Berakhirnya Rezim Oligarki-Korporatif yang Zalim

Sama seperti rezim yang sedang berkuasa saat ini. Andaikan ia mau membuka hati dan pikiran lalu mengakui kebenaran, sampai pada pertaubatan dan keinsafan, maka kezalimanpun tentu akan berakhir dengan keadilan dan kesejahteraan.


Oleh: Muthi Nidaul Fitriyah (Pegiat Opini Islam dari Sumedang)

NarasiPost.com -- Bagi para pemikir, mereka akan mampu mengamati, menilai dan merasakan bahwa tatanan hidup hari ini adalah tatanan yang  sangat jauh dari kata ideal. Kekacauan terjadi di setiap  lini kehidupan, mulai dari keadilan hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, memiliki pangkal yang sama, yaitu sebab diterapkannya demokrasi kapitalisme.

Agaknya hari ini rezim sudah merambah ke kekuasaan oligarki-korporatif yang antitesis dengan asas-asas demokrasi dengan basis kekuasaan di tangan rakyat menjadi kekuasan dikendalikan oleh sekelompok partai tertentu dan kepentingan para investor tertentu.

Para oligarki-korporatif itu mengulirkan jargon-jargon politik, tak sedikit menciderai rakyat, bebagai labelling buruk diciptakan untuk para pengkritik kebijakan, banyak UU dibuat hanya untuk memelihara kerakusan oligarki-korporatif bukan untuk mencapai keadilan tapi kezaliman.

Berangsur-angsur rakyat juga merasa jengah, ingin berubah dan bertnya-tanya, sampai kapan kekuasaan rezim yang yang semisal ini akan berakhir? Jika boleh kita menganalisis, sunggunya berakhirnya rezim oligarki-korporatif ini bergantung pada pelaku yang melakukan kezaliman. Sampai kapan akan terus berbuat zalim?

Sebagai seorang Muslim kita memahami bahwa manusia sebagai mahluk Allah SWT memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama untuk berubah menjadi lebih baik, baik ia seorang pejabat maupun rakyat biasa. Akan selalu ada peluang bagi setiap orang untuk sampai pada titik-titik kesadaran, penginsafan, pertaubatan. Maka semua itu berpulang kepada yang bersangkutan, akan memilih jalan Islam atau tetap pada kekufuran padahal bukti kerusakannya sudah nampak didepan mata.

Seorang Firaun saja  yang memiliki kezaliman terpuncak, paling represif sepanjang sejarah, bahkan Al-Qur’an pun mengabadikannya, “Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi” (TQS. An Nazi’at: 24). Akulah yang menghidupkan dan mematikan, dalam pengertian, menghidupkan membiarkan hidup dan mematikan yaitu membunuh.

Firaun saja, pernah mencapai kesadaran bahwa memang dia bukan tuhan, yang benar itu tuhannya Musa dan Harun. Sebagaimana saat ia akan ditenggelamkan, ia menyatakan keimanannya, “Aku percaya bahwa tiada Tuhan yang dipercayai melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang yang berserah diri  (kepada Allah).” (TQS. Yunus: 90)

Bahkan jauh sebelum ditenggelamkannya, kesadaran itu telah hadir dalam benak Fir’aun, “Musa mengatakan, “Sesungguhnya kamu (Fir’aun), telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan langit dan bumi sebagai bukti yang nyata. ...” (TQS. Al Isra’: 102). Akan tetapi kesombongan itu telah menutupi kesadaran, pertaubatan, pembenaran atas risalah yang dibawa Musa dan Harun.

Sama seperti rezim yang sedang berkuasa saat ini. Andaikan ia mau membuka hati dan pikiran lalu mengakui kebenaran, sampai pada pertaubatan dan keinsafan, maka kezalimanpun tentu akan berakhir dengan keadilan dan kesejahteraan.

Akan tetapi itu sangat jarang terjadi sebab penguasa itu pada umumnya akan sombong. Kenapa, karena masih berkuasa. Memang tantangan terbesar bagi penguasa adalah kekusaannya itu. Seolah-olah tidak pantas untuknya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keperkasaannya sebagai penguasa, seperti minta maaf, mengaku salah, merasa lemah, dll. Jikapun salah dia akan mencari diksi lain agar jangan sampai ia terlihat dan mengakui kesalahannya. Semisal dengan kalimat, ‘ini salah kutip’, ‘ada kesalahan tafsir’, dll. Maka, ketika ada pertanyaan kapan? Sampai mereka sendiri menyadari dan menghentikan kezalimannya.

Namun, selain itu juga bergantung pada ‘perlawanan’. Kita tidak boleh tunduk kepada kezaliman. Rasulullah saw, bersabda:

“Tolonglah saudaramu yang berlaku zalim atau yang menzalimi.” Sahabat berkata: “Ya, Rasulullah, kami menolong orang yang dizalimi, tetapi bagaimana kami menolong orang yang zalim?” Rasulullah saw, menjawab: ”Halangilah kezaliman yang dilakukan oleh meraka.” (HR. Bukhari, 2444)

Jadi selain kita melawan dengan memberikan pertolonan kepada mereka yang terzalimi, kitapun harus menolong orang yang berbuat zalim, kita menolongnya untuk tidak terus menerus berbuat zalim.

Soal siapa kuat dan siapa yang lemah. Jika yang melakukan kezaliman itu kuat sehingga belum sampai pada titik kesadaran, pertaubatan maka kitapun yakin bahwa segala apapun di dunia ini ada ajalnya, sampai ajal menjemputnya.

Ada dua ajal dalam kekuasaan. Pertama, ajal orang bersangkutan. Kedua, ajal rezim. Setiap rezim ada ajalnya, setiap kaum ada ajalnya, Fir’aun dengan segenap kekuatannyapun memiliki ajal, orde lama, orde baru ada ajalnya termasuk kekuasan oligarki-korporatif hari ini juga pasti ada ajalnya.

Mungkin kita belum tahu saja, kapan ajalnya rezim oligarki korporatif ini. Kalau mengikuti perhitungan matematisnya mungkin tahun 2024. Tapi apakah betul akan sampai tahun 2024? Karena saat ini telah menjadi hari-hari panjang bagi rezim, waktu satu tahun ini terasa begitu lama, sebab kita ditimpa permasalahn yang begitu banyak dan kompleks, semakin hari semakin memburuk. Mulai dari Corona, resesi, dipermalukan oleh 59 negara yang me-lock down Indonesia, pengesahan omnibus law, dll.

Semua itu membuktikan bahwa perlawanan bukan di kalangan manusia akan tetapi alam yang terekploitasi pun melakukannya. Dampak yang ditimbulkan bersifat eskalatif, jika terus meningkat pada suatu tingkat tertentu, maka kezaliman bukan suatu yang tidak mungkin sampai pada sebuah akhir.

Agenda kita sejak kemarin, hari ini dan seterusnya adalah untuk tidak berhenti melakukan perlawanan, melawan kezaliman, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, sebab ini sudah kewajiban kita dan inilah misi hidup kita yang sesungguhnya. Wallahu a'lam bishawab.[]

Picture Source by Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected].

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Susah Makan, Kemana Berlawan?
Next
Narkoba, Rasa Sensasi yang Menyesatkan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram