UKT Naik Tahun Depan, Bagaimana Nasib Indonesia Emas?

UKT

Meski kenaikan UKT ditunda, bukan tidak mungkin akan naik berlipat pada tahun-tahun mendatang. Kini pendidikan menjelma menjadi barang mewah.

Oleh. Rizki Ika Sahana
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) mengumumkan bahwa pemerintah membatalkan kenaikan UKT untuk tahun ini. Nadiem menambahkan, kementeriannya pun akan mengevaluasi permintaan peningkatan UKT yang diajukan oleh perguruan tinggi negeri (kompas.com, 27-5-2024).

Sayangnya, pembatalan tersebut bersifat sementara sebab pemerintah melalui Kemendikbudristek tetap akan mengevaluasi satu per satu permintaan perguruan tinggi untuk peningkatan UKT tahun berikutnya. Selain itu, Presiden Jokowi menegaskan bahwa kenaikan UKT akan direalisasikan tahun depan (Voaindonesia.com, 28-5-2024). Artinya, bayang-bayang kenaikan UKT tetap akan menghantui generasi, termasuk para orang tua. Bahkan jangankan naik, biaya UKT yang ada hari ini saja masih belum terjangkau oleh sebagian besar anak muda kita.

Di balik angka UKT yang tinggi, nyatanya angka lulusan perguruan tinggi kita sangat rendah. Fakta ini membuat kita tak henti mengelus dada. Data Kemendagri yang dirilis Desember 2022 misalnya, menyatakan hanya 12,44 juta jiwa atau 4,5% penduduk Indonesia yang lulus sarjana (S1). Kemudian jumlah penduduk dengan pendidikan D3 hanya sebesar 3,56 juta jiwa atau 1,3% dari total penduduk Indonesia. Subhanallah, sungguh miris.

https://narasipost.com/teenager/10/2021/biaya-kuliah-meninggi-mahasiswa-gigit-jari/

Ini menunjukkan, aksioma orang miskin dilarang sarjana bukan isapan jempol semata. Meski kenaikan UKT ditunda, keprihatinan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda terhadap pernyataan Prof. Tjitjik Tjahjandarie sebelumnya yang menyebutkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier, tidaklah berlebihan. Syaiful Huda menyebut, Kemendikbudristek makin menebalkan persepsi orang miskin tidak boleh kuliah (detik.com, 18-5-2024).

Sementara itu, pengamat pendidikan Ubaid Matraji menyatakan bahwa memosisikan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah tindakan yang tak patut, bahkan salah besar. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) itu menilai pernyataan tersebut akan melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa mengenyam bangku kuliah (kompas.com, 17-5-2024).

Sungguh, aroma pekat kapitalisasi pendidikan terpampang sangat nyata. Meski kenaikan UKT ditunda, bukan tidak mungkin akan naik berlipat pada tahun-tahun mendatang. Terlebih, pernyataan Tjitjik Tjahjandarie bahwa UKT yang ditetapkan PTN tidak boleh bersifat komersial dan harus tetap bisa diakses semua orang, serta ungkapan Nadiem bahwa kenaikan UKT pada masa depan harus sesuai dengan asas keadilan dan kewajaran, ternyata tak sesuai realitasnya. Pendidikan tinggi nyatanya komoditi luks, tidak semua kalangan bisa mengaksesnya.

Kapitalisasi Pendidikan Vs. Indonesia Emas

Sudah diketahui khalayak, hari ini pendidikan diposisikan sebagai barang atau komoditas. Barang siapa yang mampu membeli, dialah yang dapat mengonsumsinya. Sebaliknya, jika tidak mampu membeli, jangan harap bisa menikmatinya.

Oleh karenanya, pendidikan kian hari menjelma menjadi barang mewah, sebagaimana layaknya kebutuhan tersier. Nyaris setiap institusi pendidikan—sekolah hingga universitas—memasang label harga. Sektor pendidikan akhirnya menjadi barang ekonomi, bukan bentuk riayah (pengurusan), tanggung jawab, dan pelayanan negara terhadap rakyatnya. Jika permintaan barang (yakni berupa pendidikan) tinggi, harganya naik. Sebaliknya, jika permintaan turun, harganya pun ikut turun. Masalahnya, permintaan akan pendidikan pasti tinggi karena semua warga negara butuh pendidikan. Oleh karenanya, biaya pendidikan di dalam sistem hari ini (kapitalisme sekuker) akan selalu naik dan makin mahal.

Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan mustahil harapan Indonesia emas 2045 nanti sebatas mimpi. Indonesia emas yang digadang-gadang akan mampu menaikkan posisi Indonesia di kancah global tidak akan pernah teraih. Peluncuran gagasan Indonesia Emas di Djakarta Theater pada Juni 2023 lalu bukan tidak mungkin berakhir sebagai cerita fiksi. Sungguh hal yang tidak pernah kita inginkan.

Pendidikan dalam Islam Melahirkan Kecemerlangan

Pendidikan tidak pernah bisa dipisahkan dari kualitas SDM. Makin baik penyelenggaraan pendidikan maka akan makin berkualitas juga SDM yang dihasilkan. Oleh karenanya, dalam Islam banyak sekali dalil yang mendorong seseorang untuk menuntut ilmu serta mendorong negara untuk mengurus rakyatnya, yakni bertanggung jawab terhadap mereka, termasuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas.

Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ

“Siapa saja yang pergi untuk mencari ilmu maka ia sedang berada di jalan Allah hingga ia pulang.” (HR. At-Tirmidzi).

Rasulullah saw. pun pernah bersabda,

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Atas dasar itu, negara akan berperan dan bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan sekaligus pelayanan pendidikan, mulai dari pembiayaan, kurikulum, infrastruktur, fasilitas hingga menyediakan para pendidik berdedikasi yang profesional. Meski dimungkinkan terdapat peran masyarakat ataupun sekolah swasta, keberadaannya tidak mengambil alih peran negara. Negara juga akan menjaga dengan serius agar layanan pendidikan bisa diakses oleh setiap individu rakyat tanpa pandang bulu dengan biaya yang sangat terjangkau, bahkan gratis.

Tidak mengherankan, pada masa Khilafah Islam tegak, pendidikan mengalami kecemerlangan luar biasa. Ditandai dengan tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis-majelis ilmu, serta lahirnya ulama dan ilmuwan yang ahli dalam berbagai disiplin pengetahuan sekaligus menguasai tsaqafah Islam.

Literasi warga negara Khilafah saat itu pun jauh lebih tinggi daripada orang-orang Eropa. Mereka memiliki banyak perpustakaan yang tersebar luas di berbagai wilayah. Perpustakaan Umum Cordova (Andalusia) misalnya, memiliki lebih dari 400 ribu buku. Jumlah yang tidak biasa untuk ukuran masa itu. Sementara itu, perpustakaan Al-Hakim (Andalusia) memiliki 40 ruangan yang setiap ruangannya berisi lebih dari 18 ribu judul buku. Perpustakaan Darul Hikmah (Mesir) mengoleksi kurang lebih 2 juta judul buku. Perpustakaan Umum Tripoli (Syam) mengoleksi lebih dari 3 juta judul kitab.

Pendidikan pada masa Khilafah melahirkan banyak ulama di berbagai bidang kehidupan. Sistem pendidikan Islam yang mumpuni mampu mencetak banyak ilmuwan dan teknolog yang meletakkan konsep dasar bagi berbagai disiplin ilmu pengetahuan modern.

Tsaqafah Islam, saintek, produk-produk industri yang kita gunakan saat ini, tidak lain adalah sumbangan para ulama dan ilmuwan muslim pada masa itu. Masyaallah!

Sumber pendanaan pendidikan diambil dari baitulmal yang pemasukannya melimpah ruah, berasal dari pengelolaan SDA, jizyah, fai, dan sebagainya. Ini berbeda 180 derajat dengan sistem kapitalisme yang korup, berbasis utang ribawi, dan pajak yang sangat mencekik sehingga kas negaranya minus. Ditambah pengelolaan kekayaan alamnya dilakukan secara kapitalistik, menambah ruwet situasi pemasukan negara. Kondisi ini jelas tidak akan pernah membawa penyelesaian tuntas apalagi keberkahan bagi pendidikan warga negaranya.

Walhasil, Indonesia emas hanya bisa diwujudkan dengan memprioritaskan pendidikan bagi anak-anak generasi, bukan mengkapitalisasinya. Dengan pendidikan Islam yang ditopang sistem ekonomi dan politik Islam yang kuat, kualitas SDM akan terjamin. Sebab satu-satunya yang akan memberi akses mudah, murah, lagi cepat terhadap pendidikan berkelas dan penuh keberkahan hanyalah sistem Islam. Wallahua'lam bishawab.[]
#MerakiLiterasiBatch1
#NarasiPost.Com
#MediaDakwah

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Rizki Ika Sahana Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Berdiri di Atas Emas, Berjalan Tanpa Alas
Next
Muflis (Orang yang Bangkrut) 
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram