" Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua yang memabukkan adalah haram." (HR Muslim)
Oleh. Tri Wahyuni, Tpb
NarasiPost.Com-Sejak Januari 2021 hingga April 2021 setidaknya ada kurang lebih enam kali pemberitaan beruntun yang penulis ikuti terkait penangkapan kasus penyalahgunaan narkoba oleh Ditres narkoba di kabupaten Dharmasraya. Bak cendawan di musim hujan, kasus narkoba yang memang sudah sejak lama ada kini kian marak terjadi. Bahkan yang cukup mengagetkan adalah salah satu pelaku merupakan mahasiswi di Kabupaten Dharmasraya, serta adanya isu yang perlu dikonfirmasi kebenarannya mengenai tertangkapnya kakak kandung orang nomor satu di Kabupaten Dharmasraya.
Meski dikenai sanksi kurungan yang tidak sebentar, nampaknya kasus narkoba bukannya menurun, apalagi sirna, malah mengalami kenaikan.
So what? Jadi, apa yang mestinya kita lakukan agar kasus narkoba bisa menurun bahkan sirna? Tentu, siapapun pasti menginginkannya bukan?
Pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hidup, narkoba belum ditemukan. Akan tetapi, Al-Qur'an dan As-Sunah mengajarkan kepada kita untuk menjauhi benda-benda yang memabukkan (merusak akal). Ketika itu, disebut dengan khamr.
"Dari Aisyah ra., dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: "Setiap minuman yang memabukkan adalah haram. " (HR Bukhari dan Muslim)
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. menunjukkan bahwa Rasulullah membuat hukum tersebut menjadi umum. Artinya, tidak sebatas minuman yang memabukkan. Namun, semua hal yang memabukkan. Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, " Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua yang memabukkan adalah haram." (HR Muslim)
KH Shiddiq al-Jawi, pakar fikih asal Yogyakarta menjelaskan, ketentuan ini diperkuat dengan adanya hadis yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam telah melarang setiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir). Meski sebagian ulama menilai hadis ini lemah, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani meletakkan hadis tersebut sebagai hadis hasan.
Para ulama pun menjelaskan, kata mufattir, dalam hadis di atas adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha) dan lemas/lemah (futurr) pada tubuh manusia. Jika merujuk pada hadis tersebut, jelas bahwa narkoba masuk dalam kriteria tersebut.
Narkoba, sebagaimana khamr (miras) merupakan benda haram yang tidak hanya memberikan efek buruk bagi pelakunya. Benda haram tersebut disebut sebagai induk berbagai kejahatan. Sebab jika mengonsumsinya maka sangat berpeluang melakukan kejahatan lain, seperti membunuh, melukai, berzina, mencuri, dan lain-lain. Sebab akal sebagai kontrol dalam berbuat, mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Belum lagi jika mengonsumsinya sudah sampai tahap kecanduan. Bisa jadi, jika akan nekat melakukan apapun demi mendapatkan barang haram tersebut.
Pemberian sanksi berupa kurungan sekian tahun belumlah cukup. Terbukti dengan maraknya kasus narkoba berikut derivatnya setiap harinya. Oleh karena itu, mesti ada penelusuran sampai pada tahap akar masalahnya. Kenapa ada orang yang mau memproduksi, menjual, mengedarkan, dan mengonsumsi narkoba?
Akar Masalah
Dalam penanganan kasus narkoba mulai dari penangkapan, berlanjut pemeriksaan, sampai pemberian sanksi, akar masalah tidak begitu dipersoalkan bahkan tidak dibahas sama sekali. Apakah semua tindakan tersebut dilatarbelakangi oleh merosotnya keimanan, kesulitan ekonomi, eksistensi, atau sekadar ikut-ikutan. Bagaimana tidak, sebagai negara yang berasaskan sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan publik, persoalan keimanan warga negara bukanlah tanggung jawab negara. Padahal keimanan merupakan hal pokok yang harus dimiliki seseorang agar ia bisa menahan diri dari hal-hal buruk. Demikian juga ekonomi, dari asas sekularisme tadi lahirlah ekonomi dengan corak liberalisme-kapitalisme. Sumber daya alam yang mestinya berlebih untuk memenuhi kebutuhan rakyat, kini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang atau korporasi pemilik modal. Bagi mereka yang bisa membeli, maka berarti memiliki akses seluas-luasnya untuk menguasai sumber daya alam. Yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin. Negara tak bisa berbuat banyak, bahkan jalinan birokrasi-koorporasi kian hari kian menguat. Tak sedikit UU yang diketok justru semakin memihak gurita kapitalisme. Seperti yang terbaru terbitnya UU Omnibus law. Akhirnya apa yang lahir dari semua itu adalah biaya hidup yang kian meroket, sementara lapangan pekerjaan yang kian sempit.
Demikian juga terkait eksistensi atau sekadar ikut-ikutan, ini bisa saja menimpa kalangan tua maupun muda. Mengonsumsi narkoba dianggap menaikkan tingkat percaya diri dan kemampuan untuk tetap eksis melampaui batas waktu. Seperti yang acap menimpa kalangan selebritis dan pejabat.
Kemudian berbicara penangkapan, tak jarang menyisakan tanya di publik, kenapa bandar utama kepemilikan narkoba terlihat sangat sulit ditangkap? Mengapa oknum aparat yang berwenang menghukum malah menjadi pemainnya? Belum lagi sanksi yang diberikan nampaknya tidak memberikan efek jera.
Saatnya Kembali pada Islam
Dari ke semua itu, baik upaya preventif dan kuratif, sebenarnya Islam memiliki jawaban yang tepat.
Pertama: menguatkan keimanan setiap individu masyarakat kepada Allah. Yang akan melahirkan ketakwaan. Ketakwaan setiap individu masyarakat akan menjadi kontrol bagi masing-masing sehingga mereka akan tercegah untuk mengonsumsi, mengedarkan apalagi memproduksi narkoba.
Kedua: menegakkan sistem hukum pidana Islam dan konsisten menerapkannya. Sistem pidana Islam, selain bernuansa ruhiyah karena bersumber dari Allah Swt, juga mengandung hukuman yang tegas. Dalam pidana Islam, pelaku kejahatan narkoba dapat dikenai sanksi ta'zir. Pengguna narkoba dapat dipenjara sampai 15 tahun atau dikenakan denda yang besarnya diserahkan kepada qâdhi (hakim) (al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 189).
Jika pengguna saja dihukum berat, apalagi yang mengedarkan atau bahkan memproduksinya; mereka bisa dijatuhi hukuman mati sesuai dengan keputusan qâdhi (hakim) karena termasuk dalam bab ta’zîr.
Ketiga: merekrut aparat penegak hukum yang bertakwa. Ini juga tak kalah penting. Dengan sistem hukum pidana Islam yang tegas, yang notabene bersumber dari Allah Swt, serta aparat penegak hukum yang bertakwa, hukum tidak akan dijualbelikan. Mafia peradilan—sebagaimana marak terjadi dalam peradilan sekuler saat ini—kemungkinan kecil terjadi dalam sistem pidana Islam. Ini karena tatkala menjalankan sistem pidana Islam, aparat penegak hukum yang bertakwa sadar betul, bahwa mereka sedang menegakkan hukum Allah, yang akan mendatangkan pahala jika mereka amanah dan akan mendatangkan dosa jika mereka menyimpang atau berkhianat.
Maka, saatnya kita kembali kepada aturan Islam sebagai satu-satunya solusi, sebab datang dari Zat Yang Maha Mengetahui urusan manusia.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]