"Kelemahan mendasar dari sistem demokrasi sekuler adalah tidak adanya ketakutan dari pemimpin kepada Tuhannya atau pertanggungjawaban di akhirat nanti. Hal ini membuka peluang besar bagi pemimpin terjerumus dalam sikap tiran. "
(Abdul Kareem Newell : Akuntabilitas Negara Khilafah, 2011. PTI h. 67-68)
Oleh: Rindyanti Septiana S.H.I
(Pengamat Sosial dan Politik)
NarasiPost.Com-Apakah rakyat patut bersyukur atau tidak dengan instruksi Presiden Jokowi kepada Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, untuk menurukan harga tes PCR? Sebab sebelumnya media nasional masif memberitakan harga PCR di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan beberapa negara lain. Hal yang biasa dalam negeri demokrasi, akan lebih mudah mengubah kebijakan jika ada suara “berisik” dari para netizen yang masif.
Jokowi pun meminta Menkes menurukan harga tes PCR pada kisaran harga Rp450.000- Rp550.000. (cnbcindonesia.com, 15/8/2021)
Senangkah rakyat dengan kebijakan menurunkan harga tes Covid? Ternyata perubahan harga tes Covid tak memberi dampak positif yang signifikan di tengah masyarakat. Karena pada kenyataanya, masih banyak lembaga kesehatan yang melakukan tes Covid dengan harga di atas Rp900.000 melebih tarif batas yang ditetapkan pemerintah. Sementara itu, Tjandra Yoga, mantan Direktur WHO Asia Tenggara menilai pemerintah jangan buru-buru menetapkan tarif batas tertinggi tes PCR. Harus dilihat terlebih dahulu berapa ongkos pajaknya, berapa modal, dan besaran keuntungannya. (cnbcindonesia.com, 15/8/2021)
Beginilah cara berpikir kapitalis dalam menentukan kebijakan, harus dilihat dulu untung dan ruginya. Bukan memastikan apakah kebijakan tersebut, memudahkan atau menyulitkan rakyatnya.
Sepertinya penguasa dalam demokrasi sedang memainkan perasaan rakyat dengan mencoba menurunkan harga tes Covid di tengah pandemi. Menurunkan harga bukanlah solusi untuk memudahkan rakyat memastikan kondisi kesehatan mereka. Seharusnya menggratiskannya, sebab telah menjadi tanggung jawab penuh bagi negara menjamin kesehatan rakyat.
Absennya Penguasa Demokrasi Saat Pandemi
Bukti hadirnya pemerintah dalam menyolusi pandemi salah satunya lewat penjaminan secara menyeluruh fasilitas kesehatan. Seperti yang disampaikan oleh Trubus Rahardiansyah, seorang pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, harusnya digratiskan, semua biaya ditanggung pemerintah. (tirto.id, 19/3/2020) Hal ini sejalan dengan UU no.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU Kesehatan.
Tapi mengapa justru masalah biaya tes Covid dan kesehatan lainnya tetap ditanggung rakyat saat pandemi? Sebab, penguasanya berusaha menutup mata, bagi mereka menurunkan harga tes Covid dianggap bentuk kepedulian tertinggi pada rakyat. Padahal ini menjadi salah satu gambaran jelas bagi rakyat absennya penguasa demokrasi saat pandemi.
Anehnya, penguasa masih bisa bicara di depan publik mengatakan mereka menambah utang lagi demi membantu rakyat yang kesulitan saat pandemi. Sementara subsidi dan alokasi keuangan negara tidak dianggarkan untuk menggratiskan biaya tes Covid. Satria Aji Imawan, pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, menyarankan pemerintah untuk menganggarkan dana lewat Kementerian Kesehatan untuk menggratiskan biaya tes Covid. (tirto,19/3/2020)
Tapi rakyat telah biasa menelan pahit dan getirnya hidup dalam kepemimpinan demokrasi. Hingga slogan “No Free Lunch” dalam demokrasi cukup dipahami oleh rakyat. Tak ada makan siang gratis dalam sistem demokrasi kapitalis. Kalau mau gratisan katanya tidak di sini, maka kerja, kerja,kerja. Cari uang, jangan maunya dikasih gratisan terus, akhirnya rakyat manja dan tak mandiri. Pandai sekali para punggawa negara berucap hingga tak ada celah untuk menyalahkan semua kebijakan mereka.
Bisa Gratis Tapi Merugi
Sebenarnya siapa yang diuntungkan dengan mahalnya harga tes Covid di negeri ini? Pemerintah, rumah sakit atau pengusaha yang bekerja sama dengan oknum pejabat untuk meraup untung lewat tes Covid? Jika peran pemerintah tidak lemah menyolusi pandemi tentu menggratiskan tes bukan hal yang sulit.
Tapi lagi-lagi, di kepala para pejabat negara ialah tidak mau merugi dengan menggratiskan sesuatu. Kesempatan “emas” di saat pandemi mendulang keuntungan. Bukannya hati nurani penguasa demokrasi telah lama mati hingga tak bisa lagi peduli dengan rakyatnya? Dibuktikan dengan berbagai kebijakan yang diputuskan selama berkuasa, tak ada satu pun yang menyejahterakan.
Sementara Korea Selatan, Singapura, dan Cina telah menggratiskan biaya pemeriksaan. Hingga berdampak baik bagi Cina karena mampu menurunkan angka kasus baru karena Covid. Pemerintah Cina sendiri menganggarkan 110 miliar yuan untuk perawatan, bagi staf dan perlengkapan medis. Menurut pengakuan Profesor Dirk Pfeiffer (Jockey Club College of Veterinary Medicine and Life Sciences), menggratiskan biaya tes merupakan salah satu faktor Cina berhasil menekan angka penderita Corona. (tirto.19/3/2020)
Maka dapat kita ketahui, bahwa menggratiskan biaya tes bisa dilakukan oleh negara. Tapi bagi mereka hal ini justru akan merugikan, karena akan banyak uang yang harus digelontorkan. Bagaimana mereka bisa menikmati hidup berlimpah uang kalau bukan saat mereka sedang berkuasa?
Mau Kesehatan Gratis? Khilafah Saja
Dalam Islam, Khalifah menjalankan hukum Allah dan bertanggung jawab kepada Allah atas kepemimpinannya. Selama Khalifah berkuasa maka tak ada alasan untuk tidak memenuhi segala kebutuhan rakyatnya termasuk kesehatan, apalagi kesehatan merupakan salah satu kebutuhan rakyat yang vital.
Mencari keuntungan di tengah kesulitan rakyat mengakses kesehatan bukanlah sikap yang dimiliki para pejabat dalam Khilafah. Sebagaimana yang disampaikan Umar saat dibaiat sebagai Khalifah. Ia menangis dengan beratnya beban yang harus dipikul mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah. Umar menuliskan surat kepada para pejabat di bawahnya,”…dengan segala yang diujikan ini, aku sangat takut akan datangnya penghisaban yang sulit dan pertanyaan yang susah, kecuali apa yang dimaafkan Allah Swt.." (Syeikh Muhammad Khudari Bek, Negara Khilafah, PTI 2013 h.290)
Jika umat telah jengah dan menderita dengan berbagai kebijakan dalam demokrasi kapitalis sebaiknya mengganti sistem ini beralih pada sistem Islam.
Abdul Kareem Newell pernah mengatakan bahwa kelemahan mendasar dari sistem demokrasi sekuler adalah tidak adanya ketakutan dari pemimpin kepada Tuhannya atau pertanggungjawaban di akhirat nanti. Hal ini membuka peluang besar bagi pemimpin terjerumus dalam sikap tiran. (Akuntabilitas Negara Khilafah, 2011. PTI h. 67-68)
Mau kesehatan gratis, ya Khilafah aja. Dalam Khilafah fasilitas kesehatan telah dijamin oleh Khalifah. Hal ini telah dibuktikan saat Khilafah memimpin peradaban Dunia selama 1400 tahun. Bahkan Rasulullah Saw pernah mendatangkan dokter untuk mengobayi Ubay. Saat itu Nabi mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi rakyat. (HR.Muslim)
Hendaknya penguasa muslim mengingat kembali hadis Rasul Saw, bahwa “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[]