Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Daud)
Oleh :Tita Dewi Rosita, S. PSi. (Konselor Pendidikan Anak)
NarasiPost.Com-Di era digital saat ini media sosial memang menjadi ruang publik baru yang digandrungi masyarakat. Mulai dari untuk kepentingan komunikasi, mencari berita dan informasi, hingga menjalin relasi. Hadirnya media-media sosial memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap semakin derasnya arus globalisasi. Dengan adanya media sosial, maka suatu kejadian di ujung suatu daerah dapat segera diketahui publik yang ada di ujung daerah lainnya hanya dalam hitungan detik. Termasuk soal kebijakan-kebijakan pemerintah hingga soal kinerja para penguasa dan wakil rakyat juga dapat segera diketahui bahkan dikomentari oleh khalayak umum.
Namun nampaknya pemerintah merasa kurang nyaman dengan kegaduhan yang terjadi di dunia maya akibat komentar-komentar rakyat tentang kebijakan serta kinerja pemerintah. Dikutip dari Kompas.id, Sabtu (26/12/2020) Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah akan mengaktifkan kepolisian siber pada 2021. Menanggapi hal tersebut, politikus PKS Mardani Ali Sera menyatakan bahwa polisi siber dikhawatirkan dapat membungkam kebebasan sipil dimana hal tersebut berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi. (suara.com, 20/12/2020)
Memang terasa aneh, di alam demokrasi suara rakyat nampak dibatasi. Entah kemana perginya hak berekspresi yang katanya menjadi pilar penyokong sistem demokrasi yang mengagungkan kebebasan.
Di tengah himpitan berbagai persoalan hidup yang tak kunjung usai, merupakan suatu kewajaran jika rakyat bersuara melayangkan kritikkannya kepada para penguasa. Namun pemerintah saat ini bukannya mengajak duduk bersama guna memusyawarahkan jalan keluar dari setiap keluhan rakyat, mereka malah menetapkan solusi berupa menugaskan para polisi siber untuk giat berpatroli. Apakah ini adalah upaya menyelesaikan masalah atau justru sekadar untuk menyembunyikan masalah?
Jika sudah begini, bukankah telah patut kita sangsikan kesaktian demokrasi yang katanya dapat menghimpun semua aspirasi? Bukankah wajar kita ragukan kebenaran teori yang menyatakan bahwa kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar penyokong sistem hidup kita saat ini?
Jika kita teliti, maka akan kita dapati bahwa akar permasalahan dari gaduhnya dunia maya dengan kritik rakyat terhadap pemerintah adalah sebab dianutnya sistem hidup sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Bagaimana tidak, sistem hidup sekuler menegasikan peran Tuhan sebagai pengatur kehidupan. Dalam sistem hidup ini manusia dengan segala kekurangan dan keterbatasannya memaksakan diri untuk membuat aturan hidup sendiri sebagai pengganti aturan hidup dari Ilahi. Maka bukankah menjadi suatu kewajaran jika akhirnya persoalan kehidupan banyak bermunculan?
Oleh sebab itu, solusi hakiki yang mampu meredupkan kegaduhan baik di dunia nyata maupun di dunia maya adalah dengan menerapkan aturan Allah Swt, yaitu sistem Islam. Niscaya ketentraman dan kesejahteraan hidup akan serta merta menggantikan kegaduhan akibat kesengsaraan.
Jikapun ada kesalahan akibat kelalaian pemerintah di negara Islam, sebab mereka juga manusia yang tak luput dari khilaf, maka masyarakat di negara Islam dapat segera memberikan kritikannya. Masyarakat Islam tak segan membagikan nasihat dan peringatan kepada sesama, sebagaimana apa yang Allah perintahkan:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“.
(At-Taubah:71)
Termasuk memberi nasihat dan peringatan kepada penguasa, hal tersebut bukanlah hal tabu dalam kehidupan masyarakat Islam. Sebab mereka mengejar keutamaan yang dijanjikan Nabinya:
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Daud)
Terlebih di dalam negara Islam atau khilafah terdapat lembaga Majelis Umat yang mewakili rakyat dalam mengontrol dan mengoreksi pejabat pemerintahan. Dengan adanya lembaga ini, rakyat diberikan jalan untuk mengontrol jalannya pemerintahan serta untuk mengoreksi pelanggaran hukum syara’ yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Warga negara non muslim pun dapat menjadi bagian dari Majelis Umat ini, mereka dapat melayangkan kritik atas kezaliman pemerintah terhadap mereka, seperti tidak tersedianya berbagai pelayanan bagi mereka, buruknya penerapan Islam atas mereka, dan semisalnya.
Para pejabat pemerintahan pun takkan malu menerima kritikan dari rakyatnya, sebab mereka tahu bahwa kritikan rakyat datang karena dua hal, pertama karena dorongan keimanan dan kedua, karena kepedulian rakyat kepada pemimpinnya. Maka penguasa akan legowo bahkan berterimakasih atas masukan hingga kritikan yang disampaikan rakyatnya.
Sebagaimana sejarah telah mencatat lembutnya hati Khalifah Umar saat kebijakannya tentang batasan mahar wanita dikritik oleh seorang Muslimah. Khalifah Umar tidak malu ataupun marah sama sekali, Khalifah Umar justru berkata “Wanita itu benar, dan Umar salah”.
Maa syaa Allah, begitulah karakter pemimpin di dalam negara khilafah. Pemimpin yang ramah terhadap kritikan rakyat, sebab mereka mempimpin bukan disertai dengan hawa nafsu melainkan dengan disertai kesadaran penuh tau bahwa rakyat adalah amanah berat yang kelak akan diperhitungkan di Yaumul Hisab.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR.Bukhari)
Wallahu a’lam bishawwab[]