Menjadi negara besar tak mesti harus bergabung dengan klub elite OECD, apalagi harus menormalisasi hubungan diplomatiknya dengan penjajah Yahudi.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com- Isu normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel kembali mengemuka. Isu tersebut muncul setelah beredar kabar telah terjadi negosiasi antara Indonesia, Israel, dan OECD. Kabar tersebut digulirkan oleh Times of Israel, dengan mengutip ucapan salah seorang pejabat anonim dari Israel pada Kamis, 10 April 2024. Berita tersebut juga menyebut bahwa Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, disebut-sebut keberatan jika Indonesia menjadi anggota OECD, tetapi tidak menormalisasi hubungannya dengan Israel.
Dikutip dari bbc.com (14/4/2024), merespons kabar tersebut, Kementerian Luar Negeri membantah kabar yang menyebut bahwa Indonesia akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini ditegaskan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Ikbal. Ikbal menegaskan bahwa hingga saat ini Indonesia tidak ada rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, terutama saat masih berlangsungnya kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina.
Selain itu, Ikbal juga menegaskan bahwa posisi Indonesia tidak berubah, yakni tetap kukuh mendukung kemerdekaan Palestina dengan solusi dua negara (two-state solution). Menurutnya, Indonesia tetap konsisten berada di garda terdepan dalam membela hak-hak Palestina. Terlepas dari isu normalisasi diplomatik dengan Israel, benarkah pemerintah berambisi menjadi anggota OECD? Lalu apa itu OECD dan apa pula konsekuensinya jika Indonesia bergabung dalam badan tersebut? Bagaimana pula sikap kaum muslim seharusnya terhadap isu normalisasi dengan Israel?
Isu Lama
Indonesia memang berambisi menjadi salah satu negara dengan perekonomian maju demi mewujudkan Indonesia Emas 2045. Salah satu upaya yang dilakukan adalah bergabung ke dalam keanggotaan OECD, sebagaimana dikemukakan oleh Kemlu. Namun, untuk bisa mendapatkan keanggotaan dari badan internasional tersebut, Indonesia membutuhkan persetujuan bulat dari seluruh anggotanya, termasuk Israel.
Karena itulah, isu normalisasi dengan Israel mengemuka. Pasalnya, untuk menjadi anggota dari badan yang beranggotakan negara-negara besar tersebut, negara-negara anggota harus memiliki hubungan diplomatik dengan sesama anggota lainnya. Sayangnya, meski memiliki hubungan diplomatik, waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proses keanggotaannya memang berbeda-beda tergantung kesiapan negara calon anggota. Beberapa negara membutuhkan waktu tiga tahun, sedangkan beberapa negara lainnya memerlukan waktu lebih dari lima tahun.
Bagi Indonesia sendiri, diskusi tentang apakah Indonesia harus menormalisasi hubungannya dengan Israel sebagai syarat keanggotaan OECD, sudah menjadi topik diskusi selama lebih dari 20 tahun. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh salah seorang profesor di Pardee School of Global Affairs Boston University, Robert Hefner. Robert menyebut, orang pertama yang serius membicarakan masalah ini adalah almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). (pikiranrakyat.com, 29/12/2021)
Namun, proposal yang diajukan Gus Dur menimbulkan kontroversi bahkan di kalangan pengikutnya sendiri. Belum lagi, tantangan yang lebih besar dari umat muslim lainnya juga harus dihadapi Gus Dur. Pada akhirnya inisiatif itu dihentikan. Meski demikian, setelah tahun-tahun kepemimpinan Gus Dur, beberapa pimpinan NU disebut terus mengunjungi ataupun berdialog dengan pejabat Israel guna membicarakan masalah ini.
Mengenal OECD
Indonesia memang sudah sejak lama memiliki hubungan dengan OECD. Sejak tahun 2007 misalnya, Indonesia sudah menjadi salah satu mitra kunci dari klub negara-negara besar tersebut dan terlibat dalam beberapa kerja sama, baik dalam bidang ekonomi, sosial, dan reformasi kebijakan lingkungan. Kemudian pada 2014, Indonesia juga membantu meluncurkan Program Regional Asia Tenggara OECD dan menjadi salah satu pimpinan pertama.
Tak heran pada 20 Februari 2024 lalu, Dewan OECD mengeluarkan keputusan untuk membuka diskusi guna mempertimbangkan Indonesia sebagai anggota. Lantas, apa itu OECD yang diimpikan oleh banyak negara untuk bergabung di dalamnya?
OECD atau Organization of Economic Cooperation and Development atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi merupakan satu badan internasional yang memiliki misi mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan. Badan ini dibentuk pada 14 Desember 1960 dan beranggotakan 38 negara. Tujuan dari lembaga ekonomi internasional tersebut adalah membentuk kebijakan yang mendorong kemakmuran, peluang, kesetaraan, dan kesejahteraan bersama.
Bisa dikatakan bahwa OECD merupakan organisasi klub elite. Pasalnya, negara-negara anggotanya memiliki pendapatan level tinggi. Misalnya saja pada Produk Domestik Bruto (PDB). Negara-negara anggota klub elite tersebut memiliki rata-rata US$53.000 per tahun per kapita. Sementara itu, negara anggota dengan pendapatan terkecil adalah Kolombia yang memiliki PDB di kisaran US$18.000 per kapita per tahun.
Tak hanya itu, negara-negara anggota OECD pun sudah mampu menerapkan standar global yang sudah menjadi ketetapan dari badan elite tersebut. Contohnya saja tentang kebijakan good governance maupun kebijakan ramah lingkungan yang dikeluarkan oleh badan elite OECD. Kebijakan itu harus dipenuhi oleh semua anggota karena keputusan OECD mengikat negara-negara anggotanya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sendiri masih jauh dari rata-rata PDB anggota-anggota OECD, yakni berada di angka US$4.500-an per kapita per tahun. Belum lagi kebijakan good governance dan kebijakan yang ramah lingkungan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah. Ini artinya Indonesia masih harus bekerja keras dan memantaskan diri jika ingin menjadi bagian dari klub negara-negara kaya tersebut. Jika demikian, haruskah Indonesia tetap bergabung menjadi anggota dari klub elite tersebut?
Bergabung menjadi anggota OECD dianggap oleh pemerintah sebagai langkah strategis untuk meningkatkan daya saing ekonomi, mempercepat transformasi struktural, dan menarik investasi berkualitas dari negara-negara besar. Namun, harus diingat bahwa menjadi anggota klub negara-negara elite tersebut bukanlah perkara mudah.
Para analis memang menyebut, jika bergabung dalam klub tersebut akan menguntungkan bagi Indonesia. Misalnya saja dapat membantu menerapkan hukum yang tegas, khususnya dalam pemberantasan korupsi dan penghindaran pajak yang masih menjadi persoalan tak berujung di negeri ini. Namun, di balik keuntungan tersebut, tuntutan besar juga harus dialami oleh Indonesia.
Ada banyak aturan yang harus dipenuhi oleh Indonesia. Salah satunya adalah menyelaraskan undang-undang dan peraturan agar sesuai dengan standar OECD. Peraturan tersebut bisa mencakup berbagai bidang kebijakan seperti perpajakan, investasi, perdagangan, tata kelola, lingkungan hidup, antikorupsi, dan hak asasi manusia. (benarnews.org, 23/2/2024)
Waspadai Penjajahan dengan Bergabung OECD
Keinginan Indonesia untuk bergabung dalam keanggotaan negara-negara kaya, sejatinya menunjukkan ambisi negeri ini untuk menjadi negara maju dan menyongsong Indonesia Emas 2045 mendatang. Namun, para analis menyebut bahwa saat ini Indonesia masih belum memenuhi standar keanggotaan dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi tersebut.
Jika mau menelaah lebih dalam, Indonesia sebenarnya sangat layak untuk menjadi negara besar. Apalagi dengan potensi sumber daya alamnya yang melimpah, baik di darat maupun lautan dan terbentang dari timur hingga ke barat. Potensi SDA yang melimpah tersebut pun telah membuat negara-negara besar seperti AS, Cina, maupun Uni Eropa bergantung dengan SDA Indonesia.
Sayangnya, Indonesia tidak mau membentuk dirinya sebagai bangsa yang besar dan mandiri. Negeri ini justru terus membuka diri dan menggantungkan kemajuan ekonominya pada negara-negara besar dengan dalih investasi. Jika Indonesia benar-benar bergabung dalam klub elite OECD, berarti negeri ini pun harus semakin membuka lebar keran investasi. Hal ini karena salah satu karakter klub elite tersebut adalah ramah terhadap investasi.
https://narasipost.com/world-news/09/2022/di-balik-tabir-normalisasi-antara-turki-dan-israel/
Padahal, investasi asing adalah penjajahan gaya baru yang telah dianggap legal. Semakin banyak investasi masuk, maka semakin hilang kewibawaan dan kemandirian negeri ini. Belum lagi, syarat utama keanggotaan OECD adalah agar semua kebijakan negara harus sesuai dengan standar klub elite tersebut.
Artinya, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bukanlah berdasarkan kemaslahatan rakyat, tetapi sesuai kehendak negara-negara kaya tersebut. Padahal, prinsip dasar negara-negara Barat dalam bekerja sama hanyalah meraup keuntungan, bukan kemaslahatan.
Di sisi lain, masuknya Indonesia dalam keanggotaan OECD jelas terganjal oleh normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Pasalnya, Indonesia sendiri telah menyatakan tidak ada rencana normalisasi dengan Israel. Melihat fakta-fakta tersebut, bagaimana seharusnya sikap umat Islam terhadap isu normalisasi diplomatik Indonesia dengan Israel?
Wajib Menolak Normalisasi dengan Israel
Meski saat ini pemerintah sudah menyatakan penolakannya, tetapi potensi normalisasi akan tetap ada jika mengingat ambisi Indonesia menjadi negara maju. Pasalnya, untuk diakui sebagai negara maju, salah satunya harus menjadi anggota OECD.
Namun, menormalisasi hubungan dengan Israel berarti mengkhianati konstitusi. Pasalnya, Israel adalah penjajah. Sedangkan konstitusi Indonesia jelas melarang adanya penjajahan, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa.
Ini artinya, Indonesia secara tegas menentang pendudukan Israel atas Palestina. Karena itu, umat Islam harus menolak dan terus memantau perkembangan tentang isu normalisasi dengan Israel agar tidak terwujud normalisasi tersebut. Hal ini adalah bentuk pembelaan dan kepedulian pada saudara sesama muslim dan terhadap kemanusiaan.
Normalisasi sendiri berarti membiasakan atau menjadikan normal dari kondisi sebelumnya yang tidak normal. Setiap muslim memahami bahwa apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina adalah penjajahan. Sedangkan penjajahan dalam bentuk apa pun harus dihapuskan. Karena itu, siapa saja yang berdamai dan bekerja sama dengan penjajah maka termasuk perbuatan tidak normal. Dengan demikian, normalisasi dengan penjajah harus ditolak.
Selain itu, mendukung normalisasi terhadap penjajah dapat dikategorikan sebagai bersikap setia terhadap orang kafir. Padahal, Allah Swt. telah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 51:
۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
Khatimah
Menjadi negara besar memang harus diwujudkan oleh negeri ini. Namun, bukan negara yang bergantung dan tunduk pada peraturan dan kebijakan negara lain. Menjadi negara besar tak mesti harus bergabung dengan klub elite OECD, apalagi harus menormalisasi hubungan diplomatiknya dengan penjajah Yahudi. Jika benar ingin menjadi negara besar dan disegani negara lain, negeri ini harus kembali kepada tuntunan Islam dan menerapkan seluruh aturannya dalam kehidupan.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Hem, segala organisasi dunia mau dijajal dan diikuti tanpa memahami segala konsekuensinya. Padahal urusan dalam negeri saja banyak yang belum beres. Heran deh.
Betul. Apalah gunanya diakui sebagai negara maju jika kemiskinan rakyat sendiri masih membeludak.
Duh ambisinya ketinggian. Malah ngeri dong kalau indonesia gabung OECD. Kita akan semakin disetir negara2 penjajah
Nah, iya. Harusnya negara sadar
Sebenarnya Indonesia tanpa masuk anggota OECD dia bis amenjadi negara maju dan negara kaya. Tapi memang aturannya harus dirubah sesuai dengan standar syari'at Allah, bukan kapitalisme
Betul mbak. Bukanlah negara maju jika masih di bawah bayang-bayang dan tekanan negara besar.
Wah, jika negara indo menjadi bagian dr OECD, bukan tak mungkin semua menjadi serba mahal, rakyat akan dipaksa hidup mengikuti gaya hidup negara maju. Yang bisa bertahan akan bertahan, yg lemah akan semakin lemah dan 'mati'..
Begitulah, karena semua harus sesuai standar negara maju.
Rakyat miskin semakin sekarat ini mah
Menjadi negara besar, tidak harus menjadi anggota OECD. Menjadi negara besar dapat diraih jika kembali ke syariat Islam yang kaffah.
Betul bu
Ambisi yang mengawang-ngawang, ya. Ingin menjadi bagian dari OECD tapi buat apa? Dampaknya tidak dirasakan rakyat sama sekali. Ini hanya ambisi para penguasa yang tidak mengakar pada kondisi riil masyarakat. Kalau dalam bahasa sederhananya, cuman cari gaya-gayaan. Biar disebut ini dan itu padahal tidak memperbaiki malah Indonesia makin ditarik dalam pusaran kepentingan negara penjajah.
Ya begitulah. Selama masih bergantung dengan negara-negara kapitalis, mustahil rasanya negeri ini benar-benar maju.