Zonasi bukan sekadar persoalan teknis administratif, melainkan cermin kegagalan fundamental sistem pendidikan. Negara gagal memberikan pendidikan berkualitas bagi setiap warga negara.
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Berjalan selama 7 tahun dengan berbagai pro kontra yang mengiringi, kini pelaksanaan PPDB berbasis zona terancam dihapus. Wapres Gibran meminta dengan tegas pada Mendikdasmen Abdul Mu’ti untuk menghapus sistem zonasi. Permintaan itu disampaikan pada tanggal 21 November 2024 lalu dalam acara Pembukaan Tanwir I Pemuda Muhammadiyah di Jakarta. (cnnindonesia.com, 23-11-2024)
Mengenal Sistem Zonasi
Sistem zonasi pada penerimaan siswa baru merupakan kebijakan yang mengharuskan setiap peserta didik mendaftar di sekolah yang paling dekat jaraknya dari rumah. Toleransi jarak yang diberikan bagi siswa SD sejauh 3 kilometer, siswa SMP 5–7 kilometer, dan SMA 9–10 kilometer. Jika tempat tinggalnya melebihi jarak ini, otomatis calon peserta didik tidak akan diterima.
Kebijakan ini diperkenalkan pada era pemerintahan Jokowi dengan tujuan pemerataan akses pendidikan, meningkatkan kualitas sekolah, dan mengurangi ketimpangan.
Sejarah Singkat dan Perkembangan Sistem Zonasi
Sistem zonasi diberlakukan pertama kali di era Mendikbud Muhadjir Effendy tahun 2016 sampai dengan 2019. Penerimaan siswa berbasis zona diatur dalam Permendikbud Nomor 17/2017. Satu tahun kemudian, peraturan itu diperbarui menjadi Permendikbud 14/2018.
Tujuan dari sistem zonasi ini bagus yakni mendekatkan siswa ke sekolah terdekat, mengurai kemacetan di jalur-jalur menuju sekolah favorit, dan meratakan jumlah siswa di tiap sekolah. Namun, harapan jauh dari kenyataan. Problem ketidakseimbangan kuota, sosialisasi yang mendadak hingga merugikan orang tua siswa, dan ketidakpuasan masyarakat tetap ada. Tatkala pemerintah menambah kuota PPDB dari jalur prestasi, masalah zonasi tetap belum teratasi. (cnnindonesia.com, 23-11-2024)
Di era Mendikbud Nadiem Makarim tahun 2019 sampai dengan 2024, sistem zonasi yang bermasalah itu tetap dipertahankan. Walaupun banyak mendapatkan protes dari wali siswa hingga aktivis pendidikan, kebijakan ini tidak tergoyahkan. Di sisi lain, pemerintah belum mampu menghilangkan label sekolah favorit dan tidak favorit. Sebagai dampaknya, gelombang kecurangan pun merebak. Aksi pindah KK dadakan dan main "titip alamat" jadi rahasia umum demi sang anak bisa belajar di sekolah favorit. Praktik pungli pun merajalela. Untuk meminimalkan berbagai kecurangan, dibentuklah satgas PPDB yang melibatkan unsur Polri dan kejaksaan. (news.batampos.com, 5-7-2024)
Di pemerintahan baru Prabowo-Gibran, pendidikan dasar dan menengah kini diampu Kemendikdasmen yang dipimpin Abdul Mu'ti. Pada tanggal 11 November 2024 lalu, Kemendikdasmen mengadakan Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah. Ada dua putusan penting dalam rapat ini, yakni tentang penerimaan peserta didik baru dan rekrutmen PPPK. Aspirasi dari pemerintah daerah tentang kebijakan PPDB disampaikan oleh Winner Jihad Akbar selaku Direktur SMA Kemendikdasmen. Ia menyampaikan bahwa sistem zonasi sudah relevan untuk meratakan akses dan mutu pendidikan, tetapi perlu perbaikan. (detik.com, 12-11-2024)
Benarkah sistem zonasi masih relevan dan hanya perlu perbaikan? Apakah tidak sebaiknya dihapus saja? Sungguh tidak habis pikir, proses pendaftaran PPDB yang seharusnya sederhana tiba-tiba menjadi ruwet, bahkan sampai melibatkan penegak hukum.
Zonasi Tidak Menjamin Kualitas Pemerataan Pendidikan
Kisruh penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi menunjukkan bahwa masalah pendidikan di Indonesia sangat krusial, bukan sekadar teknis administratif. Sistem zonasi bukanlah sekadar persoalan teknis tentang jarak rumah ke sekolah, tetapi cermin dari kegagalan negara dalam menjamin pemerataan kualitas pendidikan.
Pemberlakuan PPDB berbasis zona justru menunjukkan ketimpangan kualitas pendidikan. Perbedaan mencolok antara sekolah favorit dan tidak favorit menjadi bukti bahwa pemerataan belum benar-benar terwujud. Banyaknya orang tua yang berlomba mengakali sistem, mencerminkan ketidakpercayaan mereka pada pemerataan kualitas pendidikan.
Di sisi lain, zonasi membatasi siswa untuk bersekolah hanya di wilayahnya. Negara secara sistematis telah membatasi ruang gerak dan kesempatan anak-anak untuk mengakses pendidikan berkualitas. Faktanya, sekolah bagus kebanyakan ada di perkotaan dan daerah dengan sosial ekonomi menengah ke atas. Sarana prasarana pun lebih lengkap di sekolah-sekolah kota. Pemerataan pendidikan menjadi seperti “upaya meratakan penyebaran anak cerdas dan berbakat” ke sekolah-sekolah dengan kualitas rendah.
Tidak bisa dimungkiri, keberadaan anak-anak ini di sekolah tidak favorit akan sangat menguntungkan. Mereka bisa menjadi wakil sekolah dalam perlombaan-perlombaan, menjadi tutor sebaya bagi teman-temannya, dan pemantik diskusi dalam kegiatan belajar. Lambat laun sekolah-sekolah ini akan “terangkat” popularitasnya. Namun, ada dampak negatifnya juga bagi anak-anak cerdas ini. Mereka kurang mendapatkan tantangan dan stimulasi intelektual seperti teman-teman mereka di sekolah-sekolah unggulan.
Masalah-masalah ini seharusnya membuka mata bahwa akar persoalan terletak pada kelalaian negara dalam memenuhi tanggung jawabnya terhadap pendidikan. Pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara seharusnya menjadi prioritas dalam pembangunan. Namun, alih-alih memberikan perhatian serius pada peningkatan infrastruktur dan kualitas pendidik, negara sering kali terjebak pada hal-hal administratif semata.
Kisruh PPDB Zonasi Buah Penerapan Sistem Kapitalisme
Dari paparan di atas, terjawab bahwa kisruh PPDB zonasi bukan semata masalah teknis administratif, tetapi masalah sistemis. Kesemrawutan PPDB zonasi merupakan salah satu bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam mengelola pendidikan. Dalam sistem ini, pendidikan tidak lagi dipandang sebagai hak dasar atas seluruh rakyat, melainkan komoditas yang dinilai berdasarkan efisiensi dan nilai pasar. Sistem zonasi yang diharapkan mampu menciptakan pemerataan akses pendidikan justru memperlihatkan bagaimana ketimpangan semakin melebar. Secara kasat mata tampak perbedaan fasilitas antara sekolah unggul dan sekolah dengan kualitas seadanya.
Persaingan untuk masuk ke sekolah favorit juga menggambarkan bagaimana pendidikan diatur seperti pasar bebas. Orang tua calon siswa yang memiliki modal lebih besar baik berupa uang dan jabatan, mereka memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan akses pendidikan berkualitas. Mereka bisa melakukan berbagai macam cara agar anaknya bisa masuk sekolah unggulan. Bila sekolah unggulan ini kuotanya sudah terpenuhi, mereka tidak segan mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah swasta unggulan, bahkan ke sekolah berbasis internasional. Biaya ratusan juta per semester pun akan dilibasnya.
Namun, bagaimana dengan keluarga miskin yang memiliki anak berprestasi? Mereka harus berpuas diri menyekolahkan anaknya ke sekolah terdekat dengan kualitas seadanya. Mereka akan kalah saing dengan keberadaan keluarga-keluarga kaya itu.
Baca: PPDB Zonasi, Ruwetnya Pendidikan ala Kapitalisme
Sejatinya, kapitalisme tidak pernah dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, termasuk dalam masalah pendidikan. Sistem ini justru makin mempertegas kesenjangan sosial. Labelisasi sekolah unggulan dan nonfavorit tidak akan pernah terhapus sebab kualitas sekolah berbanding lurus dengan daya beli dan lokasi tempat tinggal. Selama pendidikan masih bergantung pada daya beli dan lokasi geografis, labelisasi tersebut akan terus ada karena kualitas sekolah menjadi cerminan dari ketimpangan masyarakat di sekitarnya.
Zonasi dalam kerangka kapitalisme telah gagal memberikan solusi karena masalah utamanya terletak pada bagaimana pendidikan dipandang dan diatur. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam paradigma ini, pendidikan yang berorientasi pada persaingan akan terus menghasilkan ketimpangan, dan hak pendidikan akan semakin sulit dirasakan secara setara oleh seluruh rakyat.
Cara Khilafah Wujudkan Pemerataan Pendidikan Berkualitas
Dalam sistem pemerintahan Islam, pemerataan pendidikan berkualitas dibangun di atas fondasi pemahaman bahwa pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Pendidikan bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan. Negara berkewajiban menjamin akses pendidikan berkualitas tanpa membedakan status sosial, ekonomi, atau geografis.
Dalam Islam, mencari ilmu merupakan kewajiban setiap muslim. Rasulullah saw. dengan tegas bersabda bahwa mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah ini bermakna bahwa negara bertanggung jawab untuk menyediakan segenap fasilitas pendidikan yang berkualitas bagi setiap warganya.
Adapun khalifah sebagai kepala negara harus senantiasa memperhatikan kualitas pendidikan. Khalifah juga berkewajiban memastikan seluruh warganya bisa mengakses pendidikan dengan mudah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Baitulmal berperan sentral dalam membiayai seluruh kebutuhan pendidikan. Pemenuhan infrastruktur, gaji pengajar, dan pemenuhan kebutuhan belajar siswa diambilkan dari baitulmal. Kekayaan milik umum yang dikelola Khilafah benar-benar dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, tidak heran bila tidak didapati adanya diskriminasi atas dasar kaya dan miskin. Negara menjamin setiap anak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama berkualitasnya.
Khatimah
Karut-marut PPDB zonasi telah membuktikan bahwa pendekatan kapitalistik dalam pemerataan kualitas pendidikan telah gagal. Zonasi bukan sekadar persoalan teknis administratif, tetapi sistemis. Oleh karena itu, perbaikan parsial seperti menghapus sistem zonasi PPDB tidak akan memberikan hasil signifikan selama masih berkutat dalam sistem kapitalisme. Yang dibutuhkan oleh negara ini adalah menyetel ulang seluruh sistemnya menjadi sistem Islam. Artinya, sudah saatnya hijrah ke dalam sistem Islam naungan Khilafah, bukan lagi berkelindan dengan sistem kapitalisme yang terbukti menciptakan kesenjangan. []