Polisi yang seharusnya menjadi bagian dari institusi negara berfungsi menjamin keamanan, ketertiban, dan kestabilan, malah dimanfaatkan penguasa untuk menjaga kepentingan oligarki.
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Berita mengejutkan datang dari Solok Selatan, terjadi penembakan oleh Kepala Bagian Operasi AKP Dadang Iskandar kepada rekannya, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan AKP Ulil Ryanto Ansar. Korban tewas setelah ditembak dari jarak dekat dengan dua kali tembakan pada bagian kepala. Peristiwa sadis ini terjadi pada Jumat (22/11) sekitar pukul 00.43 WIB. di halaman Mapolres Solok Selatan, Sumatera Barat.
Diwartakan detik.com (22-11-2024), kejadian diduga dipicu oleh tindakan AKP Ulil Ryanto Ansar yang menangkap pelaku penambang ilegal. AKP Dadang Iskandar yang seharusnya membantu upaya penertiban ini malah tidak senang, lantas nekat menghabisi nyawa rekan sejawatnya.
Sulit Diberantas
Solok Selatan terkenal sebagai daerah yang kaya dengan sumber daya alam hingga dijuluki Bukit Emas. Kandungan emas banyak ditemukan di hampir setiap bukit di wilayah tersebut. Selain penambangan emas, terdapat juga pertambangan galian C.
Tambang galian C mencakup batu kapur, batu tulis, batu apung, pasir kuarsa, pasir, tanah liat, dan lain-lain. Tambang galian C relatif lebih mudah dan tidak membutuhkan teknologi tinggi serta tidak memerlukan pemasaran internasional. Hasil galian banyak dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur atau pembangunan yang dilakukan individu atau pemerintahan. Beberapa tambang galian C dimiliki warga setempat yang menjadikannya sebagai mata pencaharian mereka.
Akan tetapi, banyak praktik penambangan ilegal. Sudah jadi rahasia umum, mereka tetap bisa beroperasi karena ada yang mem-back up termasuk dari aparat polisi. Hal ini disebabkan polisi merasa memiliki power lebih sehingga bisa melakukan tekanan. Tambang ilegal pun makin marak. Jika ada yang ditangkap hanya para pekerja di lapangan, sedang pemiliknya tetap bebas.
Insiden penembakan oleh AKP Dadang Iskandar kepada rekannya diduga berkaitan dengan aktivitas tambang ilegal tersebut. Di lokasi penambangan, memang kerap terjadi konflik. Polisi yang seharusnya sebagai pelindung, sering bertindak represif terhadap warga sebagaimana yang terjadi di Desa Wedas dan Rempang.
Karena itulah, tambang galian C ilegal sulit diberantas sebab banyak pihak yang terkait. Di tengah pengawasan negara dan penegakan hukum yang lemah, banyak mafia yang disokong oleh pejabat hingga politisi, membuat persoalan tambang ilegal terus berulang.
Dampak Penambangan
Aktivitas penambangan galian C bisa mempercepat erosi tanah. Tanah yang terkikis terangkut air ke tempat lain dan bisa mengendap di tempat-tempat aliran sungai atau muara sungai. Terjadilah pendangkalan sungai yang bisa menyebabkan banjir pada musim hujan, di musim kemarau terjadi kekeringan.
Aktivitas penggalian kerap meninggalkan lubang-lubang menganga dalam di wilayah eksplorasinya. Jika sudah tidak dipakai, lubang menjadi kubangan besar dan sering memakan korban. Di wilayah bekas galian C yang rusak dan tidak ada upaya reboisasi serta rehabilitasi lahan, bisa berakibat pada kerusakan ekosistem.
Kontribusi tambang galian ke daerah pun tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Di Solok Selatan, kontribusi usaha pertambangan dan galian hanya 9,15%, jauh di bawah kontribusi dari sektor pertanian yang mencapai 27,2% dan sektor perdagangan sebesar 21,49%.
Pengaturan Islam
Dalam Islam, barang tambang termasuk tambang galian C dikategorikan sebagai milik umum yang tidak boleh dalam penguasaan individu, swasta, terlebih asing. Kepemilikan umum dikelola negara untuk kepentingan publik. Negara memberikan hasilnya untuk memberikan layanan yang dinikmati rakyat secara gratis atau menukarnya dengan harga yang ditetapkan negara, tetapi tidak dikomersialisasi.
