Wantimpres selama ini tidak terlihat nyata lantaran hanya memberikan nasihat kepada presiden dan itu pun belum tentu dilaksanakan. Ditambah lagi penyusunan RUU Wantimpres yang super cepat, semakin mengenduskan aroma bagi-bagi jabatan.
Oleh. Miladiah al-Qibthiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hai, Ganks. Kalau bicara soal politik rasanya bukan ranah remaja, ya. Remaja biasanya hanya membahas yang mudah-mudah atau ringan-ringan saja. Apalagi kalo sudah bahas dunia politik dalam negeri, pasti bikin bosan. Menonton beritanya saja sudah malas duluan, apalagi membaca beritanya. Akan tetapi, Ganks, mengetahui seputar politik dalam negeri sebenarnya ada manfaatnya juga. Kita bisa tahu bagaimana negara dalam mengurus urusan masyarakatnya, berpartisipasi dalam mengoreksi kebijakan yang sekiranya tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Jangan pernah antipolitik, ya, Ganks, karena ini berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat. Seperti berita tentang Wantimpres katanya bakal kembali menjadi DPA jelang pelantikan Prabowo. Mungkin kamu bertanya Wantimpres dan DPA itu apa sih? Oke deh, aku spill dulu tentang wantimpres dan DPA, ya, serta urgensinya dalam pemerintahan negara Indonesia.
Wantimpres dan DPA
Dewan pertimbangan presiden disingkat Wantimpres, ia berkedudukan di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas Wantimpres adalah untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara (wantimpres.go.id). Lebih sederhananya penasihat presiden.
Sementara DPA memiliki kepanjangan Dewan Pertimbangan Agung adalah lembaga tinggi negara Indonesia yang menurut UUD 45 sebelum diamandemen berfungsi memberi masukan atau pertimbangan kepada presiden. DPA berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah (Wikipedia).
Sudah tergambar ya, Ganks, tentang Wantimpres dan DPA. Nah, di laman BBC News Indonesia, dikatakan bahwa DPR merevisi Undang-Undang tentang Wantimpres, sehingga posisinya bakal kembali menjadi DPA dicurigai oleh pakar hukum tata negara sebagai upaya "bagi-bagi jatah jabatan" kepada rekan koalisi presiden terpilih Prabowo saat Pilpres 2024 lalu. Menurutnya, peran dan fungsi Wantimpres selama ini tidak terlihat nyata lantaran hanya memberikan nasihat kepada presiden dan nasihat itu belum tentu dilaksanakan.
Pergeseran Makna Politik
Jadi, yang ingin aku bahas adalah tentang bagi-bagi jabatan itu. Nah lo, kalau seperti ini, jangan salahkan rakyat jika selalu bersuuzan kepada pemerintah. Sudah jadi rahasia umum ritme perpolitikan pemegang kekuasaan ada kemiripan dengan para pemegang kekuasaan yang sebelumnya ada. Hal ini bisa dinilai dari sejumlah pendukung yang mulai ditempatkan di jajaran petinggi pemerintahan. Praktik politik semacam ini bahkan dikritisi oleh pengamat maupun aktivis.
Berarti, Ganks, politik yang sebenarnya memiliki makna mengurusi dan mengayomi urusan-urusan rakyat bergeser akibat adanya politik balas budi, atau istilah kerennya adalah politik transaksional. Politik transaksional itu adalah ketika seorang atasan memberikan imbalan atas kinerja bawahannya. Pertanyaannya adalah mengapa muncul istilah politik balas budi atau politik transaksional dalam negara demokrasi? Karena dua hal inilah yang menjadi “spirit” berjalannya sistem politik di Indonesia.
https://narasipost.com/opini/07/2024/demokrasi-harapan-kosong/
Kalau gak ada spirit ini, yakin saja mereka tidak akan mau memenangkan dan menyukseskan pemimpin yang diusungnya pada pemilihan umum. Jadi sedikit tergambar ya, Ganks, bahwa politik dalam negara demokrasi hanya dinilai dari seberapa banyak manfaat dan materi yang akan didapatkan. Lalu urusan dan kepentingan rakyat? Ya di nomor sekian, karena memang rakyat bukan menjadi prioritas utamanya dalam berpolitik.
Ini bukan asumsi, tetapi sudah banyak bukti berseliweran ketika pemerintah menetapkan dan mengeluarkan kebijakan, pasti tidak pernah memperhatikan kebijakan itu membawa maslahat untuk rakyat atau justru menzalimi rakyat. Sebagai contoh, tentang Pulau Rempang, investasi, impor pangan dan daging, perpanjangan izin PT Freeport, BBM, layanan kesehatan yang mahal, pajak, dan masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang pada faktanya mencekik rakyat.
Jadi benar apa yang dikatakan oleh pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, bahwa peran dan fungsi Wantimpres selama ini tidak terlihat nyata lantaran hanya memberikan nasihat kepada presiden dan itu pun belum tentu dilaksanakan. Ditambah lagi dengan penyusunan RUU Wantimpres yang super cepat, hanya satu hari, Ganks, semakin mengenduskan aroma bagi-bagi jabatan tadi.
Dian Puji Simatupang yang merupakan pakar hukum administrasi negara juga menganggap bahwa keberadaan Wantimpres ini tidak berdaya guna, sebab nasihat atau pertimbangan yang mereka sampaikan belum tentu diterima atau diakomodir Presiden. Dian Puji makin menegaskan bahwa kerja Wantimpres hanya memberikan nasihat, tetapi jumlah anggotanya berjibun, buat apa? Bukankah menambah beban APBN, padahal jamak diketahui bahwa anggaran itu dikeluarkan harus berbasis kinerja.
Wantimpres: Tak Ada Urgensi
Jadi, Ganks, bisa kita tarik kesimpulan dari pendapat para pakar hukum bahwa revisi UU Wantimpres menjadi DPA tidak ada urgensinya sama sekali. Ditambah lagi DPR juga menambah jumlah anggota, maka hal itu tak ubahnya upaya bagi-bagi jabatan kepada rekan koalisi presiden terpilih, yaitu Prabowo Subianto.
Berkaca dari lembaga penasihat yang dibentuk oleh Joko Widodo, seperti Kantor Staf Presiden (KSP), Wantimpres, dan tujuh milenial Staf Khusus Presiden, artinya 'kan presiden sebenarnya tidak kekurangan penasihat. Malah yang terlihat keberadaan mereka justru tak ada gunanya dan bisa dipastikan hanya membuang-buang anggaran negara. Betul, tidak?
Sudah lumrah dalam sistem demokrasi, siapa pun yang berada di lembaga negara, maka mereka akan menerima hak keuangan serta fasilitas lainnya dan itu setara dengan yang diberikan kepada menteri negara.
Luar biasa, ya, Ganks, permainan politik dalam sistem demokrasi. Bagaimana negara bisa maju, kalau yang dipikirkan hanya memakmurkan segelintir orang?
Politik dalam Islam
Kalau dalam sistem politik demokrasi ada istilah bagi-bagi "kue" jabatan, maka tidak dalam sistem politik Islam, Ganks. Kalau dalam sistem politik demokrasi menyejahterakan segelintir orang, maka tidak dengan Islam. Mengapa terkesan kontras? Karena politik dalam Islam menetapkan kekuasaan itu sebagai sebuah amanah yang harus dijalankan dengan sungguh-sungguh sesuai pedoman baku. Selain itu, amanah ini akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir.
Kekuasaan dalam Islam senantiasa bergandengan dengan ketaatan pada Sang Pemilik Kehidupan. Oleh karena itu, ketika kita melihat potret kepemimpinan Rasulullah saw., khulafaurasyidin, serta para khalifah setelahnya, akan kita jumpai sosok-sosok pemimpin negara yang beriman dan bertakwa. Bahkan tidak pernah kita temukan dalam sejarah tentang para penguasa Islam yang mengejar jabatan hanya untuk memperkaya diri dan golongannya.
Di benak mereka hanya rida Allah semata, sebab Sang Penguasa Langit dan Bumi mencintai pemimpin-pemimpin yang amanah dan adil. Sebaliknya, Dia sangat membenci pemimpin yang zalim, seperti output pemimpin dalam negara demokrasi hari ini. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dari Abu Said al-Khudri ra.,
“Sesungguhnya manusia yang paling Allah cintai dan paling dekat kedudukannya dari-Nya pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil. Dan manusia yang paling Allah murkai dan paling jauh kedudukannya dari-Nya adalah pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi)
Islam juga menegaskan bahwa amanah itu harus diserahkan pada ahlinya, yang memang mereka memiliki kapabilitas tinggi dalam meriayah negara dan masyarakatnya. Hal ini diungkapkan dalam sebuah hadis Rasulullah saw. yang berbunyi,
“Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanah itu?” Nabi saw. menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Al-Bukhari)
Jadi jelas, ya, Ganks, bahwa sebuah jabatan itu harus dipahami urgensinya apa, tugas dan fungsinya seperti apa, agar tidak terkesan buang-buang anggaran, atau seperti tadi bagi-bagi jabatan sekadar imbalan dari atasan ke bawahan. Yang paling penting adalah jabatan itu harus dipegang oleh orang yang amanah dan kapabel, agar tujuan politik yang sesungguhnya itu tercapai, yakni menyejahterakan masyarakat.
So, saatnya kita perjuangkan apa yang menjadi hak rakyat. Kita perjuangkan tegaknya sistem politik Islam yang memberikan kemaslahatan bagi rakyat dan seluruh alam, agar Allah rida dengan keberadaan kita sebagai manusia yang menjunjung tinggi sistem kehidupan yang berasal dari-Nya.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Sudah Ngak heran sih Mbak Mila kalau politik hari ini, habis naik jadi presiden saatnya bagi-bagi kursi jabatan. Begitu lah sistem hari ini, maka ngak aneh kalau penguasa saat ini hanya berorientasi pada diri sendiri, lawong dasar untuk menjadi pemimpin bukan yang jujur, adil, dan amanah. Tapi uang.
Kalau baca naskah dari tim redaksi selain dapat pencerahan politik juga pencerahan bgm menulis yg benar,, tulisan mbak mila keren, mengajari tapi tidak menggurui,, nah lo ngerti nd maksud sy hehe
Tubuh pemerintahan dalam sistem demokrasi sengaja dibuat gemuk karena para pejabatnya adalah mereka yang mencari uang dari rakyat. Bukan dengan semangat melayani rakyat.
Sepertinya sudah jadi rahasia umum kalau bagi-bagi jabatan harus dilakukan sebagai balas budi politik. Nah, gak heran pula kalau postur pemerintahan jadi gendut. Duh ...
Barakallah Mbak Mila.