Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
(QS. Ar-Rum Ayat 41).
Oleh. Adibah NF
Pegiat Literasi
NarasiPost.Com-Alam semesta, manusia dan kehidupan
Telah Allah Swt ciptakan dengan kasih sayang
Bersanding seperangkat aturan sebagai bimbingan
Tuntunan, bekal dan arah dalam kehidupan
Dialah Yang Maha Sempurna
Penjamin nasib setelah kehidupan dunia
Namun, manusia banyak yang lupa
Akan ke mana dia setelah hidup di dunia fana
Sampai tak peduli dengan apa yang dia kelola
Yang dibidik sesungguhnya hanyalah kebahagiaan semu bukan nyata
Tata kelola dunia saat ini merana. Di berbagai negeri, jeratan aturan yang diterapkan jauh dari impian. Seperti di negeri ini, terdapat sebuah berita yang membuat heboh para aktivis lingkungan, pakar dan politisi. Berita tersebut adalah tentang diterbitkannya aturan yang mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah B3. Kebijakan itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Adapun, dikeluarkannya FABA dari kategori jenis limbah B3 itu adalah Fly Ash dan Bottom Ash atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara, pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor kontruksi. Kategori FABA baru ini, merupakan turunan dari UU Ciptaker nomor 11 Tahun 2020. Sejatinya, kebijakan itu dibuat untuk melindungi pengusaha dan mengancam keselamatan penduduk, baik yang bekerja di berbagai penambangan maupun yang tinggal di sekitar limbah batu bara tersebut.
Tarsoen Waryono, seorang pakar Lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) mengkritik kebijakan pemerintah tersebut. Dosen MIPA UI tersebut menjelaskan limbah fly Ash and Bottom Ash (FABA) yang merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) bisa membahayakan manusia. Dengan adanya limbah ini, menurutnya sangat mengganggu organ pernapasan jika terhirup dan memiliki dampak gatal-gatal pada kulit manusia. Sebab, salah satu jenis limbah FABA berbentuk partikel debu yang sangat halus.(CNNIndonesia.com, 6/3/2001)
Apa yang dikatakannya, senada dengan pernyataan Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, yang menilai pemerintah sedang meningkatkan risiko kematian di tengah pandemi Covid-19 dengan menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori B3 atau limbah berbahaya ini. Nur Hidayati menganggap bahwa sikap pemerintah tersebut tidak etis.(Tempo.co, 14/3/2021)
Meluapnya limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah B3) yang dihasilkan dari kegiatan usaha baik sektor industri, pariwisata, pelayanan, kesehatan, maupun dari rumah tangga, seharusnya dilakukan pengelolaan serius, terkontrol dan mendapat izin dari bupati/walikota, gubernur atau kementrian lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Sehingga bisa ditelusuri, dari mana dan siapa saja oknum yany menjadi penyebab meluapnya limbah B3 ini.
Jika kita telusuri dari kasus-kasus sebelumnya yang menimpa rakyat terutama berkaitan dengan sederet kebijakan seperti kebijakan kasus miras, SKB tiga menteri tentang pemakaian kerudung siswa sekolah, tidak adanya frase agama dalam pendidikan, RUU HIP, dan sebagainya. Hal ini semakin membelalakan mata kita, bahwa negara ini semakin menunjukkan sikapnya yang sekuler radikal.
Dilihat dari adanya peraturan limbah berbahaya, menunjukkan bahwa UU Ciptaker Omnibus Law merupakan kebijakan kapitalistik sebagai ‘payung’ dalam melegislasi kerusakan lingkungan, melalui turunan PP yang menggelar karpet merah untuk segelintir kapitalis. Kebijakan kapitalistik ini pula yang membuktikan secara kongkret telah membebaskan korporasi dari tanggung jawab pengolahan limbah, mengalihkan ke beban biaya negara dan meracuni serta membahayakan rakyat juga merusak lingkungan.
Sangat nyata bahwa korporasi bergandengan erat dengan penguasa. Mereka mengumbar keserakahan yang merupakan ciri kerakusan sistem kapitalisme. Juga membuktikan secara nyata adanya oligarki yang diuntungkan tetapi menzalimi rakyat.
Nampak jelas, bahwa kerusakan demi kerusakan yang terjadi adalah akibat ulah tangan manusia, yang telah meninggalkan aturan Allah Swt. Sistem aturan yang dibangun dan diterapkan oleh kapitalisme berpandangan bahwa semua yang menjadi sebab mendatangkan manfaat/materi, apapun itu, meskipun akan menimbulkan berbacam kerusakan. Baik kerusakan individu, masyarakat dan lingkungannya hingga kerusakan negara bahkan sampai merusak tatanan dunia atau peradaban itu sendiri.
Belum lagi sistem ekonominya yang menggunakan nilai kebebasan kepemilikian, memberi banyak ruang untuk memiliki segalanya, tanpa memedulikan dampak yang ditimbulkan. Sistem ekonomi kapitalis berupaya keras meningkatkan kekayaan negara secara total. Meningkatkan jumlah produksi untuk bisa memproduksi lebih besar sebagai tujuannya. Akibatnya menimbulkan berbagai kerusakan ekologi, lingkungan, polusi udara, sungai dan lautan serta manusia sebagai penghuni dan pengelola alam ini. .
Dalam masalah ini, Islam menjawab dengan tegas bahwa satu-satunya cara mengelola limbah yaitu hanya dengan menaati aturan yang telah Allah Swt tetapkan. Sebagaimana tercantum dalam al Quran surat al-A’raaf ayat 96 yang dengan jelas dinyatakan, “ Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari lagit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Dalam sistem Islam, semua jenis pengelolaan tidak akan diserahkan begitu saja kepada rakyat apalagi orang asing dan para korporasi. Negara, dengan menerapkan sistem khilafah akan selalu melakukan penjagaan, pengontrolan, serta melindungi dan meri'ayah rakyatnya secara maksimal sampai benar-benar kemaslahatan berpihak pada rakyat. Semuanya dilakukan karena karena ketaatannya kepada aturan Allah Swt. Landasan yang digunakan bukanlah sekulerisme atau materialistik, tapi keimanan pada Allah dan terikat pada semua aturan-Nya.
Khilafah Islamiyah memiliki solusi dalam mengatasi kerusakan lingkungan, yakni dengan penerapan syariah oleh negara secara kaffah. Islam menjadikan prinsip dalam mengelola negara dan rakyatnya dengan prinsip Islam sesuai hadis La dharara, wa La Dhirara, yaitu tidak boleh membahayakan, dan tidak boleh mengundang bahaya.
Artinya, bahwa Islam menghilangkan segala hal yang akan mengantarkan pada bahaya. Termasuk masalah pertambangan baik dari hulu yaitu undang-undang sebagai aturan baku, sampai hilir yang dampak dari penerapan aturan seperti kasus limbah. Tak ada satu ajaran pun yang sempurna selain Islam.
Penjagaan hukum Islam terhadap alam semesta termasuk lingkungan, memiliki prinsip rahmatan lil ‘alamin. Seorang pemimpin (khalifah) akan memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan jiwa rakyatnya. Sehingga akan bersikap tegas terhadap siapapun yang membuat kerusakan apalagi mengancam jiwa. Seorang khalifah akan menjalankan seperangkat aturan dalam masalah hukum terkait masalah limbah ini.
Islam pun telah menyediakan sanksi bagi para pelaku pelanggaran, melalui sistem peradilan Islam. Dengan adanya tiga macam peradilan yaitu; Pertama, Hisbah menangani masalah publik bila terjadi kerusakan dan polusi lingkungan. Kedua, Khusumat menangani terkait sengketa perusahaan dan korban (rakyat) karena perusakan lingkungan. Dan yang ketiga adalah Mazhalim menangani sengketa masyarakat dengan kebijakan lingkungan dari penguasa.
Alhasil, semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkait kebijakan limbah jelas sangat berbahaya, menyengsarakan dan merusak tatanan masyarakat dan negara. Sehingga harus disingkirkan dan diganti dengan tata aturan yang telah Allah Swt turunkan untuk manusia, yaitu sistem Khilafah Islamiyah. Sistem ini sudah nyata selama 1400 tahun lamanya mampu membuat dunia terpana. Serta mampu menyelamatkan manusia, alam dan kehidupan ini, dari kerakusan kapitalis.
Patut direnungkan kembali makna yang tersurat dalam ayat di bawah ini:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
(QS. Ar-Rum Ayat 41).
Wallahu a’lam bishawab