Negara dalam hal ini penguasa adalah wakil umat untuk mengelola milik umum termasuk mengatur pendistribusiannya. Pengaturan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibn Majah)
Berdasarkan dalil di atas, barang milik umum adalah berupa air, padang rumput (termasuk hutan), listrik (energi), dan semua turunannya. Seperti minyak dan gas, emas, juga termasuk sarana transportasi publik, fasilitas kesehatan, dan lain-lain. Pun barang yang depositnya melimpah dan menjadi kebutuhan publik.
Kedudukan penguasa sebagai pengelola, bukan sebagai pemilik. Hasil pengelolaan menjadi pemasukan yang disimpan di baitulmal. Semuanya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.
https://narasipost.com/opini/09/2022/duhai-polri-tubuhmu-kian-keropos/
Pengaturan syariat Islam terkait barang tambang ini tidak diterapkan di Indonesia meski penduduknya mayoritas muslim. Demikian juga di negara-negara muslim lainnya. Sistem Islam yang sempurna ditinggalkan dan memilih sistem kapitalisme yang menganut liberalisme termasuk dalam kepemilikan. Penguasa bersekongkol dengan para pengusaha dalam penguasaan dan pengelolaan milik umum bahkan bisa mengambil paksa milik individu, melalui kekuatan politik dan ekonomi. Inilah yang disebut sistem pemerintahan oligarki.
Polisi yang seharusnya menjadi bagian dari institusi negara berfungsi menjamin keamanan, ketertiban, dan kestabilan, malah dimanfaatkan penguasa untuk menjaga kepentingan para oligarki. Kekuatan polisi makin besar saat dibekali dengan senjata api. Keadilan dan pelayanan kepada masyarakat akhirnya bersifat transaksional, tebang pilih sesuai bayaran, hingga hubungan mutualisme lainnya. Polisi meninggalkan peran sebagai abdi masyarakat, justru menjadikan rakyat sebagai lahan bisnis.
Peran Polisi
Ibnu Taimiyah berujar, “Lebih baik 60 tahun dengan polisi jelek, daripada semalam tanpa polisi. Semalam saja tidak ada polisi, besoknya negara hilang.” Kalimat yang menunjukkan pentingnya keberadaan polisi dalam sebuah negara.
Dalam sistem Islam, polisi disebut syurthah yang kedudukannya di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri dan memiliki cabang-cabangnya di setiap wilayah. Departemen ini mengurusi segala bentuk gangguan keamanan dan menjaga kestabilan dalam negeri.
Dalil tentang keberadaan polisi berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw. memiliki posisi sebagai kepala polisi dan termasuk di antara para amir.”
Hal yang mengganggu keamanan dalam negeri di antaranya pembegalan di jalanan, perampokan, atau pelanggaran terhadap kepemilikan umum seperti penambangan dan penggalian ilegal. Departemen Keamanan Dalam Negeri memanfaatkan satuan kepolisian untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Jika ternyata belum bisa dihentikan karena misalnya ada perlawanan, bisa meminta bantuan kepada penguasa untuk mendapat bantuan kekuatan militer.
Polisi memberikan sanksi sesuai ketentuan hukum Islam bagi pelaku pelanggaran. Keberadaannya sebagai kekuatan implementatif untuk menerapkan syariat Islam, menjaga sistem, melindungi keamanan, termasuk melakukan patroli. Mengingat tugasnya yang sangat penting, polisi digaji oleh negara dengan layak agar kehidupannya dan keluarga terjamin.
Peran polisi ini pernah dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud sebagai komandon patroli pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Di masa Umar bin Khattab, beliau sendiri pernah terjun melakukan patroli ditemani pembantunya.
Khatimah
Arogansi polisi di Solok Selatan bukan yang pertama kali, bahkan sudah berulang kali. Ini bukan persoalan kasuistik dan sederhana, tetapi persoalan sistemis. Reformasi kepolisian benar-benar darurat dan mendesak. Kasus Solok Selatan seharusnya bisa dijadikan momentum oleh penguasa untuk mengembalikan peran polisi yang berorientasi pada masyarakat. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan meninggalkan sistem kapitalisme dan menerapkan sistem Islam kaffah.
Wallahu a'lam bishawab.[]