Jika asas pembagunan kapitalisme berorientasi untuk mengejar materi dan keuntungan semata, maka asas pembangunan dalam Islam adalah ri'ayah syu'un al-ummah, yakni memprioritaskan urusan warga negaranya.
Oleh. Siti Komariah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Di setiap ada pembangunan industri, di situ ada kesengsaraan rakyat. Di setiap ada pembangunan industri, di situ ada kerusakan lingkungan, keduanya seakan sulit untuk bisa berdampingan”. Ya, ungkapan di atas sangat menggambarkan kondisi rakyat di negeri ini. Berbagai pembangunan industri dan infrastruktur di negeri ini, pada faktanya justru membawa petaka bagi rakyat. Sebagaimana pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di daerah Suralaya, di Cilegon, Banten.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat sebagai perwakilan dari masyarakat Banten pada kamis (14/9) secara resmi telah mengadukan Bank Dunia kepada Compliance Advisor Ombudsman (CAO) karena dinilai telah memberikan bantuan dana secara tidak langsung untuk perluasan pembangkit listrik tenaga batu bara yaitu pembangunan dua pembangkit baru, PLTU Jawa 9 dan 10 yang berakibat buruk bagi lingkungan, kesehatan, dan mata pencarian masyarakat di wilayah itu.
Selain itu, tindakan Bank Dunia yang terus memberikan dukungan keuangan secara tidak langsung terhadap pembangunan proyek PLTU Jawa 9 dan 10 juga mendapat kecaman dari kelompok pemerhati lingkungan hidup. Mereka menganggap bahwa dukungan Bank Dunia tersebut telah melanggar perjanjian sejumlah pemimpin negara untuk berhenti mendukung penggunaan bahan bakar fosil.
Dukungan tidak langsung tersebut terlihat pada Anak perusahaan Bank Dunia di sektor swasta, International Financial Corporation (IFC), yang memberikan investasi ekuitasnya di Hana Bank Indonesia (VOAIndonesia.com, 14/09/2023).
Tidak Ada Urgensi
Penolakan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup terhadap pembangunan proyek PLTU bukanlah tanpa sebab. Ada beberapa poin yang membuat rakyat menolak keras proyek tersebut. Pertama, pembangunan proyek PLTU Jawa 9 dan 10 dinilai tidak memiliki urgensi sama sekali, sebab kebutuhan listrik di wilayah itu sudah terpenuhi dan jaringan listrik Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan.
Kedua, PLTU Jawa 9 dan 10 menyumbang lebih dari 250 juta metrik ton CO2 ke atmosfer dan diperkirakan akan menjadi penyumbang terbesar kematian dini, karena buruknya udara yang ditimbulkan menyebabkan terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Menurut Dinas Kesehatan Kota Cilegon, Banten, dari Januari hingga Juni tahun 2023, sebanyak 17.382 orang terkena ISPA.
Ketiga, pembangunan PLTU juga akan membawa dampak buruk bagi rakyat sekitar, seperti penggusuran paksa tempat tinggal mereka, menghilangkan mata pencarian rakyat, dan kerusakan lingkungan lainnya.
Kontradiktif antara Teori dan Praktik
Sejak awal proyek pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 ini telah mendapatkan penolakan, baik dari masyarakat Banten maupun dari sejumlah organisasi lingkungan hidup. Pada tahun 2020 lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara resmi menggugat Izin Lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Serang.
Sebelum mengajukan gugatan tersebut, WALHI telah mengajukan surat keberatan kepada Gubernur Banten tentang izin lingkungan, namun surat tersebut tidak mendapatkan respons. Kemudian, mereka kembali mengajukan banding administratif kepada presiden Joko Widodo, namun pengajuan banding juga tidak mendapatkan balasan dari Presiden.
Hingga saat ini, pembangunan proyek PLTU Jawa 9 dan 10 pun masih terus berjalan. Padahal, diketahui bahwa proyek pembangunan nyatanya bertentangan dengan undang-undang negara dan Perjanjian Paris yang disepakati oleh 197 negara untuk membahas perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berusaha mencari solusinya. https://narasipost.com/opini/04/2022/pemanfaatan-limbah-faba-untuk-bangkitkan-ekonomi-benarkah-ini-hanya-manipulasi/
Dalam pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu CPO26 di Glasgow, Skotlandia, Inggris, menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu berusaha menghentikan pembangkit listrik energi batu bara secara bertahap, mempertahankan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius, atau maksimal tidak naik 1.5 celsius, dan mempercepat komitmen pengurangan emisi 2030 dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Apalagi, IFC juga telah memublikasikan bahwa mereka akan berhenti mendanai proyek pembangunan PLTU batu bara di berbagai negara, termasuk Indonesia agar sesuai dengan Perjanjian Paris terkait perbaikan iklim global. Kebijakan ini juga sekaligus memperkuat pernyataannya pada tahun 2019 lalu untuk mengurangi keterlibatannya dalam proyek batu bara hingga mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2030 mendatang yang juga disebut sebagai “Pendekatan Ekuitas Hijau”.
Namun, nyatanya pembangunan PLTU justru membalikkan pernyataan tersebut, bahkan kini perlu dipertanyakan komitmen Bank Dunia untuk mematuhi Perjanjian Paris. Dapat dilihat bahwa dukungan Bank Dunia terhadap proyek pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 telah nyata kontradiktif terhadap Perjanjian Paris dan upaya untuk mencapai target net zero emission. Sungguh bagai menjilat ludah sendiri, jika pembangunan ini masih terus berjalan.
Paradigma Pembangunan ala Kapitalisme
Adanya PLTU memang dibutuhkan bagi negara dan kesejahteraan rakyat, sebab PLTU merupakan salah satu sumber energi untuk menopang kebutuhan energi listrik nasional dengan kapasitas pembangkitnya yang cukup besar. Namun, pembangunan PLTU sejatinya harus sejalan dengan kemaslahatan rakyat, bukan sebaliknya yang justru menimbulkan kemudaratan.
Namun, apa hendak dikata, sistem kapitalisme telah nyata membuat kerusakan di berbagai lini kehidupan. Sistem yang berdasar pada sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) telah membuat manusia mendewakan materi/harta, sehingga asas pembangunan infrastruktur pun tidak lagi untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk mencapai keuntungan kebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya.
Jamak diketahui, pembangunan infrastruktur ala kapitalisme nyatanya tidak pernah berpihak kepada kemaslahatan rakyat. Rakyat senantiasa menjadi korban dari kerakusan-kerakusan para penguasa yang mendewakan para pemilik modal. Rakyat dipaksa untuk menyukseskan program-program penguasa yang sejatinya pro terhadap para pemilik modal atau pengusaha. Tanah-tanah rakyat dirampas, mereka harus kehilangan mata pencarian untuk menghidupi keluarganya, bahkan tidak sedikit nyawa yang melayang akibat berbagai protes yang diajukan kepada penguasa represif imbas kerusakan dari pembangunan infrastruktur. Namun, nyatanya penguasa tidak bergeming, walaupun ada respons, itu hanya sekadar memberikan janji-janji manis untuk menenangkan gejolak kemarahan rakyat, selanjutnya proyek akan terus berjalan.
Itulah paradigma pembangunan ala kapitalisme, apa pun akan dilakukan untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendakinya. Walaupun berbahaya dan berisiko, itu bukanlah batu sandungan bagi korporasi. Mereka akan terus mengejar dan menghalalkan berbagai macam cara untuk meraih keinginannya.
Di sisi lain, pembangunan ala kapitalisme juga berpeluang besar untuk menarik investor agar menanamkan modalnya ke negeri ini yang berimbas pada tergadainya kedaulatan negara dan membuat penderitaan rakyat kian bertambah.
Seperti proyek pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 ini. Jika PLTU tersebut tetap berjalan dan dirancang dengan konsep “ramah lingkungan” yakni dengan mengunakan amonia hijau dan hidrogen hijau sebagai bahan bakar yang tidak menghasilkan emisi karbon. Seperti, negara-negara dunia, termasuk Indonesia dan Bank Dunia yang sepakat pada Perjanjian Paris untuk mengurangi keterlibatannya dalam proyek batu bara hingga mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2030 nanti, yaitu dengan mengubah bahan bakar PLTU menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan.
Program tersebut nyata mengorbankan rakyat kembali karena pembangunan itu pasti membutuhkan dana yang cukup besar. Lalu, dari mana dana tersebut? Ya, lagi-lagi negara akan menarik investor untuk menanamkan modalnya pada pembangunan infrastruktur tersebut. PLTU akan menjadi bahan komersialisasi, seperti pembangunan infrastruktur -infrastruktur lainnya. Imbasnya, rakyat harus membeli jika ingin menikmatinya. Sungguh sangat miris. Padahal sejatinya pembangunan infrastuktur merupakan salah satu tanggung jawab negara untuk mengadakannya demi menunjang perbaikan kehidupan masyarakat, tanpa mengorbankan nyawa dan harta mereka.
Paradigma Pembangunan Islam
Jika pembagunan kapitalisme berorientasi untuk mengejar materi dan keuntungan semata, serta nyawa dan kesejahteraan rakyat menjadi nomer ke sekian, berbeda halnya dengan pembangunan dalam Islam. Asas pembangunan dalam Islam adalah salah satu bentuk ri'ayah syu'un al-ummah. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan berbagai infrastruktur penunjang kemaslahatan rakyat. Infrastruktur tersebut dapat dinikmati secara cuma-cuma, haram hukumnya negara mengambil keuntungan darinya.
Energi listrik merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara, sehingga negara harus berupaya sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Negara pun haram hukumnya mengomersialkan sumber energi listrik. Sedangkan dalam pembangunan penunjang energi listrik tersebut, seperti pembangunan PLTU. Islam mewajibkan negara untuk memperhatikan hak-hak rakyat, dipastikan bahwa tidak ada hak rakyat yang terampas, baik tanahnya maupun hilangnya mata pencarian mereka. Jika pembangunan tersebut begitu urgen yang mengharuskan tanah rakyat terampas dan menghilangkan mata pencarian mereka, maka negara wajib memberikan ganti kompensasi yang sepadan, bahkan jaminan kehidupan mereka di masa depan.
Pembangunan PLTU pun wajib ramah lingkungan, oleh karena itu sebelum negara membangun infrastruktur, maka negara menurunkan para ahli untuk menganalisis dampak panjang dari kebijakan tersebut bagi lingkungan dan masyarakat. Kemudian, negara pun memastikan bahwa pembangunan pembangkit listrik bisa tersebar ke seluruh daerah, sehingga listrik bisa didistribusikan dan dinikmati oleh semua masyarakat, baik di kota maupun di pelosok daerah.
Semua pembangunan infrastruktur, termasuk pembangkit listrik dibiayai oleh negara melalui mekanisme baitulmal. Dalam Islam, negara memiliki pemasukan tetap, seperti kharaj, fai, zakat, hasil pengelolaan SDA, dan lainnya yang tersimpan di baitulmal. Pos inilah yang akan mengatur keuangan negara sesuai dengan ketentuan syarak, seperti hasil pengelolaan SDA, batu bara, nikel, emas yang hanya digunakan untuk kemaslahatan rakyat, misalnya pembangunan infrastruktur. Dalam pengelolaan kepemilikan umum tersebut, seperti listrik, negara tidak boleh menyerahkannya kepada swasta dan oligarki, bahkan dalam bentuk investasi apalagi utang riba.
Demikian pembangunan infrastruktur dalam paradigma Islam akan benar-benar membuat rakyat sejahtera dan tidak pernah menzalimi rakyat. Sebab, penguasa paham bahwa sebuah kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Rasulullah saw. Bersabda,
“Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Khatimah
Dari sini kian tampak bahwa paradigma pembangunan ala kapitalisme sejatinya hanya untuk memperkaya orang-orang asing atau swasta. Dalih investasi dan utang sejatinya hanya bahasa halus untuk menguasai potensi SDA yang besar di negeri ini.
Oleh karena itu, rakyat harus segara sadar bahwa kita membutuhkan sebuah sistem yang akan mampu membawa negeri kaya ini kepada puncak kejayaan yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Wallahu a’lam bishawab.[]
Barakallah ❤️
Masyallah produktif ❤️❤️
Industrialisasi di bawah kapitalisme memang dibangun bukan untuk kemaslahatan rakyat,, tapi untuk para kapitalis alisa si invenstornya itu
Lagi-lagi atas nama pembangunan dan kepentingan rakyat, para kapitalis mengabaikan keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan. Watak sistem kapitalisme memang tidak jauh-jauh dari pemenuhan materi dunia. Apap pun akan mereka lakukan agar ambisinya tercapai
Aneh memang ya, terkadang pemerintah yang disokong investor maksa untuk membangun ini dan itu walau tidak terlalu urgen. Tapi kalau mengingat watak penguasa yang lahir dari sistem kapitalisme, ya wajar saja jika penguasa memang dicetak untuk memuluskan semua agenda para kapitalis.
Apalagi dengan Dalih Pembangunan Proyek Strategis Nasional. Hmm, rakyat udah dipaksa ikut menyukseskan hingga rakyat sendiri jadi korban.
Dalam sistem kapitalisme, penguasa hanya berperan sebagai regulator. Pembangunan infrastruktur & pengelolaan sumber daya alam kerap diserahkan kepada swasta atau asing. Jelas orientasi mereka adalah profit, sehingga sering dampak yang dihasilkan dari aktivitas mereka dinafikan. Jauh berbeda dengan sistem Islam yang paripurna, yang dituntun oleh yang Maha Sempurna.
Bener mba. Orientasi pembangunan bukan pada kesejahteraan rakyat melainkan pada keuntungan dan kesejahteraan para oligarki. Ngenes. Makasih dah mampir
Di sistem kapitalisme-liberalisme memang setiap ada pembangunan industri, di situ ada kesengsaraan rakyat. Di setiap ada pembangunan industri, di situ ada kerusakan lingkungan. Maka, butuh sistem Islam untuk mengatasi masalah ini
Bener Islam Solusi tuntas.
Masya Allah, Islam benar-benar agama yang sempurna. Kesempurnaan dalam menjamin kehidupan manusia, tanpa celah kerusakan sedikitpun. Menyejahterakan masyarakat seluruhnya tanpa tebang pilih macam demokrasi kapitalisme. Andai semua manusia mengetahui keagungan ajaran Islam, niscaya tak kan ada yang menolak penerapannya.
Iya mba. Islam solusi terbaik segal problematika kehidupan, termasuk masalah pembangunan.