Politik itu sejatinya aktivitas mulia dan agung karena menyangkut keyakinan (akidah) dan aturan hidup (nidzham) yang harus terealisasikan dalam kehidupan. Sudah seharusnya keberadaan partai politik di tengah umat merupakan pengejewantahan dari akidah Islam. Dan fungsinya melakukan koreksi atas kekuasaan.
Oleh. Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Politik itu kotor. Politik itu binasa. Politik adalah jalan untuk meraih kekuasaan. Jika masuk dalam area politik, tandanya hidup dalam keduniaan minus nilai keakhiratan. Siapa pun mau tidak mau harus bermandi lumpur maksiat dengan tipu muslihat demi kepentingan duniawi yang sesaat. Maka, berlaku adagium tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan. Siapa kawan atau lawan tidak bisa dilihat dari apa ideologinya, melainkan apa kepentingannya. Partai hijau bisa berkoalisi dengan partai kuning, namun pada lain waktu partai hijau pun bermesraan dengan partai biru, bahkan merah. Demikianlah politik dalam demokrasi, bagaikan lampu lalu lintas, meskipun nyalanya bergantian, namun masih dalam satu bingkai aturan.
Dinamika pelacuran politik dalam sistem sekularisme memang seperti itu. Idealisme tidak menjadi acuan kualitas hadirnya sebuah partai, bukan pula primadona pilihan masyarakat. Jika sudah masuk parlemen, apa pun partainya tidak akan mampu menunjukkan jati diri, apalagi konsistensinya dalam memperjuangkan kepentingan umat. Tidak mengherankan sesalih apa pun partainya, jika masuk dalam perangkap demokrasi akan terjerembab pada perilaku maksiat, jika tidak mau mati kutu, bahkan mati beneran.
Bercermin dari kenyataan seperti itu, wajar jika sistem demokrasi yang lahir dari induk sekularisme dan kapitalisme sebagai ayah yang “menafkahi” aktivitas politiknya, tidak akan pernah melakukan perubahan bagi perbaikan umat secara ikhlas dan menyeluruh. Yang terjadi rutin lima tahunan adalah perubahan tambal sulam. Partai politik harus pandai-pandai menggaet “investor” untuk bisa meraih kekuasaan. Sementara itu, kekuasaan yang dimenangkan parpol suara terbanyak akan membuat aturan bagaimana parpol yang seolah bersaing bisa mendukung misi yang dipesan oleh oligarki yang berada di belakangnya. Kehadiran partai politik yang bermain pada kontestasi pemilihan umum sejatinya hanyalah dagelan karena siapa pun pemenangnya akan masuk pada rumah yang sama, yaitu rumah kapitalisme. Inilah gambaran nyata betapa sempit dan kotornya makna politik tanpa melihat hukum halal dan haramnya. Karena dalam kapitalisme, halal dan haram itu urusan agama yang tidak boleh dibawa dalam urusan kekuasaan.
Inilah akar masalah sebenarnya, berawal dari persepsi yang salah karena memandang kehidupan harus dipisahkan dari aturan agama. Padahal, Islam sebagai agama yang sempurna kehadirannya memberikan pencerahan tentang makna politik, bukan sekadar alat meraih kekuasaan. Ajaran Islam bukan semata-mata konsep spiritual, melainkan juga memiliki konsep dalam pengaturan urusan masyarakat. Di sinilah makna politik itu, yaitu pengaturan segala urusan masyarakat dengan aturan dari yang memiliki hak membuat aturan itu sendiri, yakni Allah Swt.
Dengan demikian, politik itu sejatinya aktivitas mulia dan agung karena menyangkut keyakinan (akidah) dan aturan hidup (nidzham) yang harus terealisasikan dalam kehidupan. Sudah seharusnya keberadaan partai politik di tengah umat merupakan pengejewantahan dari akidah Islam. Dan fungsinya melakukan koreksi atas kekuasaan. Seluruh aktivitas yang dilakukannya harus bersifat politis, yaitu memperhatikan urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan pemecahan yang syar’i. Sebab, politik adalah mengatur dan memelihara urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum dan pemecahan Islam. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab “at Takatul al Hizbi” dan “at Takrif” memberikan gambaran tentang aktivitas yang seharusnya dilakukan sebuah partai politik yang berakidahkan Islam. Aktivitas parpol harus tergambar jelas dalam mendidik dan membina umat dengan tsaqafah Islam, meleburkannya dengan Islam, membebaskannya dari akidah yang rusak, pemikiran yang salah, serta dari persepsi yang keliru, sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang tidak Islami.
Aktivitas politik ini tampak juga dalam aspek pergolakan pemikiran (shira’ul fikriy) dan perjuangan politik (kifahu siyasiy). Pergolakan pemikiran terlihat dalam penentangannya terhadap ide-ide dan aturan-aturan sekuler. Begitu pula dalam penentangannya terhadap ide-ide yang salah, akidah yang rusak atau pemahaman yang keliru dengan cara menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, disertai dengan penjelasan mengenai ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut.
Sedangkan perjuangan politiknya terlihat jelas dalam kritiknya terhadap para penguasa, mengungkapkan konspirasi jahat mereka terhadap umat, melakukan kontrol dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilangggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, atau jika mereka melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum Islam.
Jadi, aktivitas parpol itu dalam melakukan perubahan di tengah umat, tidak bersifat akademik ataupun sosial. Partai politik bukanlah sekolahan. Seruannya bukan berbentuk nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk (yang menjenuhkan dan kering). Aktivitasnya bersifat politik, dengan cara mengungkapkan fikrah-fikrah Islam beserta hukum-hukumnya untuk dilaksanakan, diemban dan diwujudkan dalam kenyataan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Partai politik sejatinya adalah wadah untuk melakukan aktivitas dakwah yang mulia menuju penerapan Islam yang kaffah. Menyadarkan masyarakat tentang aturan hidup yang dilandasi pemikiran akidah yang benar, sehingga akidah Islam menjadi dasar negara, dasar konstitusi dan perundang-undangan. Karena akidah Islam tidak lain adalah akidah yang dibangun dari pemikiran menyeluruh tentang manusia, hidup, dan alam semesta. Itulah akidah aqliyah dan akidah siyasiyah yang melahirkan aturan yang dapat memecahkan problematika manusia secara keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lain-lain. Inilah partai politik yang akan menerima kekuasaan dari rakyatnya secara sukarela tanpa melalui jalan parlemen, apalagi merebutnya secara paksa untuk mewujudkan perubahan umat yang lebih baik.
Wallahu’alam bish Shawwab.[]