“Orang yang membantu para janda dan orang-orang miskin, (pahalanya) seperti orang yang berjihad dijalan Allah atau seperti orang yang selalu berpuasa siang harinya dan selalu shalat malam pada malam harinya”.
(HR. Bukhari)
Oleh. Mimin Nur IndahSari
NarasiPost.Com-Nasib pilu dialami seorang janda tua yang hidup sebatang kara. Di usia yang tak lagi muda, ia rela mengais rezeki dengan cara memulung sampah. Semua itu ia lakukan, agar dapur tetap ngebul. Sayangnya dalam sebulan, ia hanya mendapat upah sebesar Rp30 ribu hingga Rp40 ribu saja (Surya.co.id/ 11 Februari 2021).
Sungguh pilu, bagai disayat dengan sembilu. Siapa saja yang memiliki hati nurani, pasti amatlah sedih. Iba melihat hidup sang nenek begitu menderita. Jangankan Rp30 ribu dihabiskan dalam sebulan, bagi kita sehari saja rasanya masihlah kurang. Meski uluran para hartawan yang dermawan mampu menjadi solusi andalan. Namun sayang, jumlah janda kian tahun kian bertambah. Bahkan nyaris setengah juta janda baru bertambah di tahun 2019. Lalu siapa yang akan menjamin kesejahteraan para janda? Atau mereka harus berjuang sendiri mencari nafkah? Bukankah pandemi covid-19 belum juga reda? Pemberlakuan PPKM, sedikit banyak juga berpengaruh terhadap sepinya dagangan mereka.
Kesejahteraan Semu Ala Kapitalisme
Memang pandemi covid-19 memberikan dampak yang luar biasa. Baik dalam persoalan kesehatan maupun kesejahteraan masyarakat. Dilansir dari Merdeka.com (4/2/2021), dalam kurun waktu sembilan bulan pandemi covid-19, telah membuat hampir 1.000 miliuner teratas dunia berhasil menambah kekayaan mereka. Sekaligus mendorong sebanyak 60 juta orang ke dalam kemiskinan yang ekstrem.
Sebuah potret kesenjangan kesejahteraan yang begitu dalam, antara si kaya dengan si miskin. Tapi ini bukanlah salah pandemi covid-19, nyatanya sebelum pandemi kesenjangan telah nyata adanya. Dilansir dari Tempo.co (10/10/2019), bahwa 1 persen orang kaya RI menguasai 50 persen aset nasional. Bahkan jika dinaikkan, maka 10 persen orang kaya RI kuasai 70 persen. Itu artinya, 90 persen penduduk Indonesia harus memperebutkan 30 persennya saja.
Inilah keniscayaan diterapkannya sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang lebih memprioritaskan kesejahteraan semu dalam sebuah standard nilai bernama kesejahteraan perkapita atau biasanya sering disebut dengan istilah PDB (Produk Domestik Bruto) perkapita. Pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Ibarat pendapatan si A sebesar Rp100 juta dan si B sebesar Rp100 ribu, maka akan didapatkan nilai rata-rata pendapatan perkapita sebesar Rp500 juta. Tentu itu adalah nilai yang sangat fantastis, namun ternyata tak mewakili sebuah kenyataan pahit bahwa sebenarnya si B tidaklah sejahtera.
Tak hanya itu, kebahagiaan dalam pandangan kapitalisme adalah ketika seseorang mampu meraih kebahagiaan materi yang sebesar-besarnya. Maka wajar, jika gaya hidup masyarakat kapitalis cenderung konsumtif. Tak sekadar mecukupi kebutuhan hidup, tapi justru mengejar gaya hidup. Bahkan sibuk menumpuk harta kekayaan hingga tak sadar jika di sekitarnya banyak yang kelaparan.
Kesejahteraan dalam Islam
Tentu berbeda dengan Islam, sebagaimana gambaran para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yang dikutip dari buku Biografi 60 Sahabat Nabi (karya Khalid Muhammad Khalid), bahwa ketika Salman Al-Farisi mendapatkan tunjangan sebesar 6000 dirham dalam setahun (Rp540 juta). Ia justru membagikan seluruh tunjangan tersebut kepada fakir miskin, termasuk di dalamnya para janda. Salman berkata; “aku membeli bahan anyaman dengan uang 1 dirham, lalu kuanyam dan kujual seharga 3 dirham. Satu dirham kuambil untuk modal lagi, satu dirham untuk nafkah keluargaku, sedangkan satu dirham sisanya untuk sedekah.”
Salman Al-Farisi adalah salah satu potret Sahabat terbaik hasil tempaan baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Salman tak serta merta beramal tanpa pijakan, melainkan karena perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai tuntunan sekaligus teladan. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;
“Orang yang membantu para janda dan orang-orang miskin, (pahalanya) seperti orang yang berjihad dijalan Allah atau seperti orang yang selalu berpuasa siang harinya dan selalu shalat malam pada malam harinya”.
(HR. Bukhari).
Inilah sebuah perkataan yang mampu menghujam kuat ke dalam benak individu-individu yang memiliki keimanan dan ketakwaan sekuat baja. Tentu kepribadian Islam yang dimiliki oleh para sahabat menjadi imitating the many yang kemudian akan mampu memberikan pengaruh kepada yang lainnya. Namun, penyelesaian kesejahteraan tak akan pernah selesai jika hanya diterapkan oleh individu atau sekelompok masyarakat saja. Butuh peri'ayahan negara. Karena kesejahteraan adalah persoalan bersama.
Sebagaimana yang dikutip dari buku Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khathab (Karya Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi), bahwa di antara bukti perhatian khalifah Umar terdapat penjaminan para janda, ia berkata beberapa hari menjelang wafatnya;
“Sungguh jika Allah menyelamatkan aku, maka aku akan tinggalkan janda-janda penduduk irak hingga mereka tidak ada yang membutuhkan kepada seseorang setelahku selama-lamanya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, bahwa ia berkata, “Aku keluar bersama khalifah Umar ke pasar, maka seorang wanita muda menemui khalifah Umar lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Suamiku telah meninggal dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Demi Allah, mereka tidak memiliki kikil yang mereka masak, tidak memiliki ladang, dan tidak memiliki susu, dan aku takut jika mereka binasa kerana musim paceklik. Aku adalah putrinya Khafaf bin Ima’ Al-Ghiffari, dan bapakku ikut dalam perang Hudaibiyah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Maka khalifah Umar berdiri bersamanya dan tidak beranjak, kemudian berkata, “Selamat datang nasab yang dekat!”
Kemudian ia pergi menuju unta gemuk yang terikat di rumah; lalu menaikkan di atasnya dua karung yang dipenuhi dengan bahan makanan, dan menaikkan di antara kedua karung tersebut nafkah dan pakaian, kemudian menyerahkan tali unta kepadanya, lalu berkata, “kendalikanlah dia! Sesekali dia tidak akan rusak hingga Allah mendatangkan kebaikan kepadamu!”
Demikian gambaran secuplik kisah sejarah kegemilangan Islam, yakni ketika aturan Islam diterapkan secara sempurna (kaffah). Karenanya, persoalan kesejahteraan harusnya tak sekadar dengan indikator perkapita, tapi bagaimana caranya agar setiap kepala keluarga tercukupi kebutuhan pokok dalam hidupnya. Maka sungguh, kesejahteraan akan mampu dirasakan oleh tiap individu rakyat, termasuk di dalamnya para janda.[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com