Kompetisi teknologi digital negara adidaya hari ini hanya mengukuhkan hegemoni suatu bangsa atas bangsa lain. Sebaliknya, umat Islam cenderung terjajah tanpa penguasaan teknologi.
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kehadiran ChatGPT dari OpenAI pada akhir tahun lalu menyentak dunia dengan kemampuannya dalam merespons bahasa laiknya manusia. ChatGPT merupakan model bahasa besar (large language model) yang dikembangkan oleh OpenAI dan paling canggih di dunia. Chatbot ini digunakan untuk berbagai aplikasi, seperti menjawab pertanyaan layaknya manusia, menghasilkan teks, menerjemahkan bahasa, dan menulis berbagai jenis konten kreatif.
Seiring dengan meningkatnya penggunaan ChatGPT, pendapatan yang diraih OpenAI pun bertambah pesat. Dilansir oleh infokomputer.grid.id (1/9/2023), dari 540 juta dolar yang diinvestasikan dalam mengembangkan ChatGPT, keuntungan yang akan didapat pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 1 miliar dolar atau sekitar 15,2 triliun rupiah. Untung besar yang diraup tentu membuat ngiler siapa saja. Ibarat kue, layanan obrolan berbasis AI ini belum terbagi-bagi, masih utuh dinikmati OpenAI. Sontak saja, para raksasa perusahaan teknologi digital pun tanpa dikomando berlomba-lomba membuat aplikasi serupa. Semua dilakukan bukan semata demi menjadi yang tercanggih, paling bermanfaat, dan digemari, tetapi teraihnya gunungan laba.
Salah satu negara yang turut terjun dalam persaingan aplikasi berbasis kecerdasan buatan atau AI (artificial intelligence) ini adalah Cina. Sebagai negara yang memberlakukan banyak pembatasan dan penyensoran atas website dan aplikasi asing sejak 2010 (Great Firewall), Cina tentu saja melarang ChatGPT hadir di negaranya. Tidak itu saja, pemerintah Cina menginstruksikan kepada Tencent Holdings dan Ant Group dari Alibaba Holdings untuk tidak menawarkan akses layanan ChatGPT di platform milik mereka. Cina juga memerintahkan pada setiap perusahaan teknologi digital untuk berkonsultasi terlebih dulu kepada pemerintah sebelum merilis layanan obrolan berbasis AI. (cnbcindonesia.com, 23/2/2023)
Seperti yang sudah-sudah, larangan Cina ini mengisyaratkan bahwa mereka akan membuat yang serupa. Benar saja, pada Maret 2023 lalu, Baidu sebagai raksasa perusahaan teknologi digital Cina merilis ERNIE (Enhanced Representation Through Knowledge Integration) Bot. Saat itu, ERNIE Bot hanya diperuntukkan bagi kalangan terbatas yaitu untuk membantu perusahaan-perusahaan domestik. Namun, pada Kamis, 31 Juli 2023, Cina mengizinkan ERNIE Bot bisa diakses sebagian fiturnya oleh masyarakat luas yang memiliki nomor seluler Cina. Kehadiran ERNIE Bot resmi menjadi penantang ChatGPT. (voaindonesia.com, 1/9/2023)
Nah, dari sini, penting bagi kita untuk mencari tahu akar masalah persaingan layanan obrolan berbasis AI ini.Berikutnya adalah mencari tahu posisi kaum muslimin ada di mana? Dari pembahasan ini akan diketahui pula urgensikehadiran Khilafah sebagai perisai umat dan pemimpin peradaban.
Menelisik Akar Masalah Cina Saingi ChatGPT
Cina adalah negara yang menjalankan sistem komunis secara politik. Hal ini tercermin dari konstitusinya yang menyatakan bahwa Partai Komunis Tiongkok (PKT) adalah partai yang berkuasa dan memimpin negara. Partai ini memiliki kontrol penuh atas seluruh aspek kehidupan politik dan sosial di Cina, seperti pemantauan aktivitas warga baik luring maupun daring, penangkapan dan penahanan aktivis, serta pengendalian media. PKT juga aktif memblokir akses internet ke situs-situs yang dianggap berbahaya atau subversif, seperti situs-situs yang mengkritik pemerintah atau menyebarkan informasi yang tidak diinginkan oleh pemerintah. Di negara ini, Google, YouTube, Facebook, Twitter, Microsoft, bahkan WhatsApp terkategori sebagai platform yang diblokir. Sebagai gantinya, pemerintah membuka peluang bagi pihak swasta untuk membuat aplikasi pengganti, seperti Baidu pengganti Google, Weibo pengganti Facebook dan Twitter, dan Youku Tudou untuk menggantikan YouTube.
