Allah Swt. berfirman, “Bermusyawarahlah dengan mereka urusan itu. Kemudian apabila kamu membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (TQS Ali Imran [3] : 159)
Oleh : Novida Sari
NarasiPost.Com-Corong liberalisme akan senantiasa mengembuskan ke tengah-tengah umat pemikiran yang berbahaya. Salah satunya adalah musyawarah. Mereka mengembuskan ide yang mengatakan bahwa Islam sesuai dengan demokrasi, karena Islam memiliki konsep majelis syura (musyawarah) dalam mengambil pendapat.
Mayoritas Suara dalam Demokrasi
Demokrasi yang dibangun berdasarkan pada Trias Politica-nya, Montesquieu telah membagi kekuasaan menjadi tiga: Eksekutif sebagai lembaga pelaksana undang-undang yang dipimpin oleh kepala negara dengan kabinetnya. Legislatif sebagai lembaga legislasi yang membuat hukum dan secara teori bisa membuat mosi tidak percaya yang mampu menjatuhkan pihak eksekutif. Yudikatif sebagai lembaga penegak hukum.
Di dalam menjalankan tugasnya, pihak legislatif terhimpun dari anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang terpilih di MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) akan membuat aturan dan perundang-undangan yang akan dijalankan oleh para pemimpin di pusat dan di daerah. Di dalam perjalanan perumusan undang-undang ini, tidak jarang terjadi perdebatan, cekcok, aksi walk out dari ruangan, bahkan sampai lempar kursi sesama mereka. Semua ini terjadi karena perbedaan kepentingan yang mereka bawa dan perjuangkan. Karena bagaimanapun mereka berasal dari lapisan masyarakat dan tokoh partai yang berbeda.
Untuk menghindari perbedaan suara ini, MPR akan menempuh jalan musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Ketika mufakat tidak dapat dicapai, maka voting berdasarkan pada mayoritas suara terbanyaklah yang akan menjadi keputusan bersama.
Majelis Syura dalam Bingkai Sistem Islam
Majelis syura ataupun majelis umat merupakan majelis yang terdiri dari orang-orang yang mewakili kaum muslim di dalam memberikan pendapat, masukan, nasihat dalam berbagai urusan kepada khalifah. Majelis ini mewakili umat untuk melakukan kontrol dan koreksi kepada penguasa.
Meskipun menggunakan aturan yang berasal dari Allah Swt. Zat yang Mahabenar, akan tetapi bagaimanapun sempurnanya aturan Islam, yang menjalankannya tetaplah manusia biasa yang jauh dari kata ma’shum, yaitu sempurna, terjaga dari kesalahan. Sehingga bisa saja seorang khalifah melakukan kesalahan. Oleh karena itu, syura akan sangat berguna membantu penguasa di dalam menerapkan syariat Allah Swt. yakni menyampaikan amanat dan hak kepada yang bersangkutan, juga di dalam menghentikan kemungkaran (kejahatan) yang menginginkan kerusakan terjadi di dalam negara.
Allah Swt. berfirman, “Bermusyawarahlah dengan mereka urusan itu. Kemudian apabila kamu membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (TQS Ali Imran [3] : 159)
Ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah Swt. penguasa bukanlah seseorang yang memiliki kelebihan di atas umat. Ia boleh dikritik oleh siapa pun apabila melakukan kesalahan dalam kacamata syariat. Sekaligus menunjukkan bahwa tugas umat bukan hanya mengantarkan seseorang menjadi penguasa melalui proses baiat. Akan tetapi tetap melakukan kontrol dan koreksi sehingga menciptakan stabilitas politik di dalam pemerintahan. Sebagaimana firman Allah Swt.
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ
Artinya : “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (TQS. Ali Imran [3] : 104).
Majelis Syura ala Demokrasi vs Islam
Terdapat perbedaan mendasar terkait dengan majelis syura di dalam sistem demokrasi dan sistem Islam. Pertama, majelis syura memiliki hak untuk menyampaikan nasihat ataupun saran kepada penguasa. Akan tetapi keputusan tetap berada di tangan khalifah sebagai penanggung jawab di hadapan Allah Swt. kelak. Sementara MPR berhak untuk membuat hukum untuk dijalankan raja ataupun presiden selaku pemimpin negara.
Kedua, berbeda dengan sistem demokrasi yang melegislasi hukum bersandar pada akal manusia yang dipengaruhi pada kepentingan dan situasi politik, maka syura di dalam sistem Islam adalah terkait dengan masalah yang tidak ada nash yang tegas dan tidak bertentangan dengan arahan tasyri’ Islam juga politik Islam yang bersifat umum. Namun, jika suatu masalah itu terdapat dalil qath’i yang mengaturnya seperti keharaman minuman keras, keharaman penguasaan sumber daya alam yang menjadi milik kaum muslim, kewajiban menjaga akidah oleh negara, maka tidak akan ada syura di dalamnya.
Ketiga, majelis syura di dalam Islam sejatinya adalah milik seluruh kaum muslim. Terkait dengan nonmuslim yang menjadi warga negara daulah, mereka boleh menjadi anggota majelis yang terkait pengaduan kezaliman penguasa kepada mereka, juga sebagai wadah pengaduan penerapan Islam kepada mereka, ketidaktersediaan berbagai pelayanan bagi mereka dan hal yang semisal. Sementara majelis syura ala demokrasi dipilih dari anggota DPD dan DPR yang kemungkinan besar telah banyak menggelontorkan dana untuk meraih posisi ini.
Khatimah
Dari uraian ini, tampak jelas bahwa tidak sama musyawarah (syura) di dalam demokrasi dan Islam. Islam telah menempatkan Allah Swt. sebagai Pencipta sekaligus Pengatur kehidupan. Untuk mengantarkan manusia kepada ketenteraman, kesejahteraan dan keselamatan, maka haruslah aturan itu berasal dari Allah Swt. Apabila tidak ditemukan secara terperinci suatu hukum ataupun terkait dengan perkara teknis dan administrasi, maka syura dilakukan dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah umum hukum syara’. Wallahu a’lam.[]