Mahalnya biaya pemilihan kepala daerah di negeri ini tidak lepas dari penerapan sistem demokrasi. Dari pencalonan, kampanye, hingga pelaksanaan pemungutan suara semuanya memakan dana yang tidak sedikit
Oleh. Arum Indah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pelaksanaan Pilkada 2024 menyedot dana yang cukup fantastis. Setidaknya dana sebesar Rp34,57 triliun telah digelontorkan sampai 6 Agustus lalu. Perinciannya adalah Rp26,85 triliun telah dibagikan Kemenkeu untuk KPU dan Rp7,72 triliun untuk Bawaslu. Alokasi dana ini masih mencapai 92 persen dari total yang dianggarkan, yakni Rp37,52 triliun. (Liputan6.com, 13-8-2024)
Jumlah dana yang cukup fantastis ini berasal dari kesepakatan tiap kepala daerah dengan pemerintah untuk mengalokasikan pendapatan daerah sebesar 40% dari APBD 2023 dan 60% dari APBD 2024 demi penyelenggaraan pilkada melalui Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). “Jadi untuk pilkada ini pemerintah daerah sudah mengeluarkan Rp34,75 triliun dari APBD-nya, dihibahkan ke pusat, ke Kemenkeu. Kemenkeu langsung menyalurkan ke KPU dan Bawaslu sampai dengan 6 Agustus. Nanti total overall yang sudah ada naskah perjanjian akan ada anggaran Rp37,52 triliun,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN kita.
Besarnya dana untuk pilkada ini sudah diprediksi sejak lama oleh beberapa ahli. Mendagri Tito Karnavian bahkan pernah menaksir bahwa Pilkada 2024 akan menyedot anggaran hingga Rp41 triliun sebab ada anggaran yang akan dialirkan ke KPU, Bawaslu, Polri, dan TNI. Pada Juli lalu, setidaknya sudah ada 541 pemda yang telah menganggarkan Rp28,75 triliun untuk KPU daerah masing-masing dan 518 pemda telah menyiapkan dana Rp8,55 triliun untuk Bawaslu setempat. Jumlah ini masih akan terus bertambah mengingat masih ada 23 pemda yang belum menandatangani NPHD. (Kompas.com, 10-7-2024)
Hampir setiap pagelaran pemilihan umum selalu menghabiskan dana yang cukup fantastis. Miliaran bahkan triliunan uang negara habis demi terealisasinya ajang ini. Sungguh menyedihkan, semua itu terjadi di tengah kondisi rakyat yang makin memprihatinkan.
Penyebab Pilkada Berdana Fantastis
Mekanisme untuk memilih kepala daerah secara langsung di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota ialah wujud pelaksanaan dari pasal 56 UU No. 32 Tahun 2024. UU ini dianggap sebagai semangat reformasi untuk mewujudkan pemilu yang demokratis. Akan tetapi, kebebasan politik yang menjadi impian justru dibajak oleh segelintir oligarki. Pilkada pun menjadi praktik politik yang berdana fantastis. Sebenarnya kondisi ini telah lama dikritisi sejumlah pihak dan pemerintah pun mengantisipasi dengan dilaksanakannya pilkada secara serentak yang dimulai sejak 2015 silam. Perubahan desain pemilihan langsung ini diharapkan mampu menekan anggaran penyelenggaraan dengan tidak mengesampingkan nilai demokratis. Namun, fakta justru berbicara lain, pelaksanaan pilkada serentak justru tidak mampu menekan biaya agar efisien.
Kajian Kemendagri yang dilaksanakan tahun 2017 mengungkapkan bahwa pelaksanaan pilkada serentak justru memakan dana yang lebih besar dibandingkan dengan pemilihan sebelumnya. Faktor utama penyebabnya adalah honorarium. Besarnya honorarium ini dikarenakan banyaknya pembentukan kelompok kerja dengan struktur yang cukup besar, misalnya mulai dari pengarah, penanggung jawab, ketua, sekretaris, anggota yang terdiri lebih dari 10 orang dengan honor yang beragam.
Demokrasi Biangnya
Mahalnya biaya pemilihan kepala daerah di negeri ini tidak lepas dari penerapan sistem demokrasi. Dari pencalonan, kampanye, hingga pelaksanaan pemungutan suara semuanya memakan dana yang tidak sedikit. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Litbang Kemendagri, biaya yang dibutuhkan untuk menjadi bupati atau wali kota ialah sebesar Rp20-30 miliar, sedangkan untuk menjadi gubernur berkisar antara Rp20-100 miliar.
Biaya itu belum termasuk dengan biaya selama masa kampanye, seperti biaya cetak baliho beserta uang jaminan keamanan agar baliho tidak dirusak pihak lain, biaya cetak kaos atau suvenir lain untuk masyarakat, dana untuk melakukan "serangan fajar" atau bagi-bagi amplop (sudah menjadi rahasia umum di balik kemeriahan pemilu, selalu ada dua aktivitas ini untuk mendulang suara), dan biaya lainnya untuk memuluskan jalan bagi calon penguasa.
Besarnya modal yang dibutuhkan membuat seorang calon tidak akan dapat berjalan sendiri. Akhirnya, terjadilah kesepakatan antara calon dengan parpol, pengusaha, dan pihak lain yang saling terkait untuk mencari jalan keluar yang saling menguntungkan. Saat calon tersebut berhasil menjadi pemenang pilkada, yang terjadi justru ajang politik balas budi. Entah itu dengan melakukan korupsi untuk balik modal atau justru membuka jalan baru bagi pengusaha untuk menguasai SDA atau proyek-proyek penting lain di wilayah tersebut. Tidak mengherankan bahwa oligarki memang tidak bisa dimusnahkan dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Di sisi lain, dana penyelenggaraan pilkada sering kali tersedot untuk honor para penyelenggara, contohnya saja honor ketua panitia di tempat pemungutan suara yakni sebesar Rp1.500.000, honor anggota Rp1.300.000, dan honor staf lain yang juga mencapai jutaan rupiah. Ini masih di satu tempat, sedangkan setiap pilkada selalu ada ratusan tempat pemungutan suara. Perlu diingat juga bahwa semua itu belum termasuk honor untuk para anggota KPU, Bawaslu, Polri, dan TNI.
Pilkada Hanya Pemungutan Suara
Sayangnya, politik demokratis yang digadang-gadang untuk menjamin keberlangsungan demokrasi dan hak politik warga negara justru tidak terwujud. Rusaknya budaya pemilu justru menjadikan rakyat malah berharap untuk mendapat bantuan sembako atau pundi-pundi rupiah yang dijanjikan oleh calon tertentu.
Mahalnya biaya politik juga membuat pihak yang terlibat saling kompromi. Alih-alih mengurusi urusan umat saat terpilih nanti, mereka justru sibuk untuk mencari keuntungan. Banyak sekali para pejabat yang kekayaannya makin bertambah saat mereka duduk di kursi pemerintahan.
Banyak juga pihak yang memahami bahwa pilkada hanya sebatas pemungutan suara. Saat ajang ini selesai digelar, semua yang terlibat pun seolah telah menyelesaikan tugasnya. Rakyat kembali kepada kehidupan sehari-hari dan tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan penguasa sibuk dengan kepentingan mereka yang jarang memikirkan umat.
Pandangan Islam terhadap Pilkada
Struktur Negara Khilafah berbeda dengan struktur negara lain. Kekuasaannya pun bersifat sentralistis atau berpusat di tangan khalifah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Struktur Negara Khilafah menjelaskan bahwa Negara Khilafah terdiri dari beberapa bagian yang disebut wilayah. Orang yang memimpin wilayah disebut dengan wali. Khalifah akan mengangkat seorang wali sebagai penguasa (pejabat pemerintah) dan menjadi amir (pemimpin) di suatu wilayah. Syarat menjadi seorang wali adalah laki-laki, muslim, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu. Pengangkatan wali harus langsung dilakukan oleh khalifah atau wakil khalifah. Khalifah boleh mengangkat seorang wali dengan kepemimpinan umum mencakup beberapa perkara dan boleh dengan kepemimpinan khusus yang mencakup satu perkara, contohnya wali untuk menangani masalah zakat, peradilan, atau yang lainnya.
https://narasipost.com/surat-pembaca/12/2020/politisasi-agama-dalam-pilkada/
Rasulullah pernah mengangkat para wali untuk ditempatkan di berbagai wilayah, seperti Muadz bin Jabal yang menjadi wali di wilayah Janad, Ziyadh bin Walid di Hadramaut, dan Abu Musa al-‘Asy’ari di wilayah Zabid dan ‘Adn. Setiap mengangkat wali, Rasulullah selalu berpesan kepada mereka untuk selalu taat kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul. Sebagaimana hadis Rasul,
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang selama kalian berpegang teguh keduanya, kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan sunah.” (HR. Al-Hakim dan Daruquthni)
Adapun terkait dengan pemilu, pelaksanaannya ialah untuk memilih anggota Majelis Umat. Anggota Majelis Umat harus seorang yang representatif dari masyarakat. Islam juga telah menetapkan mekanisme pemilu agar masyarakat tak disibukkan dengan pemilu yang berkepanjangan dan berulang-ulang, yakni dengan menetapkan keanggotaan Majelis Wilayah di wilayah-wilayah yang ada terlebih dahulu. Setelah anggota Majelis Wilayah terbentuk, mereka pun akan berdiskusi untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan menjadi anggota Majelis Umat.
Khatimah
Dengan mekanisme yang telah dijelaskan di atas, pemilihan kepala daerah ataupun yang lainnya di dalam Islam tidak akan menghabiskan dana fantastis. Perlu dipahami bahwa kepemimpinan dalam Islam adalah untuk merealisasikan penerapan hukum-hukum syariat di tengah masyarakat, bukan untuk memuluskan kepentingan pribadi atau oligarki sehingga seluruh lini akan bekerja sama demi penerapan hukum Islam. Rakyat pun paham bahwa wali yang telah ditunjuk khalifah adalah orang yang telah memenuhi syarat dan kualifikasi.
Selama pemilihan kepala daerah berlangsung, tidak akan ada konflik kepentingan sebab mekanisme pemilihan telah menutup celah kompromi. Setiap orang yang memegang amanah kekuasaan akan senantiasa diingatkan bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Wallahua'lam bishawab. []
Pemilu yang sangat mahal justru sering kali menghasilkan para pejabat korup. Dan ini terus berulang hingga menjadi tradisi di negeri ini. Miris
Jazakillah Khoir tim NP