Akan tetapi, secara ekonomi, Cina adalah negara yang mengadopsi sistem kapitalisme. Terhitung sejak tahun 1978, Cina telah mengadopsi sistem ekonomi ini di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Tata kelola perekonomian Cina ini bisa dilihat dari mekanisme pasar bebas yang diterapkan pemerintah. Demikian pula dengan pemberian kewenangan yang besar kepada para pengusaha atau pihak swasta. Sistem ekonomi Cina juga sangat terbuka dan dinamis, tidak seperti sistem ekonomi komunisme yang terpusat pada kebijakan pemerintah.
Dengan dualisme ideologi ini, dari sisi politik, Cina akan memandang Amerika Serikat sebagai musuh bebuyutan yang harus “ditaklukkan” dan Cina akan “maju” sebagai memimpin dunia. Ambisi Cina ini merata di seluruh sektor, termasuk teknologi digital. Dengan teknologi chatbot AI besutannya yang diklaim lebih canggih dari ChatGPT, Cina dapat memantau dan mengontrol dunia, serta menyebarkan propagandanya. Sepertinya, Cina tidak akan takut dengan tekanan militer Amerika. Dari sisi ekonomi, teknologi digital telah menjadi salah satu sektor strategis yang dapat memberikan keuntungan kompetitif. Oleh karena itu, tidak heran bila Cina juga berlomba-lomba untuk mengembangkan teknologi digital, termasuk chatbot AI. Pemenang persaingan ini berpeluang memimpin perekonomian global.
Usaha Cina untuk menjadi pemenang persaingan chatbot AI tidak main-main. Cina banyak menginvestasikan dananya dalam penelitian dan pengembangan chatbot AI. Dengan kondisi ini, perusahaan-perusahaan Cina untuk mengembangkan model bahasa yang semakin besar dan kompleks.
Pemerintah Cina aktif menjalin kerja sama dengan para pelaku industri teknologi digital untuk mengembangkan chatbot AI. Dengan kerja sama ini, memungkinkan Cina untuk memanfaatkan kekuatan komputasi dan data dari perusahaan-perusahaan teknologi tersebut. Salah satu hasilnya adalah dirilisnya ERNIE Bot.https://narasipost.com/opini/04/2022/industri-militer-masa-depan-berbasiskan-teknologi-ai-dan-iot-berisiko/
Persaingan layanan obrolan AI antara kedua negara ini merupakan representasi dari pertarungan dua ideologi. Persaingan chatbot AI antara negara-negara ini dapat menimbulkan sejumlah dampak, baik positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah peningkatan inovasi dan pengembangan teknologi digital. Dampak negatifnya adalah terjadinya penyalahgunaan teknologi chatbot AI.
Potensi Peluang dan Ancaman Chatbot AI
Teknologi berbasis kecerdasan buatan bukanlah segalanya. Ia hanyalah salah satu bentuk teknologi yang digunakan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Teknologi ini masih akan terus berkembang. Sampai saat ini, chatbot AI harus menghadapi tantangan dari sisi akurasi dan keamanan data. Masa-masa pengembangan chatbot AI dapat menyebabkan kesalahan dalam memahami bahasa manusia yang berakibat pada salahnya informasi yang diberikan atau jawaban tidak relevan. Oleh karena itu, chatbot AI masih harus banyak dilatih agar potensi ancamannya dapat diminimalkan dan potensi peluangnya dapat ditingkatkan. Berikut ini adalah potensi ancaman dan peluang penggunaan chatbot AI.
