Kurva pandemi di Indonesia kian hari kian naik tajam tak terkendali. Pilkada serentak ini, bahkan disinyalir akan menjadi kluster baru paling mengerikan, mengingat banyaknya masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada nanti.
By : Siti Ningrum
NarasiPost.Com-Menghitung hari. Sebentar lagi pilkada akan digelar serentak yakni tanggal 09 Desember 2020. Sebuah perhelatan untuk memperebutkan kursi empuk dan panas. Padahal coronavirus belum hengkang, dan terus mengintai dari hari ke hari. Korban kian bertambah, seharusnya menjadi sebuah pertimbangan, bukan malah diabaikan.
Menolak lupa. Masih lekat ingatan ini, tentang peristiwa beberapa tahun yang lalu. Sebuah perhelatan yang banyak memakan korban, dalam rangka memperebutkan kekuasaan. Mirisnya korban bukan hanya satu atau dua orang, namun ratusan hingga mendekati angka seribu. Fantastis, sekaligus mengerikan. Demi menurutkan hawa nafsunya, terkadang manusia berlaku aneh. Berburu menuju tampuk kekuasaan, meninggalkan rasa kemanusiaan. Bahkan, mereka rela mengorbankan apa pun. Sungguh di luar akal sehat.
Perhelatan demokrasi, tetap akan digelar serentak. Padahal banyak yang menginginkan pilkada kali ini ditunda. Mengingat, tahun 2020 ini adalah tahun musibah. Di mana, dunia sedang dilanda coronavirus. Apalagi di Indonesia, kurva pandemi kian hari kian naik tajam tak terkendali. Pilkada serentak ini, bahkan disinyalir akan menjadi kluster baru paling mengerikan, mengingat banyaknya masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada nanti.
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Arief Budiman mengatakan sudah ada 60 calon kepala daerah yang terpapar. Sebelumnya sudah tercatat tiga orang kepala daerah meninggal dunia, akibat covid-19 pada tanggal 5 Oktober 2020. Pada bulan November, calon kepala daerah yang terinfeksi bertambah 10 orang. Total menjadi 70 orang, diantaranya 4 orang meninggal dunia. Sungguh sangat mengerikan, perhelatan pun belum dimulai, namun telah banyak memakan korban (27/11/20).
Makin jelas dan nyata dalam sistem kapitalisme rakyat bukanlah tujuan utamanya. Melainkan, hanya sebagai tumbal dalam menuju tampuk kekuasaan. Saatnya mencampakkan sistem yang telah nyata rusak dan menyengsarakan rakyatnya sendiri, terbukti dengan ketidakpeduliannya terhadap sebuah nyawa. Berbanding terbalik dengan sistem Islam, nyawa satu orang saja begitu berharganya, bila dibandingkan dengan dunia dan se-isinya.[]