“Salah satu naskah untuk Challenge NarasiPost.Com dengan tema:
Refleksi tahun 2020 dalam pandangan Islam
Persepsi Islam dalam tahun 2021
(Naskah asli penulis/tanpa editan dari TIM NP)”
Oleh: Ummu Hanan (Aktifis Muslimah)
NarasiPost.com- Tahun 2020 baru saja berlalu. Begitu banyak peristiwa datang silih berganti. Tak dipungkiri ada gurat duka yang menyelimuti. Diawali peristiwa yang terjadi di dalam maupun di luar antero negeri. Problematika ekonomi, sosial, politik, hukum dan peradilan menghiasi lini media massa. Semuanya menjadi satu membuncah bagai buih yang diayak di tengah lautan. Semakin hari makin bertambah pelik karena tadi tak kunjung menemukan arah penyelesaian.
Pandemi Covid-19 menjadi salah satu isu fenomenal sepanjang tahun 2020. Sejatinya para pakar telah memperingatkan di awal tahun akan dahsyatnya dampak persebaran Covid-19. Adanya seruan untuk segera memberlakukan lockdown atau penguncian dari dan ke China tak digubris. Pembukaan arus manusia yang masuk dari China menjadi pembenaran atas nama pariwisata dan kebutuhan akan tenaga kerja. Benar saja, tak perlu menunggu lama, satu demi satu korban Covid berjatuhan hingga tecatat tak kurang dari 21.944 orang meninggal dunia per 30 Desember 2020.
Betapa nyawa manusia menjadi tak begitu berarti di tengah lambannya penangan Covid-19. Apakah itu masyarakat biasa, tenaga medis, pejabat hingga kalangan figure publik tak luput dari jerat pandemi. Miris terlebih saat penguasa lebih memilih untuk memberlakukan kebijakan new normal demi penyelamatan ekonomi. Sungguh nalar yang sulit diterima oleh akal manusia, bagaimana mungkin rupiah lebih berharga ketimbang nyawa. Konon penguasa berdalih masih jauh lebih banyak nyawa yang telah sembuh dan terselamatkan dari Covid.
Terdampak pandemi, negeri ini belumlah aman dari resesi. Resesi merupakan suatu kondisi dimana pertumbuhan ekonomi suatu negara minus dalam dua kuartal berturut-turut. Bahkan untuk Indonesia telah diprediksi akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang minus kembali pada kuartal ketiga (idntimes,5/11/2020). Masalah resesi menjadi serius mengingat dampak yang akan ditimbulkannya. Diantara kondisi yang akan dialami oleh masyarakat akibat resesi adalah terjadinya gelombang PHK massal, meningkatnya kemiskinan, serta melambungnya harga barang. Namun, apakah tepat jika dikatakan resesi lahir akibat hantaman pandemi?
Sistem ekonomi Indonesia berpijak di atas dasar ekonomi kapitalisme. Dalam pandangan ekonomi ini para kapitalis atau pemilik modal memiliki peran vital dalam penguasaan ekonomi. Siapa saja yang kuat secara modal punya kewenangan untuk melakukan pengelolaan bahkan atas sektor kebutuhan pokok masyarakat. Tak heran akhirnya ada taipan yang sanggup memiliki pulau, menguasai laut, memagari hutan dan merajai barang tambang. Benarlah jika dalam kapitalisme akhirnya terjadi penguasaan 82 persen kekayaan di dunia atas sekitar 1 persen orang saja (kompas.com,23/1/2018).
Terbukti bahwa himpitan ekonomi akibat resesi bukanlah disebabkan pandemi semata. Ada sebuah pencetus utama atas karut marutnya pegaturan negeri ini, dan itu adalah demokrasi. Demokrasi merupakan bentuk pengaturan interaksi di tengah masyarakat yang bersumber pada kedaulatan dari, oleh dan untuk rakyat. Sistem demokrasi adalah anak turunan ideologi sekulerisme yang memisahkan antara dimensi politik dan ritual. Demokrasi mengedepankan manfaat atau materi sebagai standar aktifitasnya. Oleh karena itu, pengaturan urusan umat dengan perspektif demokrasi akan berujung pada berhitung untung-rugi. Tidak lagi memperhatikan apakah yang sedang dibahas adalah nyawa manusia atau kelayakan hidup masyarakat.
Demokrasi harus tetap lestari demi menjaga kepentingan korporasi. Makin vulgar tuntutan melanggengkan penguasa melalui pilkada di tengah pandemi. Tidak peduli adanya pengeluaran dana yang fantastis, meski beradu dengan kotak kosong, pilkada tetap go on. Beberapa pihak menyayangkan pelaksanaan pilkada saat pandemi mengingat rentannya aktifitas ini terhadap penularan Covid-19. Rupanya rakyat juga tak terlalu antusias, terbukti dengan tingginya angka golput di berbagai daerah. Lagi-Lagi rakyat harus gigit jari, karena bagi demokrasi siapapun yang menang tidak masalah selama mau taat pada titah kapitalis.
Demokrasi nyata telah gagal menjaga keberlangsungan hidup manusia sesuai fitrah. Demokrasi hanya pandai berhitung untung-rugi. Padahal tidak selamanya yang baik itu untung ataupun buruk itu rugi dalam pandangan manusia. Lain halnya dengan Islam. Islam adalah tuntunan kehidupan yang paripurna, diturunkan langsung oleh Pencipta kehidupan, Allah SWT. Islam menjelaskan secara gamblang kapan sesuatu itu disebut baik-buruk, terpuji-tercela, benar ataupun salah. Melalui pijakan yang jelas, Islam akan menghantarkan manusia pada pengaturan kehidupan yang benar. Pengaturan Islam akan selaras dengan fitrah manusia, memuaskan akalnya dan melahirkan ketentraman jiwa.
Pandemi adalah ketetapan (qadha) dari Allah yang dapat menjadi hikmah bagi manusia. Pandemi telah mengajarkan kepada kita bahwa ketetapan Allah pasti akan terjadi, disukai ataukah tidak oleh manusia. Penanganan atas pandemi juga telah menjadi saksi atas buruknya pengurusan demokrasi pada masyarakat. Sehingga sangat tidak layak jika hari ini masih ada manusia yang merasa berhutang pada demokrasi. Tidak pantas manusia memperjuangkan keberlangsungan demokrasi. Karena demokrasi biang kerusakan, menghancurkan sendi kehidupan manusia dan tentunya menjauhkan dari ridha-Nya.
Tahun masehi telah berganti. Belumkah tiba waktu bagi kita untuk menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya akan datangnya kebangkitan Islam. Inilah sebuah alamat yang harus kita yakini dan wujudkan bersama. Islam akan tegak kembali melalui kemunculan Khilafah Islamiyyah dengan metode kenabian. Itulah saat dimana demokrasi menjadi basi, perlahan mati dan dilupakan oleh sejarah. Terimakasih duhai Rabbi, Engkau telah tunjukkan melalui ujian pandemi ini bahwa demokrasi adalah ilusi bukan solusi. Hanya dengan kembali kepada aturan Syariat-Mu kami akan jalani hidup dengan lebih berarti.
Picture Source by Google