Pertama, potensi ancaman. Potensi ancaman chatbot berbasis AI adalah terjadinya penyalahgunaan teknologi tersebut. chatbot AI dapat dipergunakan untuk menyebarkan informasi yang salah dan menyesatkan. Teknologi ini dapat dipergunakan oleh orang-orang yang berniat jahat untuk melakukan penipuan demi keuntungan pribadi. Selain itu, chatbot juga dapat digunakan untuk memantau dan mengumpulkan data pribadi pengguna tanpa sepengetahuan pengguna. Ancaman lainnya adalah masifnya PHK karena perusahaan mengganti tenaga kerjanya dengan AI.
Kedua, potensi peluang. chatbot berbasis AI memiliki potensi untuk memberikan sejumlah manfaat, antara lain sebagai upaya efisiensi dan efektivitas perusahaan. Perusahaan tidak perlu lagi mempekerjakan banyak karyawan, tetapi cukup menggunakan teknologi berbasis AI. Perusahaan dapat melayani pelanggan selama 24 jam nonstop dengan AI. Demikian pula dengan ide-ide pengembangan produk baru yang dapat dihasilkan oleh AI. Dengan peluang yang demikian menggiurkan ini, kehadiran chatbot AI sangat ditunggu-tunggu oleh para pengusaha. Mereka dapat melakukan efisiensi tenaga kerja demi keuntungan yang semakin besar.
Ribut Gajah Sesama Gajah, Pelanduk Mati di Tengah-tengah
Ribut-ribut persaingan chatbot AI tercanggih, di mana posisi negeri-negeri muslim? Mengapa sama sekali tidak terdengar suaranya? Jawaban pertanyaan ini bisa diwakili oleh peribahasa lama, gajah berjuang melawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Negara besar berjuang menjadi pemenang, negeri muslim “mati” diinjak-injak.
Negara-negara besar mengemban ideologi masing-masing, berusaha menjadi negara adidaya, dan berupaya mendominasi dunia di berbagai sisi kehidupan, termasuk teknologi chatbot AI. Sebaliknya, kaum muslimin yang hidup di negeri-negeri muslim menjadi objek penderita. Negeri-negeri yang melepas Islam kaffah sebagai dasar negara dan sumber aturan dalam kehidupan ini serupa layang-layang. Mereka hanya menuruti para pemegang kendali, sesekali ditarik, sebentar kemudian diulur, dibiarkan mengudara terbawa angin, diadu dengan sesamanya, lalu dibiarkan terempas kalah. Negeri-negeri muslim dimanfaatkan sana sini dengan iming-iming limpahan dunia bagi penguasanya. Sebaliknya, rakyatnya menjadi ladang pemasaran.
Di dalam benak para pemimpinnya sama sekali tidak ada keinginan menguasai teknologi demi kemaslahatan kaum muslimin, apalagi hasrat untuk memimpin dunia dengan Islam. Mungkin mereka lupa bahwa Allah Swt. berfirman di dalam surah Al-Hadid ayat ke-25 yang artinya, “Kami ciptakan juga besi yang memiliki kekuatan hebat dan memiliki banyak manfaat. Semua itu agar manusia dapat mempergunakannya dan supaya Allah dapat mengetahui siapa yang menolong agama-Nya dan rasul-rasul-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Buya Hamka menjelaskan dalam kitab Tafsir Al-Azhar juz 9, penggalan ayat tentang besi ini sebagai isyarat bahwa Allah tidak menghalangi kemajuan teknologi. Di dalam ayat juga dijelaskan oleh Allah Swt. tentang manfaat besi yang begitu banyak dan semua ini menyangkut pemanfaatan teknologi.
Urgensi Khilafah dalam Penguasaan Teknologi
Dalam sejarah panjang peradaban dunia, ratusan tahun kaum muslimin menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan peletak dasar teknologi AI ini adalah seorang ilmuwan muslim. Dia adalah Abu Abdullah Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi. Ilmuwan Muslim yang lahir di Khwarezmia, Uzbekistan sekitar tahun 780 M. Al-Khawarizmi menulis beberapa buku tentang matematika, termasuk Al-Jabr wa Al-Muqabilah, yang merupakan buku pertama yang membahas tentang algoritma. Dalam buku ini, Al-Khawarizmi memperkenalkan metode penyelesaian persamaan linier dan kuadrat. Metode ini kemudian dikenal sebagai metode al-Khawarizmi atau metode algoritma. Kini, metode algoritma dari Al-Khawarizmi dipergunakan untuk mengembangkan AI. Algoritma AI adalah sekumpulan instruksi yang digunakan oleh sistem AI untuk menyelesaikan tugas tertentu, termasuk pembelajaran mesin, pemrosesan bahasa alami, dan pengenalan pola.
Jika hari ini, kaum muslimin yang tersebar ke dalam banyak negara bangsa (nation states) sebatas menjadi penonton dan menunggu “mati” akibat perseteruan negara besar, sungguh ironis dan menyedihkan. Oleh karena itu, kehadiran Khilafah sebagai satu-satunya institusi yang menerapkan Islam sangat urgen. Khilafah akan mampu bersaing bahkan menjadi pemimpin dalam persaingan teknologi digital dunia.
Khilafah akan merancang strategi-strategi jitu demi mengembalikan kedigdayaan Islam di kancah internasional. Strategi itu dimulai dari merancang sistem pendidikan yang komprehensif dan visioner, membangun sarana prasarana penelitian dan pengembangan, serta membangun sistem perindustrian berbasis militer yang mandiri sebagai upaya memenuhi kemaslahatan umat. Semua ini dibiayai oleh Khilafah tanpa melibatkan pihak swasta. Khilafah akan memanfaatkan pos harta milik umum dengan sebaik-baiknya.
Dengan Khilafah, kaum muslimin terbebas dari dominasi perseteruan teknologi digital asing. Sebaliknya, kaum muslimin akan sejahtera sebab teknologi digital dipergunakan untuk meraih sebesar-besarnya kemaslahatan umat.
Wallahu a’lam bishawab. []
Sistem kapitalisme hanya akan menjadi tempat pertarungan bagi negara-negara besar, termasuk bersaing dalam sains dan teknologi. Sedangkan negara yang lemah termasuk negeri muslim hanya menjadi objek jajahan yang tidak mampu membalas.
Selama umat Islam masih manut pada negara-negara pengemban kapitalisme, mereka hanya akan menjadi penonton sekaligus pasar yang sangat menguntungkan bagi negara-negara kapitalis tersebut.
Beginilah nasib umat Islam tanpa Khilafah. Negara kafir berlomba dalam teknologi digital tetapi kita hanya terdiam bahkan terombang-ambing sesuai kebutuhan kapitalis.
Teknologi dalam sistem yang tepat akan membawa maslahat. Itu hanya bisa dengan Islam kaffah
Kapitalisme menjadikan teknologi untuk meraih keuntungan semata, bukan untuk kemaslahatan manusia. Tanpa Khilafah, kaum muslim hanya menjadi objek negara2 adidaya, dan tidak pernah tampil sebagai pelaku pencetus teknologi.
Ribut gajah dengan gajah, Palanduk mati di tengah-tengah. Sepakat.
Sangat berbeda dgn bagaimana Islam memandang dan memanfatkan teknologi.
Barakallah untuk penulis.
Bayangkan gajah berkerumun dengan pelanduk di tengah2 sj sudah horor. Apalagi gajahnya ribut. Ya Allah, memprihatinkan sekali umat Islam ini
Watak kapitalisme, di mana ada keuntungan di situ ada persaingan. Beda dengan Islam. Kecanggihan teknologi memang penting bagi umat Islam tapi bukan digunakan untuk mencari keuntungan melainkan untuk kemaslahatan umat dan menjadi negara adidaya.
Kedua sistem kehidupan ini ibarat langit dan bumi. Sangat berbeda. Yg satu sangat merusak semata mengejar keuntungan, sementara Islam sangat menjaga Krn mengejar kemaslahatan dan keridhoan Allah SWT
Masyaallah tabarakallah mba Haifa naskahnya keren mencerahkan, ternyata jauh sebelum peradaban Barat mendominasi justru peradaban Islam dan para ilmuwannya sebagai peletak dasar teknologi dan berbagai penemuan keilmuan lainnya.
Di sini saya merasa sedih. Bagaimana bisa peletak dasar teknologinya Islam, tetapi yang mengembangkan justru kapitalisme yang rawan diselewengkan pada hal2 negatif. Krn tatanan sistem ini, semuanya serba boleh selama keuntungan teraih