Kapitalisme berhasil meluluhlantakkan seluruh sendi-sendi institusi Islam. Keluarga sebagai benteng pertahanan terakhir penjaga peradaban Islam, kini diincar untuk kembali dihancurkan dengan cara meliberalisasi keluarga. Efeknya generasi akan hancur berkeping-keping.
Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dispensasi nikah menjadi tren di masa pandemi ini. Jumlahnya semakin meningkat, seiring dengan pandemi yang semakin berkepanjangan. Nikah dini masih dianggap problem akut oleh sebagian kalangan. Karena menimbulkan bahaya dan mengancam hak anak. Berbagai upaya dan seperangkat aturan diberlakukan demi melarang nikah dini. Namun, semakin dicegah, angkanya justru semakin meroket.
Dikutip dari www.tribunnews.com (10/05/2021) bahwa kasus nikah dini di masa pandemi naik hingga 300 persen. Komnas Perempuan menemukan pada 2019 terdapat 23.126 kasus perkawinan anak, melonjak menjadi 64.211 kasus pada 2020. Ini berarti angka dispensasi kawin sepanjang pandemi melesat hingga tiga kali lipat.
Banyak yang menyayangkan kondisi ini. Namun, jika kita menilik lebih dalam, apakah merebaknya nikah dini menjadi sebab atau dampak? Benarkah pula nikah dini menjadi problem utama masalah anak? Ada apa di balik propaganda pencegahan nikah dini?
Stigmatisasi Nikah Dini
Nikah dini atau perkawinan anak merupakan pernikahan dengan batas usia di bawah 19 tahun. Ini merujuk pada UU Perkawinan No.16 tahun 2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019 pada pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pernikahan hanya diizinkan pada laki-laki dan perempuan yang berusia 19 tahun. Sepanjang pandemi, terjadi lonjakan nikah dini yang cukup tajam hingga mencapai tiga kali lipatnya. Bahkan dispensasi pernikahan naik tajam. Hal ini berkontribusi pada tingginya jumlah kehamilan di berbagai wilayah. Kuat dugaan, penyebabnya adalah kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi remaja, faktor ekonomi, dan adat tradisi terutama Islam yang membolehkan praktik nikah dini. Sehingga nikah dini ini diklaim menyumbang beberapa dampak diantaranya menghambat pengembangan eksistensi diri (putus sekolah), memunculkan masalah kesehatan seksual dan reproduksi, penelantaran dan perceraian (KDRT), menurunkan kesehatan psikologis yang berujung bunuh diri, serta menurunkan IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Hal ini mendorong pemerintah untuk meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) di antaranya penghapusan praktik-praktik berbahaya (harmful practices) bagi perempuan dan anak perempuan. Misalnya nikah dini/perkawinan anak (child marriage), pemaksaan perkawinan (forced marriage), perlukaan dan pemotongan genitalia perempuan (female genital mutilation), dan lain sebagainya. Dari sana tampak, pemerintah menyatakan komitmen untuk menghapus perkawinan anak pada tahun 2030 demi tercapainya target SDGs dan visi Indonesia Emas tahun 2045. Ini dibuktikan dengan terbitnya UU Perkawinan No.16/2019 yang melegitimasi larangan pernikahan dini. Bahkan, menjadikan indikator nikah dini sebagai indikator kota layak anak. Tak hanya itu, Bappenas mengeluarkan Rancangan Strategi Nasional (Renstra) pencegahan nikah dini (2020) yang diberlakukan secara terkoordinasi oleh Kementerian/lembaga. Tak hanya itu, larangan nikah dini berhasil masuk dalam RUU PKS.
Nikah Dini, Sebab atau Dampak?
Merebaknya nikah dini bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Jika kita mau jujur, nikah dini saat ini penyebab utamanya adalah berlakunya sistem pergaulan yang liberal dan permisif di kalangan generasi. Betapa derasnya arus budaya Barat yang menerjang negeri mayoritas muslim ini. Walau tak menutup kemungkinan ada faktor lain, seperti ekonomi dan tradisi, tapi itu tak terlalu signifikan jumlahnya.
Free seks kian membudaya pada gaya hidup anak dan remaja. Hal ini menyebabkan kehamilan di luar nikah yang mengantarkan pada nikah dini, kehamilan tak diinginkan yang membuatnya nekat melakukan tindak aborsi atau pembuangan anak, hingga kasus prostitusi anak dan penyakit seksual lainnya.
Dari sini tampak bahwa nikah dini merupakan dampak, bukan sebab. Harusnya pemerintah fokus pada upaya penyelamatan generasi dari racun liberalisme dan budaya permisif, bukan melarang nikah dini.
Namun, alih-alih tegas menutup semua celah pintu kerusakan dengan penerapan sistem yang benar dan komprehensif, justru disolusikan dengan pragmatis ala kapitalisme-liberalisme. Misalnya, dengan mengarahkan remaja untuk berperilaku seks aman melalui program kesehatan reproduksi remaja dan penjualan kondom secara bebas. Ini justru akan semakin menjerumuskan generasi pada lembah hitam penuh noda.
Problem Anak = Problem Sistem
Negara gagal fokus. Selama ini negara beranggapan bahwa nikah dini merupakan problem utama anak. Padahal jika kita cermati banyak sekali problem yang menyelimuti anak di antaranya lemahnya spiritualitas dan mentalitas anak, dekadensi moral, kemiskinan, kekerasan, dan lain-lain. Problem anak ini bukanlah persoalan teknis semata, akan tetapi persoalan sistemis. Karena melibatkan banyak aspek di dalamnya. Pemerintah tampak minim perhatian dan tidak serius dalam mengatasi dekadensi moral generasi. Hal tersebut tampak pada longgarnya aturan pemerintah terhadap persebaran informasi oleh media massa. Terbukti televisi dan internet menjadi surga bagi aksi pornografi dan pornoaksi yang merusak pikiran dan moral generasi.
Sementara sistem pendidikan dan pergaulan yang harusnya menjadi tameng, malah ikut terasuki sekularisme akut. Agama benar-benar telah dijauhkan dari kehidupan generasi. Maka model generasi apakah yang akan terbentuk? Generasi yang jauh dari nilai spiritual, berorientasi pada kenikmatan dunia dan seksualitas, tetapi mentah secara daya pikir.
Sistem hukum yang berlaku pun tak menimbulkan efek jera pada pelaku perzinaan, penyimpangan, dan kekerasan seksual. Bahkan, seks bebas dan LGBT tidak dipandang sebagai sebuah kejahatan. Sehingga dimaklumi sebagai sebuah kewajaran dari kenakalan remaja biasa.
Bahkan, sistem ekonomi pun tak luput dari sumbangsihnya dalam menambah pelik problem generasi. Kejamnya kehidupan di bawah sistem ekonomi kapitalisme memaksa para ibu yang notabene ummun wa rabbatul bait dan madrasatul ula justru sibuk berjibaku mencari sesuap nasi atau bahkan mengejar karier. Sehingga terenggutlah fungsi pengasuhan dan pendidikan anak oleh ibunya. Para ibu kehilangan kesempatan emas untuk menemani dan mengarahkan tumbuh kembang anak, sehingga gagal membentuk generasi tangguh.
Bukan hanya itu, saat ini hak anak jauh sekali dari harapan. Hak tumbuh kembang, hak nafkah, hak pendidikan, dan hak jaminan keamanan gagal diberikan negara pada anak-anak di negeri ini. Sungguh kerdil dan picik, jika nikah dini dijadikan kambing hitam dari kegagalan pengurusan negara terhadap anak.
Propaganda Jahat
Kesalahan pemerintah dalam mendudukkan masalah anak disebabkan cara pandang sekuler dan liberal serta sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Ini merupakan proyek raksasa negara adidaya terhadap negara-negara berkembang yang sebagian besar mayoritas penduduknya muslim.
Oleh karena itu, yang menjadi basis rujukan Indonesia dalam menyolusikan permasalahan perkawinan anak adalah Undang-undang atau Perjanjian International. Tak jarang aturan itu berbenturan dengan syariat Islam, bahkan mengkriminalisasinya.
