Atasi Krisis Pangan Global dengan Islam

Krisis pangan global

Keterikatan pada syariat Islam kaffah akan menjamin stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan di negeri-negeri muslim. Tsunami impor perlahan namun pasti akan hilang jika syariat Islam menjadi landasan dalam bernegara.

 

Oleh. Muthiah Al Fath
(Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Intensitas dan durasi konflik yang tidak pasti antara Rusia dan Ukraina menimbulkan dampak signifikan terhadap berbagai sektor, termasuk persoalan pangan. Imbas bombardir yang dilakukan Rusia tidak hanya dirasakan Ukraina, tetapi juga memengaruhi negara-negara miskin di seluruh dunia. Potensi kelangkaan menyebabkan mahalnya komoditas pangan dan memengaruhi perekonomian dunia.Lantas, benarkah krisis pangan global hanya disebabkan perang antara Rusia dan Ukraina?

Martin Griffthis selaku Kepala Bantuan PBB memperingatkan bahwa negara-negara miskin dunia terancam kelaparan akibat serangan udara Rusia terhadap lumbung pangan di Odesa, Ukraina. Imbas serangan Rusia tersebut, 20 ton jelai dan 100 ton kacang polong hancur. Serangan pun berlanjut ke pelabuhan Ukraina yang menghancurkan 60 ribu ton gandum dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur ekspor. (CNN Indonesia, 22/7/2023)

Dampak Peperangan

Selama ini, Ukraina dan Rusia merupakan salah satu lumbung pangan dan sekaligus menjadi pemain utama dalam perdagangan global. Namun, pada Februari 2022, Rusia mulai melancarkan serangan terhadap sistem pertanian Ukraina. Serangan demi serangan digencarkan terhadap tenaga kerja dan infrastruktur pertanian hingga sekarang.

Menurut perkiraan resmi Kementerian Kebijakan Agraria dan Pangan Ukraina (MAPF), sejak Rusia menginvasi Ukraina tercatat sebanyak 84.200 buah mesin pertanian, 4 juta ton biji-bijian minyak, dan penyimpanan untuk 9,4 juta ton produk pertanian mengalami kehancuran. Nilai total kerusakan pada sektor pertanian sebesar $6,6 miliar, dan kerugian pendapatan yang hilang $34,25 miliar.

Hingga kini belum ada perkiraan komprehensif tentang dampak perang terhadap tenaga kerja pertanian, namun dapat dipastikan terus mengalami penurunan. Mengingat banyak petani yang bergabung dengan angkatan bersenjata dan menjadi korban ledakan ranjau. Padahal selama ini, Rusia dan Ukraina bersama-sama sebagai pengekspor 52% minyak bunga matahari, 19% pasokan jelai, 14% gandum, dan 4% jagung untuk tingkat dunia.

Blokade pelabuhan Ukraina di Laut Hitam juga menghambat kegiatan ekspor negara tersebut. Belum lagi sanksi negara Barat terhadap Rusia makin memperparah terjadinya krisis pangan dunia. Masing-masing negara juga membatasi ekspor pangan untuk menjaga kestabilan negaranya. Rusia menahan ekspor gandum, biji bunga matahari, dan pupuk nitrogen. Ukraina membatasi ekspor telur, minyak bunga matahari, unggas, dan daging sapi.

Adapun negara-negara miskin di Afrika bagian utara, Asia, dan Timur Tengah yang sangat bergantung pada impor gandum dari kedua negara tersebut berpotensi besar mengalami krisis pangan. Selain itu, Negara Mesir, Turki, Bangladesh, Iran, Lebanon, Tunisia, Yaman, Libya, dan Pakistan juga berpotensi mengalami krisis pangan karena menjadi pengimpor terbesar beberapa komoditas pangan dari kedua negara tersebut.

Watak Kapitalisme

Amerika Serikat bersama NATO yang bergelar “Global foreign policy” tidak mampu menghentikan perang yang telah menewaskan ribuan nyawa warga sipil. Bahkan, peperangan sengaja dipelihara untuk menguras kekuatan militer Rusia dan dapat mengancam eksistensi rezim Putin. Padahal, invasi Rusia sebenarnya bisa dicegah jika negara-negara Barat serius menghentikannya. Namun, akibat pemimpin-pemimpin mereka berwatak kapitalis sekularisme, di mana segala cara dilakukan demi mempertahankan eksistensinya meskipun banyak korban jiwa berjatuhan, baik dari pihak musuh maupun partner.

Sungguh malang nasib Ukraina, menjadi “korban”  atas keserakahan negara-negara adidaya, seperti Amerika dan Rusia. Mereka menutup mata atas ancaman krisis pangan yang melanda dunia. Sejatinya, inilah wajah asli imperialis kapitalisme yang menyerukan HAM, tetapi saat yang sama menjadi pelanggar HAM.

Keegoisan dan peperangan jangka panjang merupakan satu dari sekian keburukan yang dialami dunia di bawah kepemimpinan peradaban Barat. Tak peduli berapa banyak warga sipil yang mati, militerisasi sah dieksekusi demi kepentingan penguasa. Selama dunia masih di bawah kendali imperialisme kapitalis, invasi yang menyebabkan jutaan nyawa melayang tidak akan pernah berhenti.

Lemahnya Kedaulatan

Banyaknya negara-negara miskin yang bergantung komoditas pangan dari Rusia dan Ukraina sebenarnya bukan karena kurangnya pendanaan. Jika dianalisis lebih dalam, banyak pengeluaran pemerintah yang "mubazir" karena tidak dapat membedakan mana yang harus diprioritaskan. Banyak negara berkembang di dunia tidak memaksimalkan potensi yang ada dalam negaranya.

Uang negara digunakan untuk membangun proyek-proyek infrastruktur secara masif tanpa memperhatikan manfaat, seperti membuat kereta cepat, gedung-gedung pencakar langit, pembuatan patung, dll. Parahnya lagi, biaya pembangunan tersebut berasal dari utang luar negeri, bahkan proses pembangunannya diserahkan pada swasta.

Hal mendasar persoalan krisis pangan sejatinya terletak pada paradigma pengelolaan negara yang mendasar pada sistem ekonomi neoliberalisme. Sistem ini menempatkan negara sebatas regulator dan menyerahkan seluruh urusan umat pada kapitalis asing maupun lokal, tak terkecuali persoalan pangan. Dari hulu hingga hilir, semua diserahkan dan bergantung pada kapitalis,  mulai dari stok pupuk, bibit, pestisida, dan beberapa komoditas pangan seperti beras, jagung, dan gandum.

Saat pemerintah abai pada urusan rakyat maka negara tidak ada kemauan untuk bersusah payah melakukan swasembada pangan. Padahal, selama negara tidak pro pada sektor pertanian maka negara akan selalu gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Alhasil, pengelolaan pangan berorientasi pada keuntungan ekonomi dan rakyat hanya dijadikan objek pasar. Oleh karena itu, perang Rusia dan Ukraina sebenarnya bukanlah faktor utama penyebab terjadinya krisis pangan, melainkan kegagalan sistem kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Krisis pangan yang mengancam beberapa negara di dunia semata-mata disebabkan lemahnya kedaulatan negara karena rezim senantiasa di bawah kendali para kapitalis.

Islam Memprioritaskan Kesejahteraan Umat

Islam adalah agama sekaligus ideologi yang sangat menjunjung tinggi dan melindungi setiap nyawa manusia. Bahkan dalam jihad sekali pun, prajurit diharamkan melakukan kekerasan secara membabi buta. Jihad memang meniscayakan pembunuhan, namun Islam memiliki aturan-aturan khas yang tidak dimiliki oleh pemerintahan sekularisme. Dalam jihad, meskipun dari pihak lawan, diharamkan untuk membunuh orang yang tidak melawan, seperti wanita, anak-anak, orang tua, orang cacat, pemuka agama, budak, dan lain sebagainya. Juga dilarang menggunakan bom untuk menghancurkan lahan pertanian, lumbung penyimpanan makanan, dan hewan ternak.

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (TQS. Al-Baqarah: 190)

Krisis pangan yang menimpa negara-negara miskin sebenarnya dapat dicegah jika negara memiliki kedaulatan pangan. Bergantung pada negara lain sama artinya menyerahkan kedaulatan dan mempersilahkan negara lain untuk menjajah. Karena, krisis pangan dapat melemahkan negara dan berakibat pada kemiskinan, kelaparan, dan kematian massal.

Dalam Islam, negara bertanggung jawab dalam pengurusan rakyat, sehingga urusan kedaulatan pangan wajib bersifat sustainable dan menjadi prioritas negara. Pengelolaan pangan dilakukan dengan konsep intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi. Negara tidak hanya berusaha meningkatkan hasil pangan dengan mengolah lahan yang ada, tetapi juga menghidupkan lahan yang mati. Hal ini karena dalam Islam, haram hukumnya menelantarkan lahan pertanian lebih dari tiga tahun.

Diversifikasi dilakukan sebagai usaha penanaman berbagai jenis tanaman. Adapun rehabilitasi diperlukan untuk mengganti tanaman yang tidak produktif lagi dengan yang baru. Semua dilakukan untuk menghasilkan bahan pangan semaksimal mungkin. Selanjutnya, negara juga mengawasi alokasi hasil pangan untuk memastikan semua masyarakat telah terpenuhi kebutuhannya.

Lagi pula secara alamiah, Allah Swt. telah memberkahi negeri-negeri muslim dengan potensi alam yang luar biasa. Negeri-negeri penghasil minyak dan cadangan gas alam terbesar dapat diperoleh dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Irak, dan Kuwait. Sedangkan Indonesia, Pakistan, Turki, dan Mesir memiliki potensi sebagai negara penghasil pangan terbesar dunia. Seharusnya negeri-negeri muslim bisa mandiri tanpa harus bergantung pada impor negara kafir.

Sejatinya, krisis pangan diperparah akibat adanya sekat-sekat nasionalisme yang membuat penguasa di negeri-negeri muslim hanya fokus pada urusan negaranya. Alhasil, negara penjajah menggunakannya sebagai alat politik untuk melanggengkan dominasinya di negeri-negeri muslim. Berbagai macam topeng kepalsuan melalui PBB, IMF, BRICS, atau lembaga dan aneka perjanjian kufur lainnya, terbukti hanya menjadikan para penguasa menjadi boneka penjajah asing.

Oleh karena itu, dunia sangat membutuhkan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah yang pro pada kehidupan manusia. Kemampuan Khilafah menyejahterakan warganya tanpa bergantung pada impor bukan retorika kosong sebagaimana negara demokrasi. Khilafah akan menyatukan negeri-negeri muslim yang terbentang dari Maroko hingga Merauke sebagai negara adidaya yang berdaulat.

Keterikatan pada syariat Islam kaffah akan menjamin stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan di negeri-negeri muslim. Tsunami impor perlahan namun pasti akan hilang jika syariat Islam menjadi landasan dalam bernegara. Banyaknya kebobrokan akibat sekularisme seharusnya menyadarkan umat Islam akan pentingnya memperjuangkan kembali Khilafah yang pernah tegak selama 13 abad.

Wallahu a’lam bishawwab.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Bogor Kota Layak Anak, Sudahkah?
Next
Ketika Hati Tidak Baik-Baik Saja
4 5 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

7 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Warga ukrania terkena imbas dari peperangan ini.. begitu kacau balau nya jika sistem kapitalisme diterapkan di bumi ini..

Rere Ummu Sophia
Rere Ummu Sophia
1 year ago

Nyatanya krisis pangan memang akan selalu menghantui negeri-negeri muslim selama mereka masih menyandarkan sistem kehidupannya di atas lanskap kapitalisme neoliberal. Peperangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina hanyalah pelengkap penderitaan rakyat yang menyebabkan mereka kian berada dalam ancaman krisis pangan. Satu-satunya solusi hanyalah dengan mengembalikan pengaturan sistem kehidupan pada aturan Sang Pencipta, Allah Swt.

Wd Mila
Wd Mila
1 year ago

Peperangan jangka panjang akan membawa binasa kedua belah pihak..kecuali, jihad untuk menegakkan agama Allah.

Sherly
Sherly
1 year ago

Benar, umat butuh Khilafah yang menjadi pelindung dan pengurus rakyat dengan sebaik-baiknya..

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Perang di mana pun pasti akan berdampingan dengan yang namanya krisis. Dan ketika terjadi krisis, maka pihak yang paling terkena dampaknya adalah rakyat. Lagi pula dalam sistem ini, perang tak memperhatikan banyak aspek, yang penting menang.

Nining Sarimanah
Nining Sarimanah
1 year ago

Dampak perang tak hanya jatuhnya ribuan korban tetapi akan menghantarkan pada krisis pangan. Liciknya Barat akan tetap membiarkan perang karena akan menguntungkan bagi mereka.

Firda Umayah
Firda Umayah
1 year ago

Benar sekali. Dampak perang yang berkepanjangan memang rawan krisis pangan. Apalagi ditambah dengan sekat nasionalisme yang membuat negeri lain seakan tutup mata dari kondisi yang ada.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram