Wahai guru, engkaulah pewaris nabi selayak mentari. Sungguh sering tak kami sadari, tanpa cahaya yang kau biaskan, indahnya bulan di malam hari tak akan mampu kami nikmati.
Oleh. Bedoon Essem
(Tim Penulis Inti NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Adakah manusia terlahir sudah mengetahui sesuatu? Tentu tak ada. Setiap kita pasti lahir dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kita mulai mengenal berbagai hal, yang kita dapatkan dari pengamatan, pengalaman, juga pembelajaran.
Sesungguhnya setiap kita tak akan bisa mempelajari sesuatu dengan sendirinya. Kita pastilah membutuhkan seseorang yang menyampaikan pelajaran dan pengetahuan kepada kita. Pastinya harus ada sosok guru di balik ilmu yang kita peroleh. Guru inilah yang menjelaskan hakikat ilmu yang kita pelajari. Karena jika kita memperoleh ilmu tanpa bimbingan guru, maka ilmu tersebut bisa menjadi racun yang berbahaya bagi diri kita.
Aku, kamu, setiap orang, pasti mempunyai kesan yang berbeda terhadap seorang guru. Akan tetapi, yang pasti dari seorang gurulah kita jadi tahu cara membaca dan menulis. Dari seorang guru pula kita mengenal huruf Al-Qur'an, dapat membacanya, dan tahu bagaimana mengamalkannya. Dari gurulah kita paham agama, memahami hakikat penciptaan manusia dan makna kehidupan ini. Meski tak sedikit pula menganggap hal itu biasa saja, menyepelekan, atau bahkan meremehkan.
Setiap kita adalah pembelajar. Maka tak salah untuk kita mengingat untaian indahnya kata dari Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Ta'lim Muta'alim karya Syekh Az-Zarnuji. Beliau, Imam Ali, seorang yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai gerbangnya ilmu pengetahuan pernah mengatakan sebuah kalimat penuh makna untuk menggambarkan betapa pentingnya kedudukan seorang guru bagi seorang manusia, meski hanya mengajarkan satu huruf sekalipun.
أنا عبد من علمني حرفا واحدا. إن شاء باع وإن شاء استرق
"Aku merupakan hamba di hadapan orang yang mengajariku meski hanya satu huruf. Terserah dia, apakah mau menjualku, membebaskanku ataupun tetap menjadikanku budaknya.”
Masyaallah, beliau begitu menghormati gurunya meskipun hanya mengajarinya satu huruf. Beliau dengan sikap tawaduknya, menempatkan dirinya lebih rendah di hadapan gurunya. Lalu, bagaimana keadaan guru yang mengajarkan berbagai macam ilmu? Seorang guru yang mengajari kita untuk mengenal Islam, yang mengenalkan kita kepada Allah, dan membimbing kita ke surga?
Merendahkan diri di hadapan guru adalah akhlak mulia. Karena para ulama adalah orang yang dimuliakan oleh Allah tersebab keilmuannya. Dalam sebuah hadis riwayat At-Tirmidzi no. 2685 Rasulullah bersabda,
يرفع الله العلماء يوم القيامة على سائر المؤمنين بسبع مائة درجة، ما بين الدرجتين مسيرة خمس مائة عام
"Allah meninggikan derajat para ulama pada hari kiamat atas semua mukmin tujuh ratus tingkatan, padahal jarak di antara dua tingkat sejauh perjalanan lima ratus tahun."
Begitu mulia kedudukan seorang guru di dalam Islam. Apalagi seorang guru yang mengajari kita makna tujuan penciptaan, hidup, dan senantiasa membimbing kita menuju rida Allah. Mereka adalah cahaya penerang kala pekatnya kebodohan menenggelamkan kita. Maka beruntunglah jika hati kita senantiasa terpaut dengan guru. Setiap kali kita salah arah, gurulah orang yang akan menarik dan meluruskan kita kembali ke jalan yang benar. Bagi kita, mereka laksana bintang penunjuk jalan bagi para nelayan di tengah lautan. Pantaslah jika para salaf mengungkapkan kalimat yang begitu indah,
لو لا المربي ما عرفت ربي
"Andai tak ada guru, aku tak akan mengenal Tuhanku."
Sahabat taat, memang benar bahwa orang tua kita yang memfasilitasi kita untuk menuntut ilmu. Tetapi seorang gurulah yang senantiasa membimbing dan menuntun kita untuk sampai kepada Allah. Dengan ilmu dan cintanyalah kita bisa mengetahui konsekuensi pengetahuan kita, agar kita dapat mengamalkannya. Dengan ketelatenannya dalam mengingatkanlah, kita terbiasa berada di jalur yang lurus. Karena kasih sayangnyalah kita menjadi hamba yang istikamah dalam kebenaran. Dan karena dengan ridanyalah Allah anugerahkan pemahaman pada kita. Tanpa itu semua, tidaklah ilmu akan melekat pada diri, mengubah kita menjadi hamba yang lebih baik di hadapan-Nya.
Begitu besar jasa para guru mengentaskan kita dari kubangan lumpur kebodohan, maka sudah seharusnya kita memuliakan mereka. Mengapa kita harus menghormati mereka? Tidak lain karena keberkahan ilmu yang kita dapat terletak pada keridaannya terhadap kita. Sehingga membuatnya jengkel apalagi sampai sakit hati adalah menjauhkan keberkahan ilmu itu sendiri. Jika sudah begini, lalu apa yang kita harapkan lagi dari ilmu yang tidak barakah selain kehancuran? Sedangkan barakah-nya ilmu ditandai dua hal dalam diri kita, bertambahnya rasa takut kita kepada Allah dan rasa sayang kita kepada saudara seiman.
Maka, jika hari ini, ilmu yang kita dapat belum mengubah kepribadian kita menuju hamba yang lebih baik, bisa jadi ada yang salah ketika kita memperlakukan guru. Dan di sinilah pentingnya kita mempelajari adab sebelum ilmu. Bahkan dikatakan para ulama salaf, bahwa mempelajari adab sebelum mereka mempelajari ilmu adalah sebuah keharusan. Para ulama terdahulu mempelajari adab langsung kepada guru mereka, agar mereka dapat mengambil contoh langsung mulianya perilaku guru-gurunya. Seperti yang disampaikan oleh Imam Abu Hanifah, beliau sangat suka membaca biografi para ulama dan duduk bermajelis dengan mereka. Karena dengan begitu beliau dapat mempelajari adab langsung dari mereka.
Banyak ulama pun demikian, mereka mempelajari adab bahkan lebih lama dari mempelajari ilmu. Contohnya Ibnul Mubarok, yang belajar masalah adab selama 30 tahun, dan mempelajari ilmu hanya selama 20 tahun. Ada juga Ibnu Sirin, yang berkata bahwa para ulama terdahulu mempelajari adab layaknya mereka menguasai suatu ilmu. Menjaga adab dan berakhlak baik kepada guru adalah kewajiban. Bahkan dikatakan lebih utama mempelajari adab dibanding ilmu itu sendiri.
Jika seorang guru yang begitu sabar, penuh dedikasi menunjukkan terangnya cahaya ilmu dalam gelapnya ketidaktahuan dalam hidup kita, lalu apa yang salah dengan kita hingga malah menyepelekan dan meremehkan mereka, hanya karena kita melihat satu noktah kekurangan mereka? Perlu diingat, bahwa mereka bukan manusia sempurna, karena memang tak ada manusia yang sempurna. Satu-satunya manusia sempurna itu telah wafat 14 abad silam, dialah Rasulullah saw. Guru kita adalah manusia biasa yang pasti punya cacat. Maka jangan pernah jadikan cela mereka sebagai senjata kita durhaka kepadanya.
Sungguh adalah kewajiban untuk kita memuliakan guru beserta keluarganya. Dengan begitu kita mengharapkan ridanya atas ilmu yang diberikan pada kita. Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan untuk memuliakan para guru, di antaranya,
Pertama, doakan guru kita dan berprasangka baik padanya.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah ya Tuhan kami, ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajari kami. Sayangilah dan muliakanlah mereka dengan keridaan-Mu yang agung, di tempat yang disukai di sisi-Mu, wahai Engkau Yang Maha Penyayang di antara para penyayang”. (Imam Al-Haris Al-Muhasibi, Risalah Al-Mustarsyidin, Dar El-Salam, hlm. 141)
Kedua, perbaiki cara duduk juga sikap kita saat mendengar pelajaran di majelisnya. Tawaduklah dalam duduk dan fokuslah meski mungkin kita sudah pernah mendapatkan ilmu itu sebelumnya.
Ketiga, janganlah memotong penjelasan guru hanya untuk memuaskan rasa penasaran yang menggelayut dalam benak kita.
Keempat, perbaiki adab dan jangan membuat kegaduhan di tengah pelajarannya. Ingatlah yang dicontohkan Al-Imam Asy-Syafi'i yang begitu pelan membuka lembaran demi lembaran bukunya agar tak menimbulkan suara karena rasa segannya kepada gurunya, Al-Imam Malik bin Anas.
Kelima, tidak banyak bertanya hanya untuk menguji kedalaman ilmu guru, seakan ingin mengunggulkan diri agar terlihat cerdas dengan pertanyaannya.
Keenam, janganlah sikap kita ketika bersamanya berbeda dengan ketika tanpa kehadirannya. Jujurlah dengan akhlak kita kepadanya dan jangan mengkhianatinya. Hilangkan suuzan padanya. Hindari menggunjing dan menyindirnya meski lewat media sosial.
Ketujuh, terimalah evaluasi dari guru kita, karena itu merupakan obat bagi masalah kita, penambal kekurangan kita. Jangan sampai kita merasa benar sendiri dan sombong, yang menandakan kita telah terjerumus dalam tipuan setan.
Sungguh wahai guru, engkaulah pewaris nabi selayak mentari. Sungguh sering tak kami sadari, tanpa cahaya yang kau biaskan, indahnya bulan di malam hari tak akan mampu kami nikmati.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Barakallah Mbak Dena tulisannya keren banget. Begitu besarnya jasa guru pada kehidupan kita. Namun sayang dalam alam sekuler -kapitalisme jasa penebar ilmu itu tidak dihargai dengan layak. Mirisnya lagi adap kepada sosok yang harus dihormati itu tidak lagi diutamakan. Itulah awalan hilangnya keberkahan ilmu.
MasyaaAllah. bener banget Mba, "Andai tak ada guru, aku tak akan mengenal Tuhanku."
Terimakasih guruku, Karenamu aku bisa membaca. Karnamu aku belajar adab. Karena mu aku banyak mengetahui ilmu pengetahuan.
Kepada semua guruku yang pernah memberikan ilmu padaku semoga apa yang diberikan pada kami menjadi ilmu yang bermanfaat menjadi amal jariyah dihadapan Allah SWt, dan Aah mbals yang beirpay ganda
Masyaallah tabarakallah...tanpa guru sedari kecil hingga sekarang. Maka butalah hati dari bimbingannya. Sungguh murid sangat butuh ilmu dan takzim pada guru.
Masyaallah.. semoga Allah mengangkat derajat guru-guru kita...
MasyaAllah, betapa Allah telah memerintahkan kita untuk menghormati para guru.
لو لا المربي ما عرفت ربي
"Andai tak ada guru, aku tak akan mengenal Tuhanku."
Sudah seharusnya setiap orang mengembalikan penghargaan sebenarnya pada para guru. Betul, guru adalah penerang dari ketidaktahuan kita. Semoga Allah balas semua pengorbanan mereka. Aamiin
Masya Allah. Tulisannya rasa muhasabah bagaimana kembali mendudukkan rasa hormat pada guru.
Jasa seorang guru memang luar biasa. Darinya kita mendapatkan ilmu sebagai bekal dalam kehidupan.
Terimakasih guruku. Jasamu takkan pernah kulupakan.
Barakallah mba@Aya
Pahala jariah seorang guru itu luar biasa.makanya meski tak mengajar di sekolah, tapi harus mengajar di rumah ya
MasyaAllah, kerennya tulisan Mbak Aya. Mengalir dan ngena banget. Barakallah, Mbak. Semoga diri ini termasuk orang-orang yang senantiasa menghargai guru. Aamiin
Aamiin
“Ya Allah, tutupilah aib guruku dariku, dan jangan Engkau hilangkan berkah ilmunya dariku.”
Guru penerang dalam gulita, bagaikan cahaya, jasanya tiada tara.
MaasyaaAllah. Islam mengajarkan perkara penting agar ilmu berkah