak tuntas dalam genggaman Khilafah. Keberkahan hidup akan tumpah ruah. Generasi gemilang dan cemerlang bukan sekadar romantisme sejarah, tapi kenyataan indah dambaan insan bermarwah.

Ingatlah janji Allah Swt. dalam QS. Al-Araf ayat 96: “Andai penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) sehingga Kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Bandwagon Effect Melanda Dunia, Saatnya Milenial Muslim Jadi Trendsetter Kebaikan Penegak Peradaban Islam
Next
Agar Toxic People Tidak Mewabah, Dunia Mesti Berbenah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram