Ketika Sejahtera Tak Sekadar Ilusi

Sejahtera tak sekadar ilusi

Kesejahteraan penduduk tidak diukur berdasarkan pendapatan per kapita, tetapi diukur dengan terpenuhinya kebutuhan primer tiap penduduk. Khalifah wajib menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi para pencari nafkah, mengatur ketersediaan kebutuhan pangan di pasar, serta terpenuhinya hak pendidikan dan kesehatan bagi seluruh warganya.

Oleh. Arum Indah S.E.
(Kontributor NarasiPost.Com) 

NarasiPost.Com-Wakil Presiden (Wapres) Indonesia Ma'ruf Amin mengomentari program pemerintah Bantuan Sosial (Bansos) yang rutin dibagikan pemerintah kepada rakyat. Menurut beliau, bansos hanya akan melestarikan kemiskinan. "Kalau bansos terus 'kan namanya melestarikan kemiskinan. Jadi bagaimana supaya lama-lama bansos semakin sedikit, sedikit, sedikit," kata Ma'ruf Amin di Istana Wapres, Jakarta, pada Jumat (5/1/2024).

Penyataan Wapres ini, bertolak belakang dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto. Beliau justru berpendapat bahwa bansos sangat berguna untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah saat ini berupaya menurunkan kemiskinan sampai ke angka 0 pada tahun 2024. "Bansos itu kriterianya adalah untuk penanganan kemiskinan esktrem dan target pemerintah kemiskinan ekstrem di akhir 2024 ini mendekati nol," ucap Airlangga Hartanto menanggapi pernyataan Wapres.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan sejak Maret 2023, tingkat kemiskinan turun mencapai 9,36% setelah sebelumnya berada di angka 9,57% di bulan september 2022. Masih menurut BPS, tren menurunnya angka kemiskinan setelah sempat menyentuh angka dua digit selama masa pandemi menunjukkan resiliensi perekonomian nasional terus terjaga.

Benarkah demikian? Apakah benar angka kemiskinan di Indonesia memang mengalami penurunan? Jika iya, mengapa masih sering kita mendengar berita tentang rakyat yang mengakhiri hidup akibat motif ekonomi? Desember 2023 kemarin, kasus bunuh diri sekeluarga karena motif ekonomi terjadi di Dusun Boro, Desa Saptorenggo, Malang. Ini masih satu kasus, masih ada kasus-kasus bunuh diri lain karena motif ekonomi di tahun 2023. Bisa jadi, angka yang terjadi di lapangan akan jauh lebih besar daripada data yang terungkap.

Ilusi Sejahtera ala Kapitalisme

Kemiskinan memang menjadi salah satu pekerjaan rumah besar yang belum tuntas di negeri ini. Berbagai program pengentasan kemiskinan sebenarnya telah menjadi program kerja tetap pada setiap era periode kepemimpinan Negara Indonesia, contohnya saja mulai dari subsidi beras murah, subsidi listrik, subsidi untuk masyarakat tidak mampu, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat, dan banyak lagi.

Namun, berbagai program ini tampaknya tak memberikan hasil yang signifikan. Rakyat tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Setiap bertambah tahun, beban kehidupan di pundak rakyat seolah semakin berat dan mencekik. Lalu bagaimana mungkin di kondisi yang seperti ini, BPS justru merilis turunnya jumlah angka kemiskinan? Mari sejenak kita bedah bagaimana hitung-hitungan dalam menetapkan standar garis kemiskinan.

BPS mengatakan bahwa standar kemiskinan di Indonesia adalah Rp550.458,-/kapita/bulan. Artinya pendapatan per kapita yang mencapai angka ini, tidak terhitung sebagai penduduk miskin. Pendapatan per kapita dihitung dengan menjumlahkan seluruh pendapatan nasional kemudian dibagi dengan banyaknya jumlah penduduk satu negeri. Sebagai contoh, jika pendapatan nasional berada di angka 400T, dan penduduknya berjumlah sekitar 270 juta jiwa. Maka pendapatan per kapitanya adalah  400T : 270 juta jiwa = 1.481 juta per kapita.

Ada dua kesalahan dalam perhitungan garis kemiskinan di atas. 

Pertama, metode perhitungan ini tidak bisa digunakan jika rentang pendapatan antarwarga negara memiliki gap yang sangat besar. Pendapatan antara bos pemilik TV tentu memiliki gap yang sangat jauh dengan seorang wiraswasta, apalagi dengan seorang buruh. Hasil pendapatan nasional tidak bisa mencerminkan jumlah pendapatan warga negara yang sebenarnya. Kesenjangan sosial sering kali menyebabkan pendapatan segelintir para kapitalis menutupi lebih dari separuh pendapatan para penduduk di wilayah tertentu. Artinya, bisa jadi hasil pendapatan per kapitanya besar, tapi sesungguhnya tidak semua rakyat memiliki pendapatan sebesar hasil perhitungan. Singkatnya, perhitungan ini adalah fiktif belaka.

Kedua, dengan menetapkan angka 500 ribu per kapita dalam satu bulan sebagai standar miskin. Ini tentu standar yang tidak manusiawi. Saat rakyat berjibaku dengan kerasnya kehidupan dan harga-harga yang melambung tinggi, belum lagi biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lain sebagainya, 500 ribu per kapita sungguh tidak ada apa-apanya. Tak banyak yang bisa diperoleh dengan nominal sekecil itu. World Bank sendiri menetapkan bahwa standar kemiskinan adalah US$2,15 per orang tiap harinya atau setara Rp32.745,- dengan nilai kurs Rp15.230,- per US$, maka standar per bulannya adalah Rp982.350,-. Jauh sekali dengan standar yang ditetapkan oleh BPS. Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengatakan bahwa ia sungguh khawatir dengan ketetapan dari World Bank ini. Menurutnya, jika Indonesia menggunakan standar World Bank, maka kemiskinan di Indonesia akan bertambah sebanyak 40%. (CNBC, 10/5/2023)

Melalui penjelasan di atas, sebenarnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa pendapatan nasional yang tinggi tidak dapat menyimpulkan tingginya pendapatan seluruh warga. Karena bisa jadi yang mengalami kenaikan pendapatan hanya para kapitalis. Kemudian dapat juga kita simpulkan bahwa standar kemiskinan yang menurun tidak juga menunjukkan terentasnya masalah kemiskinan. Yang terjadi justru penurunan standar kemiskinan yang jauh dari kata layak.

Kapitalisme Biang Kemiskinan Sistemik

Kemiskinan yang terjadi dalam negara ini, bukanlah kemiskinan yang bersifat individu. Melainkan kemiskinan sistemik. Artinya sistem di negeri inilah yang menumbuhsuburkan kemiskinan. Mungkin kita sering mendengar istilah 'yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin'. Memang begitulah kondisi yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang menyerahkan semuanya kepada swasta ataupun asing maupun aseng mengakibatkan kekayaan alam negeri ini tidak bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk rakyat. 

Dengan gembar-gembor Sumber Daya Manusia (SDM) yang tak mumpuni, kekayan SDA diserahkan kepada asing. Rakyat hanya diberikan posisi sebagai pekerja kelas menengah dan rendahan yang harus merasa puas dan cukup dengan gaji terbatas UMP tanpa bisa menikmati kekayaan negerinya sendiri. Lihat saja Papua dengan gunung emasnya. Berbanding terbalik dengan pembangunan dan kemiskinan yang terjadi di sana. Kekayaan alam dikeruk asing, para pribumi dilestarikan miskin dengan alasan kekayaan budaya Indonesia.

Kapitalisme jua yang menjadikan negeri ini terkungkung dan tak bisa bebas dari jerat kemiskinan. Pasalnya swastanisasi yang terjadi hampir di seluruh sektor hulu dan hilir SDA Indonesia mengakibatkan perubahan motif. SDA yang seharusnya dimanfaatkan untuk kemakmuran seluruh rakyat, justru berubah menjadi motif keuntungan bagi para penanam modal.