Setelah kapitalisme berhasil meluluhlantakkan seluruh sendi-sendi institusi Islam. Keluarga sebagai benteng pertahanan terakhir penjaga peradaban Islam, kini diincar untuk kembali dihancurkan dengan cara meliberalisasi keluarga. Efeknya generasi akan hancur berkeping-keping.
Negeri ini selamanya tidak akan pernah tuntas dan benar dalam menyolusikan berbagai permasalahan, selama masih mempertahankan sistem sekularisme-kapitalisme sebagai ideologi. Oleh karena itu, perlu perubahan fundamental dan sistemis.
Nikah Dini Tak Terlarang
Persoalan mendasar dari nikah dini yang kerap kali dipermasalahkan bermula dari pendefinisian terhadap istilah anak. Ada intervensi global yang sengaja dirancang untuk membenturkan antara definisi Barat dengan definisi Islam. Seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, yang belum menunjukkan tanda-tanda balig disebut anak. Tanda balig pada perempuan adalah dengan datangnya darah haid, sementara untuk laki-laki dengan mimpi basah. Kalaupun tidak muncul tanda umum itu, maka ketika usia sudah menginjak 15 tahun, dapat dipastikan dia sudah balig.
Islam tidak menganggap anak yang sudah balig sebagai anak. Karena mereka sudah menanggung beban hukum (taklif syar’i). Mereka bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bahkan juga kepada masyarakat dan negara. Sehingga nikah dini atau perkawinan anak dengan usia di bawah 19 tahun, tidak dipersoalkan dalam Islam. Karena dalam kacamata Islam, mereka bukan lagi anak, tapi seseorang yang telah layak menanggung beban hukum.
Kalau pun terjadi permasalahan sebagai buntut dari nikah dini, itu lebih karena penurunan kualitas generasi, bukan semata kesalahan konsep nikah dini. Mengapa di usia balig yang seharusnya telah matang dalam daya pikir dan siap diterjunkan demi kemajuan masyarakat dan negara, justru tidak dewasa dan senang berfoya-foya? Ini tak akan terjadi jika semenjak awal jika sejak awal Islam yang dijadikan sebagai acuan hidup.
Tiga Pilar
Setidaknya ada 3 pilar yang harus ditegakkan untuk menyolusikan masalah generasi, yaitu: Pertama, keluarga. Di sini kewajiban nafkah, pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan dari orang tua kepada anak dijamin pemenuhannya. Keluarga berfungsi sebagai pilar pertama penjagaan generasi.
Kedua, masyarakat. Melalui penerapan hukum-hukum muamalah yang menyangkut sistem pergaulan, sistem ekonomi, sistem hukum dan persanksian, kewajiban yang telah membudaya yaitu tradisi amar makruf nahi mungkar antaranggota masyarakat, berikut juga muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa).
Ketiga, negara. Sebagai pengurus utama dan benteng penjaga penerapan aturan Islam kafah yang berparadigma penyelamatan generasi. Anak dipandang sebagai aset keluarga dan peradaban. Pengurusannya berdimensi duniawiyah dan ruhiyah. Generasi Islam tampil sebagai pilar peradaban cemerlang selama 13 abad.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Ali Imran ayat 110: “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Jika penyelesaian permasalahan anak mendapat dukungan penuh dari sistem, yakni aturan Islam yang diterapkan oleh institusi negara yakni Khilafah. Tak ayal, Khilafah akan menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia akan bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”
Khatimah
Persoalan nikah dini selayaknya dipandang dengan paradigma yang benar, sehingga terhindar dari cara pandang pragmatis dalam kungkungan propaganda Barat yang cenderung menyerang syariat Islam. Ingat, hukum-hukum Islam datang dengan segala keparipurnaannya sebagai solusi problematika kehidupan. Jika diterapkan secara kafah, akan membawa kebaikan dan keberkahan dunia dan akhirat.
Keberadaan dakwah Islam, selain sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar, juga harus mampu menggambarkan konstruksi negara Khilafah dalam menyolusi problematika ala Islam. Sehingga mampu menghadirkan kerinduan pada Khilafah Islamiyyah, mendukung serta tergerak untuk ikut ambil bagian dalam perjuangan penegakkannya.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]