Konversi kompor gas LPG ke kompor listrik/induksi juga bisa jadi malah menjadi beban rakyat karena terkait biaya pembelian alat (kompor listrik) dan biaya untuk menaikkan beban listrik (kenaikan voltase)
Oleh : Ima Khusi
NarasiPost.Com-Program pemerintah yang hendak mengonversi kompor gas LPG ke kompor listrik/induksi nampaknya harus dipertimbangkan ulang. Meski tujuannya adalah untuk menghemat impor dan biaya rumah tangga namun hal ini sangat tidak relevan dengan kehidupan masyarakat.
Menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir penggunaan kompor listrik/induksi memberi penghematan untuk negara dan rumah tangga sekaligus. Bahkan penghematan bisa mencapai Rp60 triliun bagi negara. Sedangkan untuk rumah tangga, setelah dilakukan uji coba, penggunaan listrik untuk memasak akan menghemat biaya pengeluaran LPG dari sebelumnya Rp147 ribu menjadi Rp 118 ribu. (www.cnbcindonesia.com. 31/3/2021).
Hal inilah yang akhirnya melatari dikeluarkannya program konversi dari kompor gas LPG menjadi kompor listrik/induksi. Selain itu juga, hal ini merupakan upaya memaksimalkan cadangan listrik, sehingga masyarakat bisa beralih ke kompor listrik.
Namun faktanya di lapangan, penggunaan listrik di masyarakat masih belum merata terutama masyarakat pedesaan. Selain karena daerah yang masih belum terjangkau listrik, biaya pemasangan juga menjadi faktor utamanya. Masyarakat juga masih kesulitan untuk melunasi iuran listrik, ini terbukti dari masih banyaknya pelanggan listrik yang menunggak pembayaran bukan karena lalai tapi masih banyak masyarakat yang tidak mampu membayar karena faktor ekonomi yang masih rendah.
Konversi kompor gas LPG ke kompor listrik/induksi juga bisa jadi malah menjadi beban rakyat karena terkait biaya pembelian alat (kompor listrik) dan biaya untuk menaikkan beban listrik (kenaikan voltase). Penggunaan magicom saja rakyat masih pikir-pikir apalagi kompor listrik, yang pasti akan menambah beban, baik biaya maupun penggunaan energi listrik.
Mengganti kompor gas LPG dengan kompor listrik/induksi juga merupakan kebijakan yang jelas tidak memihak rakyat kecil. Penggunaan kompor gas LPG saja masih belum terdistribusi dengan baik, bahkan fakta di lapangan masih banyak masyarakat yang menggunakan tungku kayu bakar karena tak mampu membeli gas LPG. Apalagi kalau sampai diganti dengan kompor listrik, akan makin nampak ketimpangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Seharusnya pemerintah tidak hanya fokus pada biaya penghematan yang didapat negara atau pada kelebihan energi listrik. Tapi perhatikan juga keadaan ekonomi rakyat dan distribusi aliran listrik tersebut, sudahkah semua rakyat menikmati fasilitas tenaga listrik? Pendistribusian gas LPG juga masih belum merata dirasakan rakyat, ini malah akan menggantinya dengan kompor listrik apa tidak makin membebani rakyat?
Rakyat negeri ini masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, sehingga membutuhkan program dan kebijakan yang benar-benar bisa mengeluarkan rakyat dari garis kemiskinan. Jangan hanya membebek program global tentang energi "bersih" tapi, kesejahteraan rakyat tersisihkan, jangan hanya membicarakan manfaat tapi juga pertimbangkan kemaslahatan untuk rakyat.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, memang kemaslahatan rakyat menjadi nomor kesekian untuk dipertimbangkan. Karena dalam sistem ekonomi kapitalisme, permasalahan ekonomi tidak terletak pada bagaimana memenuhi kebutuhan manusia, akan tetapi terkonsentrasi pada bagaimana memproduksi barang dan jasa. Sehingga pertimbangan dari kebijakannya bukan pada memenuhi kebutuhan tiap individu melainkan seberapa banyak kemampuan produksi yang dapat dilakukan.
Berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam segala yang ada di bumi merupakan "amanah" yang harus benar-benar dijaga dan dipelihara agar bisa dipergunakan sebaik-baiknya oleh manusia. Mengatur bagaimana mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan atau keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islam. Dalam hal ini, sistem ekonomi Islam lebih memaksimalkan maslahat, yakni mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak.
Standar program dan kebijakan yang diberikan dalam sistem Islam juga selalu disandarkan pada syara. Peranan keimanan juga menjadi tolak ukur dari setiap keputusan yang dikeluarkan, karena keimanan memberikan cara pandang yang cenderung memengaruhi perilaku dan kepribadian manusia. Sehingga tidak asal mengeluarkan program atau kebijakan yang hanya menguntungkan sebagian pihak.
Oleh sebab itu, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah lebih bertanggungjawab dalam meri'ayah urusan rakyatnya. Jangan hanya karena ingin menghemat biaya impor, lantas rakyat dikorbankan. Jangan hanya karena ingin menghemat biaya rumah tangga malah semakin membuat jurang ketimpangan sosial masyarakat.
Maka, sejatinya kita harus kembali pada aturan Islam. Karena semakin terbukti bahwa sistem demokrasi-kapitalisme, dengan asasnya sekularisme yang diterapkan saat ini, tidak mampu meri'ayah urusan rakyat. Faktanya, justru semakin menyengsarakan dan memberi banyak ketimpangan serta ketidakadilan di masyarakat. Oleh karena itu, mari kita kembali pada aturan Islam dengan menerapkan Khilafah Islamiyah 'alaa minhaajin nubuwwah.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]