Islam Menuntaskan Masalah Kemiskinan

Dalam menuntaskan kasus kemiskinan, Islam memiliki beberapa langkah konkret: 

1. Kesejahteraan penduduk tidak diukur berdasarkan pendapatan per kapita, tetapi diukur dengan terpenuhinya kebutuhan primer tiap penduduk, yakni sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Khalifah wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan primer ini dengan menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi para pencari nafkah, mengatur ketersediaan kebutuhan pangan di pasar, serta terpenuhinya hak pendidikan dan kesehatan bagi seluruh warganya.

2. Membagi kepemilikan dalam negara sesuai dengan syariat Islam, yakni kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Kepemilikan individu seperti hasil kerja, hibah, waris dan lain sebagainya. Kepemilikan negara seperti fai, jizyah, kharaj, dan ganimah. Serta kepemilikan umum seperti SDA dan segala sesuatu yang secara zatnya memang tidak mungkin dimiliki individu. SDA dalam Islam benar-benar hanya dikelola untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum. Jika ada SDM yang tidak menguasai, maka negara akan mempekerjakan orang untuk melakukan pengelolaan, bukan diswastanisasi. Bisakah kita bayangkan ini? Jika semua aset kekayaan di negeri ini benar-benar dimanfatkan untuk rakyat? Pendapatan Freeport yang mencapai 340,7T setiap tahunnya, jika jumlah sebesar ini dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, bukan hal yang mustahil pendidikan dan kesehatan bisa diberikan gratis kepada seluruh warga negara. Ini masih dari satu SDA, belum termasuk pemasukan dari sektor batu bara, nikel, minyak dan gas bumi, hasil hutan dan kekayaan laut yang ada. Bukan tidak mungkin juga Indonesia akan menjadi negara kaya raya di bawah panji kepemimpinan Islam.

Sesungguhnya segala huru-hara yang terjadi dalam sistem kapitalisme ini akan selesai dengan kembali kepada hukum Allah, yakni menerapkan sistem Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiah.

Allah Swt. berfirman  dalam surah Al-A'raf ayat 96 yang artinya: "Jikalau suatu penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan ayat-ayat Kami. Maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang mereka kerjakan."

Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Arum Indah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Bersahabat dengan Ibu Mertua
Next
El Nino, Butterfly Effect, dan Solusi Hakiki
3.8 5 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

8 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback
4 days ago

[…] Baca juga: Ketika Sejahtera Tak Sekadar Ilusi […]

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
10 months ago

Kesejahteraan akan menjadi keniscayaan saat syariat Islam diterapkan. Masyaallah, barokallahu fiik, Mbak

Wd Mila
Wd Mila
10 months ago

pikir saja, masa penghasil Rp500-ribuan dibilang bukan kategori rakyat miskin.. Harga kos2an saja sekarang rata-rata 500-an, itu belum dengan kebutuhan lain, listrik, air, pendidikan yang semakin mahal..

Firda Umayah
Firda Umayah
10 months ago

Masyaallah,dalam sistem Islam, kesejahteraan bukanlah ilusi melainkan sebuah keniscayaan.

Hanimatul Umah
Hanimatul Umah
10 months ago

Kapitalisme berimbas pada kesengsaraan rakyat dan harus dilibas dengan sistem yang datang dari Allah dan Rosul demi kesejahteraan dan rahmatan lil alamin

Dyah Rini
Dyah Rini
10 months ago

Memang hanya Islam yang memiliki standar kesejahteraan rakyat secara rasional. Islam juga memberi solusi paripurna untuk mengentaskan masalah kemiskinan. Maka sudah seharusnya mencampakkan sistem Kapitalisme yang rusak dan menyusahkan rakyat ini

Novianti
Novianti
10 months ago

Permainan angka menutupi fakta sudah menjadi karakter sistem kapitalis. Mengutamakan make up sebagai topeng buruknya wajah nafas pembangunannya. Nampak kokoh padahal rapuh, nampak indah padahal buruk.

Sartinah
Sartinah
10 months ago

Kapitalisme memang hanya mengotak-atik standar kemiskinan berdasarkan data. Ya jelas saja kemiskinan gampang turun kalau di atas kertas. Tapi di lapangan? Kemiskinan menggurita. Semua rakyat juga bisa merasakan sendiri susahnya hidup di sistem kapitalisme.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram