"Ya Allah, aku bukanlah manusia hebat yang bisa berdiri kokoh menahan terjangan meteor kehidupanku. Kakiku sudah tidak mampu menopangku bertahan di rumah ini. Hatiku sudah hancur dan lelah memahami kebencian mereka. Izinkan aku melangkah dari tempat ini untuk mengubah nasibku. Tapi kumohon, jangan bisikkan dalam hatiku arti sebuah kebencian dan balas dendamku untuk mereka karena ada aliran darah yang sama denganku."
Oleh. Andrea Aussie
(Pemred NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tertegun kuberdiri di depan rumah tua ini. Tatapanku nanar dan bayang-bayang masa lalu berkelebat mencoba mendobrak memori usang yang kucoba tutup rapat.
21 tahun bukan waktu sebentar. Pelarian panjang semata untuk menata hatiku agar tidak terluka lagi. Luka yang teramat dalam bagaikan genangan air mata darah yang tiada surut. Hingga batas kesabaranku berontak agar aku harus lari meninggalkan rumah ini dengan serpihan hati dan jiwa yang terburai.
Di rumah tua ini, begitu banyak kenangan hitam mewarnai perjalanan hidupku. Siksaan raga dan jiwa bagaikan selimut kehidupanku. Menempaku menjadi wanita tegar.
Masa kecilku tidaklah terlalu menyenangkan. Disaat teman sebayaku bermain petak umpet justru aku sibuk dalam irama kerja rodiku. Menyabit rumput, gembala kambing, mengairi sawah-sawah, mengambil kayu bakar dari hutan, membersihkan rumah, toilet, dan sebagainya.
Pekerjaan kasar terbiasa kulakukan. Tubuhku yang ringkih sudah terbiasa menerima pukulan dan cambukan untuk menerima pelampiasan penghuni keluarga itu. Salah nggak salah akulah yang jadi kambing hitamnya.
Hal yang paling membekas dalam penyiksaan itu saat wajahku dilempar dengan ember berukuran 20 cm, sehingga beberapa gigiku rontok dan wajahku lebam kebiruan hanya karena kambing gembalaanku jatuh ke kolam.
Pernah juga rambutku digundulin saat terlelap tidur gara-gara pisang Ambon seikat ada yang memakan. Mereka menuduhku memakan pisang itu. Walaupun mati-matian aku membela diri tapi tetap saja tidak ada gunanya. Kejadian itu juga menyebabkan aku membenci makan pisang Ambon karena mengingatkanku pada peristiwa buruk.
Terkadang aku ingin berontak penuh kemarahan akan nasibku. Aku sedih, kecewa, dan benci kenapa aku dilahirkan hanya untuk menerima penderitaan panjang dan diperlakukan seperti budak belian oleh mereka. Aku tidak pernah protes saat jatah makanku hanya sekepal nasi putih dengan satu kerupuk putih. Aku juga tidak pernah marah saat tubuhku terbiasa memakai baju bekas. Aku hanya marah karena aku tidak pernah tahu siapa orang tua kandungku yang seharusnya melindungiku. Marah, karena sejak usia 6 tahun aku harus menerima penderitaan fisik dan psikis.
Semarah apa pun diriku hanya mampu meneteskan air mata tanpa terucap sepatah kata. Semua kegelisahanku, kesedihanku sering kutumpahkan dalam kertas-kertas usang sisa buku yang kudapat dari warung tetanggaku. Kemarahanku reda tatkala sosok wanita yang biasa kupanggil “Bu Siti” memberi nasihat dan mengelus rambutku.
Sosok wanita yang sempat merawatku sejak lahir hingga usia 6 tahun di gubug reyotnya. Diusiaku 6 tahun, dia membawaku ke sebuah keluarga yang cukup kaya di kotaku dengan alasan bahwa dia akan pergi kerja ke Jakarta. Dia hanya berpesan bahwa aku akan bisa mengenyam pendidikan di sekolah jika berada di keluarga ini.
"Tetesan air matamu tidak akan membunuhmu namun justru menyembuhkanmu. Rasa sakit yang kamu terima tidak akan menghancurkanmu justru membuatmu makin tangguh. Tak apa kau menangis dan maafkanlah mereka. Bangkit melanjutkan hidupmu seperti mentari yang selalu menyinari semata tanpa keluhan. Ingatlah, banyak orang sukses berasal dari kehidupan mereka yang menderita. Mereka berani mengubah dunia dengan mendobrak pendidikan. Maka teruslah belajar. Jangan berhenti sekolah karena itu jalan terbaik meraih mimpimu walaupun kamu harus menahan kerikil kehidupan. Yakinlah, suatu hari kamu akan jadi mentari bagi mereka bahkan untuk orang-orang yang membutuhkanmu. Roda kehidupan akan terus berputar. Ingat itu !” Itulah kata-kata yang sering diucapkan Ibu Siti.
Ya, sekolah!
Itulah yang menjadi alasanku bertahan berada di rumah itu walaupun hampir tiap hari aku menerima kekejaman penghuninya.
Waktu terus berlalu. Puncak penyiksaan terhadapku terjadi saat menginjak masa SMP. Sebuah tendangan di perut menyebabkan diriku pingsan dan dokter melakukan operasi darurat karena ada kerusakan pada ususku. Saat di RS itulah rahasia identitasku terbongkar. Dokter membutuhkan donor darah yang sama denganku dan ternyata aliran darahku sama dengan anggota keluarga tersebut. Aku ternyata salah satu anak kandung mereka No. 3 yang diberikan kepada salah satu pembantunya sejak bayi hingga usia 6 tahun. Mereka menolak mengakuiku karena salah satu organ tubuhku cacat, Kecacatan tubuhku dianggap pembawa sial dan mempermalukan keluarga tersebut.
Perih menghujam bagaikan kilatan pedang menyayat hatiku saat mengetahui siapa diriku ini. Seolah dunia terasa hancur saat kutahu bahwa ada aliran darah yang sama dengan mereka yang sering menyiksaku. Aku berusaha menolaknya dan menyadarkan diri bahwa aku tetaplah budak belian yang tetap mengabdi kepada mereka.
Sering kali dalam tahajud malam diiringi genangan air mata, aku meminta kemurahan-Nya.
“Ya Allah, jika memang aku bagian dari mereka maka bukalah hati mereka untuk menerimaku. Jika hati mereka tetap tertutup, maka jadikanlah aku sebagai bintang yang mampu menyinari kegelapan di sekitarku. Jadikan aku bintang di lingkungan orang-orang baik yang mencintaiku dan menerimaku apa adanya.”
Sejak identitasku terbuka, aku sudah tidak diizinkan lagi pergi ke sekolah. Kerja rodiku makin berat dan aku sering mengiba agar di izinkan lagi pergi ke sekolah. SMPN 1 adalah sekolah tempat para siswa/ siswi paling cerdas yang khusus dikirim oleh masing-masing SD di kotaku dan aku bersekolah di sana.
Rasa frustasi dan kerinduanku untuk kembali sekolah membuatku berani berkirim surat ke presiden Suharto dan Mentri P&K Fuad Hasan. Aku hanya menulis kalau aku ingin sekali sekolah dan meraih cita-citaku menjadi seorang dokter namun aku tidak memiliki biaya karena aku hanya penggembala kambing, mengurus sawah, dan kebun.
Tidak kusangka kalau Mentri Fuad Hasan membalas suratku tersebut. Staf kabupaten kotaku mencariku dan mengatakan bahwa aku boleh sekolah dengan gratis sampai lulus SMA dengan syarat aku harus menjadi juara kelas.
Aku menangis bahagia. Binar-binar sekolah menari-nari di benakku. Kuciumi berkali-kali surat jawaban Mentri Fuad Hasan seolah harta yang tiada tara. Aku berjanji akan terus giat belajar menjadi juara kelas di SMP dan SMA kelak walaupun aku tahu selama SD aku selalu menjadi juara umum.
Kembali ke sekolah adalah hal yang paling membahagiakanku. Bagiku sekolah adalah tempat teraman dan terindah. Aku tidak pernah malu memakai sepatu jelek dengan bolong-bolong di bawahnya dan kaos kaki yang kusam. Aku juga tidak peduli kalau baju seragamku sudah usang karena bekas orang lain. Aku hanya ingin meraih ilmu pengetahuan sebanyak mungkin selama sekolah.
Bukankah Rasululllah saw. pernah bersabda seperti yang termaktub dalam hadis Muslim No. 2699 yang berbunyi: "Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah Swt. akan memudahkan baginya jalan menuju surga."
Bahkan Allah Swt. mengingatkan dalam Firman-Nya dalam QS. Al-Mujadilah [58]: 11
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.””
Terkadang aku mengerjakan PR dari sekolahku sambil menggembala kambing-kambing di sawah. Sering juga kutaruh buku-buku pelajaran di bawah rumput yang sudah kusabit untuk kubaca ulang saat pergi ke sawah. Aku memang tidak punya waktu khusus untuk belajar di rumah karena banyak kerja rodiku yang harus selesai pada waktu itu juga. Jadi aku harus pintar menyiasati waktu belajarku.
Masa SMA mulai merasakan pergolakan batin. Aku mulai jenuh dan malu dengan pekerjaan kasarku terutama menggembala kambing. Aku mulai menyukai kegiatan Bhayangkara, menekuni dunia sastra, bekerja mencari uang di pabrik minuman sepulang sekolah dan menjual lukisanku. Kegiatanku tersebut makin membuat mereka marah dan berkali-kali mengusirku dari rumah tersebut. Entah berapa kali aku makan makanan dari tempat sampah hanya untuk menutup perut yang keroncongan tatkala aku sedang diusir.
Aku selalu kembali ke rumah itu dan bersedia tubuhku dicambuk dengan harapan bisa menyelesaikan sekolahku. Hingga akhirnya tubuhku sudah tidak kuat lagi menerima hukuman mereka. Kakiku sudah tidak mampu lagi bertahan di rumah itu. Air mataku sudah kering untuk berderai, pualam hatiku sudah hancur berkeping dan jiwaku bergejolak bahwa aku harus segera meninggalkan rumah itu.
Malam itu, dalam tahajudku terakhir di rumah itu. Dalam tangisku yang tersekat, aku bersimpuh dalam mihrab-Nya. "Ya Allah, aku bukanlah manusia hebat yang bisa berdiri kokoh menahan terjangan meteor kehidupanku. Kakiku sudah tidak mampu menopangku bertahan di rumah ini. Hatiku sudah hancur dan lelah memahami kebencian mereka. Izinkan aku melangkah dari tempat ini untuk mengubah nasibku. Tapi kumohon, jangan bisikkan dalam hatiku arti sebuah kebencian dan balas dendamku untuk mereka karena ada aliran darah yang sama denganku."
Hanya berbekal 2 stel pakaianku dan tas punggung berisi dokumen untuk kuliah, kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah itu dan menemui sahabatku di Jakarta memulai petualangan hidupku di belahan dunia. Kuyakinkan diriku bahwa aku bisa meraih impianku dan membuktikan kepada mereka bahwa aku bukan orang gila yang bisa menjadi mentari untuk menyinari kegelapan. Aku yakin akan Firman-Nya dalam Al-Qur’an Ar-Rad ayat 11 bahwa,
"Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
“Drea, kapan datang?” sebuah tepukan lembut di bahuku membuyarkan lamunanku.
“Oh, Pak Haji. Kemarin Pak Haji. Gimana kabar Pak Haji sekeluarga?” kataku terkejut. Pak Haji Madkim salah satu tetanggaku yang dulu sering menolongku di saat aku kelaparan.
“Kami semua baik, Drea! Cukup lama ya kamu tidak pulang ke Indonesia. Kamu pulang dengan suamimu?”
“Iya Pak Haji, lebih dari 21 tahun. Suamiku ada di rumah sepupuku.”
Kami terdiam membisu, mencoba menata helaan napas. Tatapan mata kembali tertuju ke rumah tua itu.
“Rumah ini banyak kenangan pahit untukmu ya, Drea! Sepeninggal almarhumah ibumu, rumah ini diwariskan kepada adikmu oleh ayahmu. Semua saudaramu sudah mendapatkan warisan dari ayahmu, kecuali kamu. Apakah kepulanganmu untuk menuntut hak warismu?”
“Saya tidak ada niat secuilpun menuntut harta warisan tersebut. Saya selalu bersyukur dengan apa pun yang saya miliki saat ini, Pak Haji. Bagi saya tidak selamanya harta bisa membuat hidup seseorang bahagia, tapi kebahagiaan akan tercipta saat harta kita bisa berbagi dengan yang membutuhkan dan membuat senyuman mereka.”
“Kamu ternyata sudah menjadi Mentari sesuai janjimu, Drea !” ucap Pak Haji Madkim dengan senyum terkembang.
Aku tersenyum dan kami kembali menatap rumah tua itu.
(To Be Countinue )
Double Bay, 25 Agustus 2022[]
Photo : Pinterest
Sedih banget langsung nangis. Ini cerita yg bikin kuat. Thanks
Maasyaalah kisahnya menyedihkan, berliku, dan penuh perjuangan. Kata-katanya indah tersusun rap mengalir membuat yang membacanya seolah-olah mengalami.
Saya melihat linknya di tulisan salah satu tulisan penulis inti NP
Semoga Allah Swt. selalu merahmati Mom Andrea sekeluarga. Aamiin.
MasyaAllah mom kamu wanita kuat dan tangguh, proses perjalanan hidupmu telah menjadikan mu bintang yang bersinar saat ini..dimana keindahannya bisa membawa rasa bahagia bagi orng yang melihatnya.. terimakasih momm sudah berbagi kisah hidupmu, kisah hidup mu juga mengajarkan ku untuk menjadi pribadi yang lebih bersyukur.
Setiap hujan yang datang akan menampilkan langit yang lebih cerah jua mentari yang menghangatkan..kini kau telah menjadi mentari yang menghangatkan dinginnya kalbu-kalbu insan tak hanya di sekelilingmu, namun juga kami yang belum pernah bersua denganmu dengan kesabaran dan kebulatan tekadmu dulu ..we love you Bu Andrea..
Subhanallah.. it can’t be describe by words. Now, you found the trully happiness at last Mom ❤️
Subhanallah... it can’t be described by words. Now, you found the trully happiness at last Mom ❤️
Masya Allah
Kapten yang hebat tidak akan tercipta dari ombak yang tenang.
Sungguh kisah luar biasa ngilu rasanya membacanya. Aku jadi teringat sahabatku yang jg mengalami luka batin, maut hampir menjemputnya, depresi dan amnesia, semua luka justru ditorehkan orang terdekat yg dipercayainya. Beruntung Allah selamatkan dia dg iman yg tersisa. Kemudian bertemu para sahabat2nya dlm sebuah perjuangan. Betapa ujian kesabaran sangat mengerikan diawal berakhir indah di akhirnnya. Seperti dirimu yang kini yg telah menjadi "Bintang Dunia" Kini sahabatku juga telah bahagia bersama orang2 yang saling mencintai karena Allah.
Ini kisah yang sama dengan sahabatku.
Dan aku tempat curahan hatinya.
Ya Allah...semoga tak ada lagi yang merasakan kepedihan seperti ini .
Aamiin ya rabbal'alamin.
Masyaallah ... ujian menjadi jalan bagi Allah untuk menaikkan derajat manusia. Dan ujian berat itu Allah berikan kepada sesiapa yang dianggap mampu memikulnya.
Barakallah, Mom. Semoga keberkahan selalu menyertai harta, umur, dan hidup Mom.
Lope yu ❤
Ya Allah, sebuah kisah yang mengharu-biru.
Badai pasti berlalu, insyaallah sekarang jadi orang yang menebar kebaikan dengan memberi wadah bagi para pegiat literasi untuk berdakwah. Semoga pahala terus mengalir walaupun kelak sudah tidak ada lagi di dunia ini. Bravo Mom!.
Semua luka di masa silam, pertanda Allah mencintaimu.
Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda: 'Jika Allah mencintai seorang hamba, maka dia akan mencobanya dengan cobaan yang tidak ada obatnya. Jika dia sabar, maka Allah memilihnya dan jika dia ridho, maka Allah menjadikannya pilihan. '
Tersenyumlah karena akan selalu ada pelangi setelah hujan.
Maa syaa Allah, tempaan derita sedemikian rupa tak pernah terbayang adalah bagian hidup penulis. Sabar menjalani takdir sambil tak lepas ikhtiar dan tentunya dengan doa, itulah yang menjadikan penulis menjadi pribadi seperti saat sekarang.
Doa yang tulus, semoga Allah senantiasa melimpahi keberkahan, kesehatan. Bahagia dengan keluarga. Terus menorehkan karya yang menjadi pahala tanpa batas.
Masya Allah, perjalanan hidup yang penuh pelajaran berharga. Salut dengan kesabaran, kekuatan niat untuk mengubah hidup dengan meninggalkan rumah. Upaya keras mewujudkan impian menjadi menteri berbuah manis. Allah Maha Tahu dan Adil.
Jazakumullah Khoiron sudah berbagi story. Semoga senantiasa menjadi menteri bagi umat. Menebarkan senyum banyak orang